PERTANYAAN BAGI SEBUTIR DEBU
Adakah engkau terasing sendiri dari Tuhan;
Ataukah sedang berpusing di dalam Tuhan?
KESIMPULAN TERAKHIR
alam raya, dimanakah intinya?
adam saya, dimanakah tepinya?
PENYERAHAN
telah kuserahkan kepadamu, sebuah telaga kata
seperti cermin kaca, tak kan kau jumpai lain wajah
TANTANGAN ADAM KEPADA SETAN
sanggupkah api membakar lempung musnah?
bahkan melaluinya lahirlah tembikar indah!
NYANYIAN ANGGUR
Anggur di dalam pialaku melimpah ruah
kepada cawan siapa harus kutumpah.
PACAR
Teduh tatapnya mengelus dukaku
Seulas senyumnya mengulum lukaku
(2008)
ANAK-BAPAK
Sekian lama rakus kumakan dari akarnya
Kini kubiarkan ia mencabuti bebuahku
(2008)
TRANSAKSI
Ambillah seluruhnya, kumiliki kau sepenuhnya
(2008)
TERSASAR DI HUTAN BAMBU
ke mana bulanku?
(2008)
RAHASIA TERDALAM YANG INGIN KUSAMPAIKAN KEPADAMU
(2008)
.....yang hadir mengisi di antara dua kesunyian--kelahiran dan kematian..... (An Indonesian poems corner ; the poet : Hendragunawan)
Monday, December 01, 2008
Sunday, July 20, 2008
8 HAIKU
HAIKU BUNGA DI POT
Semakin kering tanahmu
Kian runcing
Merahmu
(2008)
HAIKU METROPOLITAN
Dalam kantung si pemabuk malam,
Sekeping bulan
Terguncang
Riang
(2008)
HAIKU SEUSAI HUJAN
Setelah hujan pergi
Berdenyut menggeliat lagi
Sungai mati
(2008)
HAIKU JALAN SUNYI
Di jalan yang jarang dilalui orang
Oleh tapak langkahku, berdesik terusik
guguran daun kering
(2008)
HAIKU HARUM PEREMPUAN
Diselundupkan angin malam
Lewat celah pintu : harum perempuan habis mandi
Lalu di jalan depan
(2008)
HAIKU MENJELANG HUJAN
Awan berarak perlahan
Sekawanan burung bergerak ke selatan—
Di manakah gerangan ia sekarang?
(2008)
HAIKU MENUNGGU SESEORANG
Setangan basah oleh air mata
Semoga kering segera ia
Sebelum engkau keburu datang
(2008)
HAIKU KASIH IBU
Meskipun tak sakit
Ibu turut makan
Bubur dimasakkannya untukku
(2008)
Semakin kering tanahmu
Kian runcing
Merahmu
(2008)
HAIKU METROPOLITAN
Dalam kantung si pemabuk malam,
Sekeping bulan
Terguncang
Riang
(2008)
HAIKU SEUSAI HUJAN
Setelah hujan pergi
Berdenyut menggeliat lagi
Sungai mati
(2008)
HAIKU JALAN SUNYI
Di jalan yang jarang dilalui orang
Oleh tapak langkahku, berdesik terusik
guguran daun kering
(2008)
HAIKU HARUM PEREMPUAN
Diselundupkan angin malam
Lewat celah pintu : harum perempuan habis mandi
Lalu di jalan depan
(2008)
HAIKU MENJELANG HUJAN
Awan berarak perlahan
Sekawanan burung bergerak ke selatan—
Di manakah gerangan ia sekarang?
(2008)
HAIKU MENUNGGU SESEORANG
Setangan basah oleh air mata
Semoga kering segera ia
Sebelum engkau keburu datang
(2008)
HAIKU KASIH IBU
Meskipun tak sakit
Ibu turut makan
Bubur dimasakkannya untukku
(2008)
Wednesday, February 13, 2008
A THEIST MANIFESTO—SATU SAJAK DIDAKTIS
(Inspirasi judul dari buku filsuf Perancis, Michael Onfray, ‘Atheist Manifesto: The Case Against Christianity, Judaism and Islam’, dan dari karya filsuf Inggris, Julian Baggini, ‘Atheism’. Paparan tentang atheisme-kuno di Yunani dan India dapat ditemui dalam buku R.C. Solomon dan K.M. Higgins ‘A Short History of Philosophy’, buku G.S. Kirk dan J.E. Raven ‘The Presocratic Philosophers’, dan K.M. Sen, ‘Hinduism’. Kisah cincin hilang dari khazanah sastra sufi dan kisah Hamam dan Ibrahim serta beberapa baris lainnya dari Al-Quran dan hadits Nabi SAWAW)
I.
Pahami kisah lama ini: seorang yang kehilangan
Memilih mencari cincinnya di sekitar lampu jalan
Ketika ditanya di mana gerangan ia hilang
Jawabnya: di sana—namun di sini lebih terang!
Berapa tinggi julang langit telah engkau daki
Berapa jauh lebat belantara telah kau tempuhi
Berapa dalam samudera engkau pernah menyelam
Bekal tahu secuil kau sangkal Sang Alim Pencipta Alam
Sungguh nyata insan lemah dan tergesa-gesa
Namun malang ia juga pembangkang dan pembangga
Meski gerbang kenabian telah lama sempurna dan ditutup
Dengan Tuhan langsung masih menuntut untuk menatap
Seperti Hamam yang mendirikan menara tinggi
Terhadap Tuhannya Musa ia ingin mencari bukti
Padahal yang buta bukanlah mata di kepala
Tetapi yang mati adalah hati dalam dada
Dan bukankah sudah digariskan dalam firman
Si angkuh budak nafsu tak akan pernah beriman
Meskipun gunung terbelah dan mayat bangun kembali
Biarpun malaikat telah dilihatnya dengan mata sendiri
II.
