Saturday, August 05, 2006

SURAT TERBUKA KEPADA TUAN TERORIS (dari arsip sajak lama)

DI LEGIAN

Dua ratus mulut
tak mampu lagi mengucap rayu
empat ratus mata
tak sanggup lagi bersitatap sayu
delapan ratus tangan-kaki
tak kuasa lagi melantai menari
dan dua ribu jemari
tak bisa lagi saling jalin dan belai.

sejak mereka tercerai berai
setelah dua ledakan saja
meluluhlantakkan malam pesta.


DOA KEKASIH SETIAP PAGI
-uci dan muhary

semoga tak ada kekasih lain
yang melambai untuk merebutmu
di setiap kelokan jalan

dan semoga tak ada bom waktu lain
yang mengintai untuk meleburkanmu
di setiap tujuan


SURAT TERBUKA KEPADA TERORIS

engkau yang aman tersembunyi
engkau yang menekan tombol kendali
perang apakah yang coba kau jalarkan kemari?
surga macam apakah yang kau kejar dan cari?

bahkan Sang Nabi Panglima Agung
melarang mematahkan dahan menggantung
sementara engkau yang menjeritkan kesucian
bagai kerasukan menghambur buta ke kerumunan

perang siapakah? sucikah ia?
siapa yang memaklumkan dan menasbihkannya?
sehaus darah itukah sangkamu ia yang kau sembah?
alangkah sepinya surga kau huni sendiri

engkau yang aman tersembunyi
engkau yang menekan tombol kendali
kebaikan yang engkau dalihkan
akankah lahir dari laku penghancuran?

Tuhan Yang Mahamemelihara
menjaga dunia dari aniaya binasa
tetapi senyummu yang ramah namun aneh
menujumkan rumah runtuh dan tubuh leleh


KUTA, SEBUAH KAFE, SUATU SENJA

Di kafe yang hampir tutup
Kita singgah melengkapkan kenangan
Yang penghabisan memanggil
Meski nyaris kuyup dan gigil
Oleh hujan penghujung tahun
Yang meraung di paruh malam
Sejak menjejak senja
Cangkir kopi erat mendekap hangat
Cengkraman jemari hitam kita
Sloki teh keemasan boleh cemas menanti
Menawarkan tajam pahitnya
Tetapi pramusaji yang manis itu
Masih tak kunjung letih
Tersenyum ramah seolah menyajikan janji
Namun kafe memang lebih lengang waktu itu
Dengan cahaya yang telah memberat
Dari lampu yang setengah melamun
Mungkin juga merabun buta oleh kantuknya
Namun kuta yang kelam dan tua
Masih senantiasa bertahan dalam setia
Berbisik dari balik gerimis yang tempiasnya
Memburamkan kaca jendela
Membiaskan pendar warna
Seakan ingin membersihkan cerita
Dari dusta di brosur wisata
Ah, sengkarut dunia yang renta
Jerit tengkar derita insan yang fana
Diselingi teriakan para maniak
yang gemar merakit bencana,
Dan percaya punya hak
rencanakan kiamat lebih mula
Sedangkan kita kerap hanya terpana tanpa daya
Seperti Sartre yang sibuk hilir mudik
Di dalam tempurung kepala
Antara ada dan tiada
Juga Beatles yang kali ini entah mengapa
Agak memelas sayu bernyanyi
Dan sajak-sajakku yang murung sunyi
Dua lelaki di sudut ruang temaram itu
Sejak tadi bertukar kisah dengan suara rendah mesra
Adakah mereka sepasang kekasih yang sedang kasmaran
Dan tengah menyusun janji-janji
Tetapi Kuta masih berbisik juga
Pun ketika seorang pria
Bergegas pergi menunggangi vespa butut
Setelah menyerahkan heroin
Di sela lipatan majalah
Berapa sumbu nikotin sudah disulut
Membatin di pembuluh darah dada
Ini malam terakhir sebelum penerbangan kedua
Mari kita cari Ari di selarut ini
Hujan telah berhenti sedari tadi
Maka bertiga di tepian kolam yang masih baru birunya
Kita pun telentang haru menyaksikan
Konstelasi bintang dan samar kabut galaksi
Di hujung jauh rentang bimasakti
Menelanjangi nanar masa lalu, ranting silsilah,
Membiarkan mimpi-mimpi terhuyung kesepian
Lalu termangu lesu di bibir tidur memutih letih
Dari fajar dini hari tinggal sebentar lagi
Ari, Rudi, biar sepanjang bentangan 1000 tahun
Ini kali yang pertama sekaligus terakhir
Kita bisa bersama
Begini

2005

No comments:

SAJAK JALAN PAGI BERSAMA

  Pagi seputih seragam baru dan sesegar rambut basah para bocah ketika kita berjalan menyusur tembok yang mengendapkan waktu di perkampu...