Tuhan tidak dapat dijangkau pandangan
Tak dapat diliputi pengetahuan insan
Bahkan terhadap surga dan ruh mahluk-Nya
Insan cuma diberi amsalan, tahu sedikit saja
Karenanya nabi wahyu kitab suci diturunkan
Tak cukup filsuf, ilmuwan atau seniman
Akal dapat menerima keterangan adanya
Tidak menemukan dan membuktikan adanya
Karena apa yang dapat dibuktikan akal
Tentu dapat pula diingkari akal
Apa yang hari ini dianggap akal muskil
Esok hari mungkin terbukti bukan hal ganjil
Sejak masa pra-Sokrates serta para penulis Veda
Debat tengkarnya tetap saja tak jauh berbeda
Yang percaya mengatakan Ia Ada dan Satu
Yang kafir mengatakan itu semata ilusi semu
Hidup insan singkat dan hanya sekali
Dugaan bergeser jangan jadi pijakan kaki
Mata akal hanya mampu kenali yang zahir
Sedang nafsu pun terus membayang menabir
III.
Jika engkau alergi dan benci akan religi
Atas dirimu sendiri tilik periksalah lagi
Siapakah yang engkau anti sesungguhnya
Gagasan tuhan, lembaga agama atau penganutnya
Lalu selidiki dari mana datangnya antipati
Jangan sekedar mengikuti tren masa kini
Adakah ia berasal dari kedangkalan akalmu
Ataukah semata bujukan nakal hasrat nafsu
Pahami kisah Ibrahim Alayhissalama tuk teladan
Setelah dengan mata dan akal mencari tuhan
Akhirnya kepada kaumnya iapun berkata:
Tanpa tuntunan Tuhan, tentu aku telah celaka!
Bila engkau memandang keindahan
Dari segala yang adalah ciptaan
Alangkah tersianya bila kau tak teringat
Kepada kekuasaan Sang Pembuat
Namun mengandalkan semata akal
Beserta tangkapan indra yang dangkal
Seraya angkuh menolak keterangan wahyu
Akan mengandaskanmu pada sekedar haru
Bila tanpa wahyu turun mengajar
Maka insan akan terus sesat terputar
Dalam lingkar sangka dan sangkal
Tinggal tak tahu hingga tiba saat ajal
IV.
Dalam hadits telah disampaikan nabi
Kiamat tak akan sampai terjadi
Selama masih ada meskipun seorang saja
Menyebut nama Tuhan yakin percaya
Inilah berita gembira dan juga kabar duka:
Ingatan pada Tuhan mengulur umur semesta
Namun manusia terburuk pada masa akhir
Akan ditinggal jauh terpuruk ke lubuk nadir
Agama akan dipandang janggal
Segala ritual pasti bakal ditinggal
Kakbah kelak rebah, mushaf terhapus
Ibarat yang tersisa cuma kerak hangus
Mereka yang bermegah menuruti birahi
Kepada yang lain tak pernah peduli
Dan yang merasa risih mendengar kata Tuhan
Disebut dalam percakapan yang sopan
Dengan demikian cukuplah alasan
Bagi Tuhan mengakhirkan semesta ciptaan
Bila masih terdapat iman setitik pasir cuma
Tak akan pernah rela Ia tamatkan alam raya
Karenanya diminta setiap insan beriman
Menjaga diri keluarga dan keturunan
Sebelum nyawa dicabut tanyailah anak-anakmu
Siapa yang akan kalian sembah sepeninggalku
Februari/Maret 2008
I.
Pahami kisah lama ini: seorang yang kehilangan
Memilih mencari cincinnya di sekitar lampu jalan
Ketika ditanya di mana gerangan ia hilang
Jawabnya: di sana—namun di sini lebih terang!
Berapa tinggi julang langit telah engkau daki
Berapa jauh lebat belantara telah kau tempuhi
Berapa dalam samudera engkau pernah menyelam
Bekal tahu secuil kau sangkal Sang Alim Pencipta Alam
Sungguh nyata insan lemah dan tergesa-gesa
Namun malang ia juga pembangkang dan pembangga
Meski gerbang kenabian telah lama sempurna dan ditutup
Dengan Tuhan langsung masih menuntut untuk menatap
Seperti Hamam yang mendirikan menara tinggi
Terhadap Tuhannya Musa ia ingin mencari bukti
Padahal yang buta bukanlah mata di kepala
Tetapi yang mati adalah hati dalam dada
Dan bukankah sudah digariskan dalam firman
Si angkuh budak nafsu tak akan pernah beriman
Meskipun gunung terbelah dan mayat bangun kembali
Biarpun malaikat telah dilihatnya dengan mata sendiri
II.
Tuhan tidak dapat dijangkau pandangan
Tak dapat diliputi pengetahuan insan
Bahkan terhadap surga dan ruh mahluk-Nya
Insan cuma diberi amsalan, tahu sedikit saja
Karenanya nabi wahyu kitab suci diturunkan
Tak cukup filsuf, ilmuwan atau seniman
Akal dapat menerima keterangan adanya
Tidak menemukan dan membuktikan adanya
Karena apa yang dapat dibuktikan akal
Tentu dapat pula diingkari akal
Apa yang hari ini dianggap akal muskil
Esok hari mungkin terbukti bukan hal ganjil
Sejak masa pra-Sokrates serta para penulis Veda
Debat tengkarnya tetap saja tak jauh berbeda
Yang percaya mengatakan Ia Ada dan Satu
Yang kafir mengatakan itu semata ilusi semu
Hidup insan singkat dan hanya sekali
Dugaan bergeser jangan jadi pijakan kaki
Mata akal hanya mampu kenali yang zahir
Sedang nafsu pun terus membayang menabir
III.
Jika engkau alergi dan benci akan religi
Atas dirimu sendiri tilik periksalah lagi
Siapakah yang engkau anti sesungguhnya
Gagasan tuhan, lembaga agama atau penganutnya
Lalu selidiki dari mana datangnya antipati
Jangan sekedar mengikuti tren masa kini
Adakah ia berasal dari kedangkalan akalmu
Ataukah semata bujukan nakal hasrat nafsu
Pahami kisah Ibrahim Alayhissalama tuk teladan
Setelah dengan mata dan akal mencari tuhan
Akhirnya kepada kaumnya iapun berkata:
Tanpa tuntunan Tuhan, tentu aku telah celaka!
Bila engkau memandang keindahan
Dari segala yang adalah ciptaan
Alangkah tersianya bila kau tak teringat
Kepada kekuasaan Sang Pembuat
Namun mengandalkan semata akal
Beserta tangkapan indra yang dangkal
Seraya angkuh menolak keterangan wahyu
Akan mengandaskanmu pada sekedar haru
Bila tanpa wahyu turun mengajar
Maka insan akan terus sesat terputar
Dalam lingkar sangka dan sangkal
Tinggal tak tahu hingga tiba saat ajal
IV.
Dalam hadits telah disampaikan nabi
Kiamat tak akan sampai terjadi
Selama masih ada meskipun seorang saja
Menyebut nama Tuhan yakin percaya
Inilah berita gembira dan juga kabar duka:
Ingatan pada Tuhan mengulur umur semesta
Namun manusia terburuk pada masa akhir
Akan ditinggal jauh terpuruk ke lubuk nadir
Agama akan dipandang janggal
Segala ritual pasti bakal ditinggal
Kakbah kelak rebah, mushaf terhapus
Ibarat yang tersisa cuma kerak hangus
Mereka yang bermegah menuruti birahi
Kepada yang lain tak pernah peduli
Dan yang merasa risih mendengar kata Tuhan
Disebut dalam percakapan yang sopan
Dengan demikian cukuplah alasan
Bagi Tuhan mengakhirkan semesta ciptaan
Bila masih terdapat iman setitik pasir cuma
Tak akan pernah rela Ia tamatkan alam raya
Karenanya diminta setiap insan beriman
Menjaga diri keluarga dan keturunan
Sebelum nyawa dicabut tanyailah anak-anakmu
Siapa yang akan kalian sembah sepeninggalku
Februari/Maret 2008
Tuesday, February 05, 2008
RENCANA MASA DEPAN
Bila tiba suatu saat
Aku harus terbujur sekarat
Relakan aku menikmati
Khidmatnya mati
Jauhkan sentuhan gawat
Dari dokter juru rawat
Dengan segala bius suntik
Juga selang sentak listrik
Biar bisa segera beres
Baris sisa nasib digores
Jangan lain turut campur
Ingin ngatur agar mundur
Tak tahukah engkau
Tiap peralihan senantiasa memukau
Seperti fajar senja mengatasi
Indah siang malam hari
Dan sebagai mantan seniman
Itulah kelak kali penghabisan
Aku ingin jenak sendiri
Menikmati Sunyi
Februari 2008
Aku harus terbujur sekarat
Relakan aku menikmati
Khidmatnya mati
Jauhkan sentuhan gawat
Dari dokter juru rawat
Dengan segala bius suntik
Juga selang sentak listrik
Biar bisa segera beres
Baris sisa nasib digores
Jangan lain turut campur
Ingin ngatur agar mundur
Tak tahukah engkau
Tiap peralihan senantiasa memukau
Seperti fajar senja mengatasi
Indah siang malam hari
Dan sebagai mantan seniman
Itulah kelak kali penghabisan
Aku ingin jenak sendiri
Menikmati Sunyi
Februari 2008
ADAKAH ITU
Adakah itu sinar bulan
Atau pantulan paras kekasihku berbinar berkilauan?
Adakah ini semerbak malam musim semi
Atau harum tubuh kekasihku menyembur wangi?
Adakah itu merdu nyanyian burung balam
Atau suara lembut kekasihku menyebut salam?
Adakah semua ini semata semu impian –
Karena kurasakan kekasihku tengah perlahan menghampiri!
Februari 2008
Atau pantulan paras kekasihku berbinar berkilauan?
Adakah ini semerbak malam musim semi
Atau harum tubuh kekasihku menyembur wangi?
Adakah itu merdu nyanyian burung balam
Atau suara lembut kekasihku menyebut salam?
Adakah semua ini semata semu impian –
Karena kurasakan kekasihku tengah perlahan menghampiri!
Februari 2008
Friday, February 01, 2008
SAJAK PENGANTAR MINUM KOPI
Di jendela sehampar kota
Tadi gempita gemerlap
Kini terkapar perlahan
Senyap dan lelap
Di kedai tua
ada dua tiga tamu
Tapi ia sendiri saja
Di sudut itu
Matanya lelah
Ditudung tepi topi
Seolah ingin
Berlindung sembunyi
Dengan musik
paling murung
Dan cahaya
paling suram
Dinikmatinya
secangkir kopi
Dengan teguk kecil
dan sepi
Yang pahit
seperti hidupnya
Yang kelam
seperti mautnya
Namun sebelum
terminum ampas
Ingin ia hirup
sedalam napas
Februari 2008
Tadi gempita gemerlap
Kini terkapar perlahan
Senyap dan lelap
Di kedai tua
ada dua tiga tamu
Tapi ia sendiri saja
Di sudut itu
Matanya lelah
Ditudung tepi topi
Seolah ingin
Berlindung sembunyi
Dengan musik
paling murung
Dan cahaya
paling suram
Dinikmatinya
secangkir kopi
Dengan teguk kecil
dan sepi
Yang pahit
seperti hidupnya
Yang kelam
seperti mautnya
Namun sebelum
terminum ampas
Ingin ia hirup
sedalam napas
Februari 2008
Thursday, January 24, 2008
ENGKAU BEGITU LEMBUT
(sajak lama ini dimuat memenuhi permintaan kawan sejak mahasiswa, Bung Amir PR, insinyur yang asyik dengan karir jurnalistik dan penerbitan--Apa kabarnya, Bos? Meski sering mengaku hanya sebagai penikmat, dari sikapnya saat menikmati sajak yang ia baca, saya curiga, dia justru jauh lebih penyair dari saya, yang sering mengaku sebagai penyair ini)
Seperti desau angin
lirih kabarkan datangnya musim gugur,
Engkau begitu lembut.
Seperti seuntai serenada
mengalun merdu ketika turun senja,
Engkau begitu lembut.
Seperti harum rumputan lembah yang basah
meruah setelah reda hujan tumpah tercurah,
Engkau begitu lembut.
Seperti tudung-tudung cendawan
gemetar membuka perlahan,
Engkau begitu lembut.
Seperti cahaya redup hari subuh
ketika mentari menggeliat di cakrawala jauh,
Engkau begitu lembut.
Seperti temaram sinar bulan di langit malam
mengembang tenang di atas telaga kelam,
Engkau begitu lembut.
Seperti kucing mengeong-ngeong manja
sembari menggosok-gosokkan tubuh di kaki tuannya,
Engkau begitu lembut.
Seperti jemari kabut mengelus-elus pipi
dan kelopak mataku yang pejam bermimpi,
Engkau begitu lembut.
Seperti hitam tebal rambut dara
lepas tergerai di atas bantal sutra,
Engkau begitu lembut.
Seperti bulu-bulu halus di tengkuk perawan kencana
meremang menerima sentuhan pertama,
Engkau begitu lembut.
Mautku, sungguh engkau begitu lembut.
Tajam belati yang kau tikamkan tanpa ampun itu
tak terasa menyusup kian dalam di tubuhku,
Seperti desau angin
lirih kabarkan datangnya musim gugur,
Engkau begitu lembut.
Seperti seuntai serenada
mengalun merdu ketika turun senja,
Engkau begitu lembut.
Seperti harum rumputan lembah yang basah
meruah setelah reda hujan tumpah tercurah,
Engkau begitu lembut.
Seperti tudung-tudung cendawan
gemetar membuka perlahan,
Engkau begitu lembut.
Seperti cahaya redup hari subuh
ketika mentari menggeliat di cakrawala jauh,
Engkau begitu lembut.
Seperti temaram sinar bulan di langit malam
mengembang tenang di atas telaga kelam,
Engkau begitu lembut.
Seperti kucing mengeong-ngeong manja
sembari menggosok-gosokkan tubuh di kaki tuannya,
Engkau begitu lembut.
Seperti jemari kabut mengelus-elus pipi
dan kelopak mataku yang pejam bermimpi,
Engkau begitu lembut.
Seperti hitam tebal rambut dara
lepas tergerai di atas bantal sutra,
Engkau begitu lembut.
Seperti bulu-bulu halus di tengkuk perawan kencana
meremang menerima sentuhan pertama,
Engkau begitu lembut.
Mautku, sungguh engkau begitu lembut.
Tajam belati yang kau tikamkan tanpa ampun itu
tak terasa menyusup kian dalam di tubuhku,
SENJA MUSIM GUGUR DI PERBUKITAN
[Sajak penyair klasik Tiongkok dari zaman dinasti Tang, Wang Wei, terjemahan inggris oleh Yang Xianyi dan Gladys Yang]
Dari barisan bukit basah kerana baru dibasuh hujan
Datanglah musim gugur ketika senja mulai turun
Sinar bulan berbinar cemerlang menembus julangan pinus
Menderas melintasi keras bebatuan aliran jernih arus
Berdesik sedih rumpun bambu kala para dara usai mencuci
Gelisah riak teratai saat perahu nelayan meluncur pergi
Perlahan pudar semerbak wangi dan warna warni musim semi
Namun jejaknyapun masih mampu mengajakmu terpana di sini
2008
Dari barisan bukit basah kerana baru dibasuh hujan
Datanglah musim gugur ketika senja mulai turun
Sinar bulan berbinar cemerlang menembus julangan pinus
Menderas melintasi keras bebatuan aliran jernih arus
Berdesik sedih rumpun bambu kala para dara usai mencuci
Gelisah riak teratai saat perahu nelayan meluncur pergi
Perlahan pudar semerbak wangi dan warna warni musim semi
Namun jejaknyapun masih mampu mengajakmu terpana di sini
2008
DI KOTA MAWAR BERCAHAYA
Di sana, di sana,
Di Kota Mawar yang bersimbah Cahaya
Kekasihku diam bersemayam
Di peluk bumi yang harum mewangi
Sejak zaman purbawi dahulu
Langit selalu membanggakan dirinya
Disebabkan matahari dan rembulannya
Disebabkan sinar bintang-bintangnya
Tetapi sejak tubuh kekasihku
Dibaringkan rebah di peraduannya
Bumi yang rendah tak lagi pernah merasa malu
Karena di relungnya telah terkandung insan termulia
Bertebaran rebahlah bulan bintang dan mentari
Tersungkur tunduklah langit yang menjulang perkasa
Karena di Kota Mawar yang bersinar gemerlapan
Terbujur tidur Kekasih Segala Ciptaan
2008
Di Kota Mawar yang bersimbah Cahaya
Kekasihku diam bersemayam
Di peluk bumi yang harum mewangi
Sejak zaman purbawi dahulu
Langit selalu membanggakan dirinya
Disebabkan matahari dan rembulannya
Disebabkan sinar bintang-bintangnya
Tetapi sejak tubuh kekasihku
Dibaringkan rebah di peraduannya
Bumi yang rendah tak lagi pernah merasa malu
Karena di relungnya telah terkandung insan termulia
Bertebaran rebahlah bulan bintang dan mentari
Tersungkur tunduklah langit yang menjulang perkasa
Karena di Kota Mawar yang bersinar gemerlapan
Terbujur tidur Kekasih Segala Ciptaan
2008
LITANI
Karena engkau rahmat bagi semesta alam
Maka matahari pagi memperoleh terang cahayanya
Dari aura perbawa sosokmu
Karena engkau rahmat bagi semesta alam
Purnama di langit malam memperoleh lembut sinarnya
Dari sempurna parasmu
Karena engkau rahmat bagi semesta alam
Bintang-bintang memperoleh cerlangnya
Dari kilau manik matamu
Karena engkau rahmat bagi semesta alam
Arakan awan memperoleh indahnya
Dari gelombang ikal rambutmu
Karena engkau rahmat bagi semesta alam
Gunung-gunung memperoleh kukuhnya
Dari keteguhan batang hidungmu
Karena engkau rahmat bagi semesta alam
Padang-padang memperoleh luas bentangannya
Dari kelapangan bidang dadamu
Karena engkau rahmat bagi semesta alam
Sungai-sungai memperoleh riak kecipaknya
Dari gurat pembuluhmu yang membayang halus
Karena engkau rahmat bagi semesta alam
Telaga hijau memperoleh keheningannya
Dari damai rahasia di hatimu
Wahai Sang Pilihan,
Sungguh engkau tiara dari mahkota
Insan terindah di antara ciptaan paling indah
2008
Maka matahari pagi memperoleh terang cahayanya
Dari aura perbawa sosokmu
Karena engkau rahmat bagi semesta alam
Purnama di langit malam memperoleh lembut sinarnya
Dari sempurna parasmu
Karena engkau rahmat bagi semesta alam
Bintang-bintang memperoleh cerlangnya
Dari kilau manik matamu
Karena engkau rahmat bagi semesta alam
Arakan awan memperoleh indahnya
Dari gelombang ikal rambutmu
Karena engkau rahmat bagi semesta alam
Gunung-gunung memperoleh kukuhnya
Dari keteguhan batang hidungmu
Karena engkau rahmat bagi semesta alam
Padang-padang memperoleh luas bentangannya
Dari kelapangan bidang dadamu
Karena engkau rahmat bagi semesta alam
Sungai-sungai memperoleh riak kecipaknya
Dari gurat pembuluhmu yang membayang halus
Karena engkau rahmat bagi semesta alam
Telaga hijau memperoleh keheningannya
Dari damai rahasia di hatimu
Wahai Sang Pilihan,
Sungguh engkau tiara dari mahkota
Insan terindah di antara ciptaan paling indah
2008
SURAT SAHABAT
Sahabatku yang paling berbahaya
Kepadamu tak sedetikpun kupercaya
Senyummu selalu mengejekku
Sapaanmu senantiasa menamparku
Sifat dan tandukmu pasti hina tercela
Segala tulus katamu tentu bulus belaka
Kuyakin hanya soal tunggu waktu
Siapa di antara kita menusuk lebih dulu
Sahabatku yang paling berbahaya, kau kubenci
Sebab padamu terkaca jelas: wajahku sendiri
Kepadamu tak sedetikpun kupercaya
Senyummu selalu mengejekku
Sapaanmu senantiasa menamparku
Sifat dan tandukmu pasti hina tercela
Segala tulus katamu tentu bulus belaka
Kuyakin hanya soal tunggu waktu
Siapa di antara kita menusuk lebih dulu
Sahabatku yang paling berbahaya, kau kubenci
Sebab padamu terkaca jelas: wajahku sendiri
KUATRIN KUCING SIAM
Kucing siam berbulu guguran salju
Duduk diam di tepi jalan menugu
Dalam curahan cahaya bulan perunggu
Hampir jam tiga ; siapa gerangan ditunggu?
Duduk diam di tepi jalan menugu
Dalam curahan cahaya bulan perunggu
Hampir jam tiga ; siapa gerangan ditunggu?
ANGIN LALU
Angin yang lalu
Meluruhkan daun-daun
Dalam alun yang dingin
Bertaburan, bertebaran
Kurban yang ditinggalkan
Ketika melaju ia ke selatan
Tak berhenti ia
Bahkan meski sekedar menoleh
Tiada tertahankan
Tiang lampu di kelok jalan
Yang kuning dan pucat
Berdebaran menyaksikan
Terbayang derita
Betapa telanjang dan sendirian
Batang pohon tua itu
Meluruhkan daun-daun
Dalam alun yang dingin
Bertaburan, bertebaran
Kurban yang ditinggalkan
Ketika melaju ia ke selatan
Tak berhenti ia
Bahkan meski sekedar menoleh
Tiada tertahankan
Tiang lampu di kelok jalan
Yang kuning dan pucat
Berdebaran menyaksikan
Terbayang derita
Betapa telanjang dan sendirian
Batang pohon tua itu
LELAKI YANG KEHILANGAN
Perempuan itu pamit keluar sebentar
Ketika tentara mengejar-ngejar petani
Kemudian penantianmu jadi sejauh keabadian
Para pembunuh telah berpulangan
Darah telah dibersihkan
Dan asap telah reda
Tetapi tak ada
Yang menghapus air matamu
Mereka malah menertawakan kesedihan
Para pembunuh telah dianugerahi bintang jasa
Para penuntut mengincar saat ganti berkuasa
Tetapi siapa yang akan mengingat kehilanganmu?
Ke jauh ujung jalan
Murung matamu jatuh tercenung
Apakah gerangan yang kau tunggu?
Ketika tentara mengejar-ngejar petani
Kemudian penantianmu jadi sejauh keabadian
Para pembunuh telah berpulangan
Darah telah dibersihkan
Dan asap telah reda
Tetapi tak ada
Yang menghapus air matamu
Mereka malah menertawakan kesedihan
Para pembunuh telah dianugerahi bintang jasa
Para penuntut mengincar saat ganti berkuasa
Tetapi siapa yang akan mengingat kehilanganmu?
Ke jauh ujung jalan
Murung matamu jatuh tercenung
Apakah gerangan yang kau tunggu?
DENDANG DEKADEN
Di lembah pualam pucat
Pusat itu seperti pusaran malam
Relung kelam, liang hasrat
Mengajakmu turun berendam
Tetapi lihat mata itu
Seperti hantu yang terlambat
Menatap sayu namun nanar tak tentu
Dalam lamun kabut opium tertambat
Perempuan, perempuan ke mana tujuan
Pagi masih jauh dan dingin menyengat
Lelaki, lelaki tempat di mana tumpuan
Mari ke sini mendekat, kuberi hangat
Sesingkat gumul di lapik kumal
Begitu lekas jemu mendekat datang
Sebelum sempat saling mengenal
Bersijingkat dia berangkat pulang
Pusat itu seperti pusaran malam
Relung kelam, liang hasrat
Mengajakmu turun berendam
Tetapi lihat mata itu
Seperti hantu yang terlambat
Menatap sayu namun nanar tak tentu
Dalam lamun kabut opium tertambat
Perempuan, perempuan ke mana tujuan
Pagi masih jauh dan dingin menyengat
Lelaki, lelaki tempat di mana tumpuan
Mari ke sini mendekat, kuberi hangat
Sesingkat gumul di lapik kumal
Begitu lekas jemu mendekat datang
Sebelum sempat saling mengenal
Bersijingkat dia berangkat pulang
SAJAK ANAK-ANAK BERAHI
Anak-anak yang lahir hanya dari berahi
Dibesarkan oleh asuhan televisi
Diberi makan dari hasil korupsi dan pungli
Yaitu hak orang yang dicuri dan dikebiri
Dan kini mereka tumbuh jadi generasi
Yang kalah telak dengan diri sendiri
Mereka selalu sanggup membuat terhenyak ngeri
Setiap kali kita membuka halaman koran pagi.
Lihat betapa tak berdayanya mereka
Lihat betapa mindernya mereka
Sehingga menghambur dalam tawuran
Di tengah jalan-jalan yang semrawut
Sehingga berpesta menghirup serbuk tahi setan
Dalam kamar-kamar kontrakan yang sempit
Sehingga cuek bersebadan dengan pasangan
Di tempat-tempat keramaian
Sekedar untuk melepaskan
Geliat gelisah hajat
Lihatlah, betapa mereka bergelimpangan
Remaja-remaja yang memuja dan mengejar kesenangan
Yang mabuk untuk menyempurnakan kesenangan
Hingga ambruk melupakan segalanya
Bahkan rasa senang itu sendiri
Dan baru mampu terbangun
Ketika matahari telah jatuh tergelincir
Dengan kepala pening
Dan mata sakit oleh cahaya
Dengan hati getun
Dan mulut pahit
Mereka tertegun dan membatin
Setengah menyesal setengah bertanya:
Kok bagaimana bisa
Ku jadi sehina ini, ya?
Betapa menyedihkan
Generasi insan yang gagal
Memanusiakan dirinya
Yang tak kuasa
Mencahayakan jiwanya
Yang telah menyia-nyiakan
Kesempurnaan dan ketinggian derajatnya
Yang meluncur jatuh dengan bahagia
Menuju jurang kebinasaan
Dan akhirnya malah memilih
Menjadi binatang ternak
Yaitu golongan hewan terendah
Yang telah tercerabut dari habitatnya
Hanya bisa tinggal menanti
Memasrahkan merih untuk disembelih
Sembari membenamkan diri
Dalam lumpur hitam
Genangan kotoran sendiri
Dan mengunyahnya
Dengan tatapan hampa
Tanpa muak ataupun selera
Aih, betapa menyedihkannya
Anak-anak yang lahir hanya dari berahi
Kini telah tumbuh jadi generasi
Yang kalah dengan diri sendiri
Kelak mereka pun akan seperti kita
Melahirkan turunan baru
Yang jauh lebih hina.
Dibesarkan oleh asuhan televisi
Diberi makan dari hasil korupsi dan pungli
Yaitu hak orang yang dicuri dan dikebiri
Dan kini mereka tumbuh jadi generasi
Yang kalah telak dengan diri sendiri
Mereka selalu sanggup membuat terhenyak ngeri
Setiap kali kita membuka halaman koran pagi.
Lihat betapa tak berdayanya mereka
Lihat betapa mindernya mereka
Sehingga menghambur dalam tawuran
Di tengah jalan-jalan yang semrawut
Sehingga berpesta menghirup serbuk tahi setan
Dalam kamar-kamar kontrakan yang sempit
Sehingga cuek bersebadan dengan pasangan
Di tempat-tempat keramaian
Sekedar untuk melepaskan
Geliat gelisah hajat
Lihatlah, betapa mereka bergelimpangan
Remaja-remaja yang memuja dan mengejar kesenangan
Yang mabuk untuk menyempurnakan kesenangan
Hingga ambruk melupakan segalanya
Bahkan rasa senang itu sendiri
Dan baru mampu terbangun
Ketika matahari telah jatuh tergelincir
Dengan kepala pening
Dan mata sakit oleh cahaya
Dengan hati getun
Dan mulut pahit
Mereka tertegun dan membatin
Setengah menyesal setengah bertanya:
Kok bagaimana bisa
Ku jadi sehina ini, ya?
Betapa menyedihkan
Generasi insan yang gagal
Memanusiakan dirinya
Yang tak kuasa
Mencahayakan jiwanya
Yang telah menyia-nyiakan
Kesempurnaan dan ketinggian derajatnya
Yang meluncur jatuh dengan bahagia
Menuju jurang kebinasaan
Dan akhirnya malah memilih
Menjadi binatang ternak
Yaitu golongan hewan terendah
Yang telah tercerabut dari habitatnya
Hanya bisa tinggal menanti
Memasrahkan merih untuk disembelih
Sembari membenamkan diri
Dalam lumpur hitam
Genangan kotoran sendiri
Dan mengunyahnya
Dengan tatapan hampa
Tanpa muak ataupun selera
Aih, betapa menyedihkannya
Anak-anak yang lahir hanya dari berahi
Kini telah tumbuh jadi generasi
Yang kalah dengan diri sendiri
Kelak mereka pun akan seperti kita
Melahirkan turunan baru
Yang jauh lebih hina.
KERAKITA
Seperti kera kita
Yang lahir dan dibesarkan
Di kandang kebun binatang
Betapa tak mudah untuk menerima
Bahwa nun di balik gunung sana
Ada hutan tempat satwa hidup tenang
Apakah hutan itu
Serupa dengan kandang ini
Dengan jeruji dan lantai ubin ini
Kita berlari ke pojok
Meringkuk dan menjerit-jerit
Ketika mereka akan melepaskan kita.
Yang lahir dan dibesarkan
Di kandang kebun binatang
Betapa tak mudah untuk menerima
Bahwa nun di balik gunung sana
Ada hutan tempat satwa hidup tenang
Apakah hutan itu
Serupa dengan kandang ini
Dengan jeruji dan lantai ubin ini
Kita berlari ke pojok
Meringkuk dan menjerit-jerit
Ketika mereka akan melepaskan kita.
SULUK TUJUH PEMABUK
1.
Hayya!
Anggur cahaya yang engkau tuangkan
Ke dalam cawanku
Sungguh garang terasa
Menggasak kesadaran
Cambuk mabukmu
Melesat-lesat melecuti
Kesombongan yang menugu
Melucuti kepalsuan
Yang tebal membatu
Maka akal yang merengut angkuh
Pun terkekeh-kekeh
Seperti kakek tua nakal
Disempoyongkan tuak
Menyeret pusing langkahnya
Di pelataran pertokoan lama
Yang gelap dan pesing
Ia seperti badut gendut
Yang gemar berpura-pura lupa
Belum dipensiunkan dari sirkus
Menari-nari pula
Tak isin ia
Cuma mengangguk-angguk
Mengiyakan setiap kemungkinan
Menyetujui setiap dugaan
Yang ditujukan padanya
Biar insannya bisa bahagia
2.
Tuan,
Tuangkan lagi, tuangkan
Biar tak terluang ruang
Bagi kewarasan
Tirai telah dijatuhkan
Terjuntai indah
Menabiri kita dari hari
Palang telah dipasangkan
Menutup celah bagi si penyusup
Pandangan mereka terhalang
Sempurna terlindung kita
Inilah saaat kebebasan
Untuk bermain
Peminta-minta cinta
Luka yang disuling waktu
Begitu murni dan bening
Kini kusematkan sebagai hati
Air mata yang berguliran
Ganti menjelma butiran permata
bergelindingan jatuh di lantai rata
Kuambil satu kuselipkan syahdu
Di kening antara alis
Sebagai kenang-kenangan
Paling manis
3.
Nona
Paras anda lebih menggoda
Dari mimpi paling jalang
Yang pernah menodai
Ranjang putih keluguanku.
Janganlah berhenti
Memancing ingin
Karena engkau taburan sinar
Yang membinarkan mata
Setiap titik pasir
Di hamparan gurun ini
Berdesir disisir angin
Menyimpan jejakmu
Di sebaliknya
Sejak di masa jauh silam
Sekali engkau pernah melintasi
Melangkah pelan dan hati-hati
Merelakan belah tapak kakimu
Yang halus putih
Mengelus butiran debu yang haus
Membelai gugus karang yang mengerang
Dengan begitu
Lembutnya
Aduh
Tujuh samudera
Mampukah membasuh
Tubuh diri yang kuyup
Oleh olah ayun cinta
Bila kelak ia terjaga
Biarkan saja
Ia menolak untuk bangun
Ia ingin menikmati
Kematian ini dengan tenang
Di ketat pelukan lenganmu
Pada hangat lekatan dadamu
Nona
4.
Adakah sahaya bersalah
Jika begitu los
Dalam kepolosan ini?
Angin padang makin garang
Mengiring kerinduan
Semasa masih kecil dulu
Di antara bentangan bintang
Dan serakan galaksi
Sering kuintai engkau
Barangkali saja
Di atas sana
Ada nyangkut seutas benang
Dari jubah terangmu
Yang menjadi petunjuk bagiku
Untuk menuju arahmu
Patik memohon ampun
Tetapi engkau berucap empatik
Tak perlu pelik malu
Bukankah sungkan ragu
Adalah aib bagi kekariban
Marilah kemari
Tumpahkan hujan
Menaburi lembahku
Yang merekah rindu
5.
Tenang, tenanglah hati
Menikmati istirahat
Dalam kesejatian
Di luar pintu kayu jati ini
Di balik dinding batu kali ini
Seribu musuh yang dengki
Menghunus belati
Hening, heninglah hati
Mendetik di titik waktu
Mendetakkan keabadian
Burung-burung putih
Mengarungi jutaan tahun
Mengitari satu bukit batu hitam
Yang akarnya mencengkeram langit
Sementara pucuknya
Menusuk pusat bumi
Pusaran arus kasih
Memusat membuih
Diripun menoktah
Berdebar sabar
Mengolah massa cinta
Bergetar mencari ruang
Yang nyaris tiada lagi tersisa
Mesranya masyaallah
Rrruarrr biasa
Tak habis-habis
Kekal
Tak kenal sirna binasa
6.
Aku gila
Tergila-gila kepadamu
Begitu kaka slank
Ketika terbangun dari pingsan
Menjerit-jerit serak
Sembari berjingkrak-jingkrak
Di atas serakan semesta
Sesaat usai
Keruntuhan alam
Bagaimana bisa
Sehabis padam ruang
Dan terlipat waktu
Tanpa ada gelombang
Yang menghantar lagu
Suara itu melengking juga
Dan telinga siapa pula
Yang kupinjam ini
Untuk mengenalinya kembali
7.
Gema gelak tawa
Yang meledak pecah pertama
Sejak bermilyar abad lalu
Menjalar sabar
Di antara taburan beribu galaksi
Kini tiba mengguncang
Ia datang
Menendang gerbang pengetahuanku
Menabuh genderang perang
Bagi kebodohanku
Mengayunkan gendawa
Meremukkan ego
Tebaran tebakan
Yang kau sebarkan
Telah menjebak mati
Para pemburu
Yang mengaku mahaguru
Dari keraguan
Para pakar
Yang gemar mempertengkarkan
Perkara yang jelas benar
Para ahli
Yang terlatih memelintir dalih
Dengan dalil-dalil rekaan
Yang menggelikan jahiliahnya
Di hadapan kegilaan rahasiamu
Mereka hanya raksasa kerdil
Yang tersesat di belantara liliput
Dan diliputi kegelapan
Di atas kegelapan
Lihat betapa gelagapan tangan mereka
Mengais-ngais udara hampa
Megap-megap mulutnya
Mencari hawa
Dan kita
Hanya tertawa-tawa
Hayya!
Hayya!
Anggur cahaya yang engkau tuangkan
Ke dalam cawanku
Sungguh garang terasa
Menggasak kesadaran
Cambuk mabukmu
Melesat-lesat melecuti
Kesombongan yang menugu
Melucuti kepalsuan
Yang tebal membatu
Maka akal yang merengut angkuh
Pun terkekeh-kekeh
Seperti kakek tua nakal
Disempoyongkan tuak
Menyeret pusing langkahnya
Di pelataran pertokoan lama
Yang gelap dan pesing
Ia seperti badut gendut
Yang gemar berpura-pura lupa
Belum dipensiunkan dari sirkus
Menari-nari pula
Tak isin ia
Cuma mengangguk-angguk
Mengiyakan setiap kemungkinan
Menyetujui setiap dugaan
Yang ditujukan padanya
Biar insannya bisa bahagia
2.
Tuan,
Tuangkan lagi, tuangkan
Biar tak terluang ruang
Bagi kewarasan
Tirai telah dijatuhkan
Terjuntai indah
Menabiri kita dari hari
Palang telah dipasangkan
Menutup celah bagi si penyusup
Pandangan mereka terhalang
Sempurna terlindung kita
Inilah saaat kebebasan
Untuk bermain
Peminta-minta cinta
Luka yang disuling waktu
Begitu murni dan bening
Kini kusematkan sebagai hati
Air mata yang berguliran
Ganti menjelma butiran permata
bergelindingan jatuh di lantai rata
Kuambil satu kuselipkan syahdu
Di kening antara alis
Sebagai kenang-kenangan
Paling manis
3.
Nona
Paras anda lebih menggoda
Dari mimpi paling jalang
Yang pernah menodai
Ranjang putih keluguanku.
Janganlah berhenti
Memancing ingin
Karena engkau taburan sinar
Yang membinarkan mata
Setiap titik pasir
Di hamparan gurun ini
Berdesir disisir angin
Menyimpan jejakmu
Di sebaliknya
Sejak di masa jauh silam
Sekali engkau pernah melintasi
Melangkah pelan dan hati-hati
Merelakan belah tapak kakimu
Yang halus putih
Mengelus butiran debu yang haus
Membelai gugus karang yang mengerang
Dengan begitu
Lembutnya
Aduh
Tujuh samudera
Mampukah membasuh
Tubuh diri yang kuyup
Oleh olah ayun cinta
Bila kelak ia terjaga
Biarkan saja
Ia menolak untuk bangun
Ia ingin menikmati
Kematian ini dengan tenang
Di ketat pelukan lenganmu
Pada hangat lekatan dadamu
Nona
4.
Adakah sahaya bersalah
Jika begitu los
Dalam kepolosan ini?
Angin padang makin garang
Mengiring kerinduan
Semasa masih kecil dulu
Di antara bentangan bintang
Dan serakan galaksi
Sering kuintai engkau
Barangkali saja
Di atas sana
Ada nyangkut seutas benang
Dari jubah terangmu
Yang menjadi petunjuk bagiku
Untuk menuju arahmu
Patik memohon ampun
Tetapi engkau berucap empatik
Tak perlu pelik malu
Bukankah sungkan ragu
Adalah aib bagi kekariban
Marilah kemari
Tumpahkan hujan
Menaburi lembahku
Yang merekah rindu
5.
Tenang, tenanglah hati
Menikmati istirahat
Dalam kesejatian
Di luar pintu kayu jati ini
Di balik dinding batu kali ini
Seribu musuh yang dengki
Menghunus belati
Hening, heninglah hati
Mendetik di titik waktu
Mendetakkan keabadian
Burung-burung putih
Mengarungi jutaan tahun
Mengitari satu bukit batu hitam
Yang akarnya mencengkeram langit
Sementara pucuknya
Menusuk pusat bumi
Pusaran arus kasih
Memusat membuih
Diripun menoktah
Berdebar sabar
Mengolah massa cinta
Bergetar mencari ruang
Yang nyaris tiada lagi tersisa
Mesranya masyaallah
Rrruarrr biasa
Tak habis-habis
Kekal
Tak kenal sirna binasa
6.
Aku gila
Tergila-gila kepadamu
Begitu kaka slank
Ketika terbangun dari pingsan
Menjerit-jerit serak
Sembari berjingkrak-jingkrak
Di atas serakan semesta
Sesaat usai
Keruntuhan alam
Bagaimana bisa
Sehabis padam ruang
Dan terlipat waktu
Tanpa ada gelombang
Yang menghantar lagu
Suara itu melengking juga
Dan telinga siapa pula
Yang kupinjam ini
Untuk mengenalinya kembali
7.
Gema gelak tawa
Yang meledak pecah pertama
Sejak bermilyar abad lalu
Menjalar sabar
Di antara taburan beribu galaksi
Kini tiba mengguncang
Ia datang
Menendang gerbang pengetahuanku
Menabuh genderang perang
Bagi kebodohanku
Mengayunkan gendawa
Meremukkan ego
Tebaran tebakan
Yang kau sebarkan
Telah menjebak mati
Para pemburu
Yang mengaku mahaguru
Dari keraguan
Para pakar
Yang gemar mempertengkarkan
Perkara yang jelas benar
Para ahli
Yang terlatih memelintir dalih
Dengan dalil-dalil rekaan
Yang menggelikan jahiliahnya
Di hadapan kegilaan rahasiamu
Mereka hanya raksasa kerdil
Yang tersesat di belantara liliput
Dan diliputi kegelapan
Di atas kegelapan
Lihat betapa gelagapan tangan mereka
Mengais-ngais udara hampa
Megap-megap mulutnya
Mencari hawa
Dan kita
Hanya tertawa-tawa
Hayya!
Subscribe to:
Posts (Atom)
SAJAK JALAN PAGI BERSAMA
Pagi seputih seragam baru dan sesegar rambut basah para bocah ketika kita berjalan menyusur tembok yang mengendapkan waktu di perkampu...
-
STOPPING BY WOODS ON A SNOWY EVENING Whose woods these are I think I know. His house is in the village though; He will not see me stopping h...
-
PEREMPUAN 1. Beri aku cermin kaca yang rata tak retak atau telaga bening yang tenang airnya atau genangan embun di telapak tangan bunga...