Tuesday, November 07, 2006

SERUMPUN SAJAK CINTA (Dari arsip sajak lama)

TANPA CINTA

Tanpa cinta, kita tak akan pernah ada.
Karena cinta kepada diriNya,
Tuhan ciptakan insan menurut citraNya.

Bagai pelukis dalam khusyuk berkarya,
setiap goresan dan sapuan kuas di atas kanvasnya
adalah cerminan dirinya bagi mata pengamat seksama.

Tanpa cinta, dada kita tinggal rongga menganga hampa :
wajah kekasih, tanda mata kenangan, dan setangkai bunga
tinggal kumpulan sedih materi sepi terperangkap ruang dan kala.

Karena cinta membuka semua pintu serta jendela,
memberikan tempat bagi yang lain untuk masuk berdiam bersama
jiwapun meluas dan mendalam, masing-masing jadi bermakna.


SEBUAH SAJAK BERSAHAJA

inilah sajakku yang bersahaja saja
untukmu : perempuan bermata telaga
dengan rimbun rumpun cemara
pada tepinya

inilah sajakku untukmu :
nyanyian hujan penghujung tahun kelabu,
yang jatuh di tengah hutan yang jauh itu
dan kau, tak pernah tahu


PERTEMUAN

Seperti gerimis yang bernyanyi perlahan
dalam temaram impian, engkau telah meledakkan
sesuatu dalam diriku ketika pada suatu senja
mendadak kau menyapa dan sejenak aku diam terpana.

Alangkah sedihnya, sejak saat itu
aku pun menjelma adam : yatim piatu
yang dikutuk untuk berdua, yang didera sepi
berduka, sejak Tuhan mengajarinya arti sendiri.


KARTU BERGAMBAR

masih dengan dada berdebar seperti waktu pertama dahulu,
lebaran ini kembali kukirimkan selembar kartu bergambar untukmu
dengan latar biru seperti tahun-tahun lalu
hanya tertera nama serta tandatanganku di situ
yang kugoreskan dengan jemari gemetar dan perasaan tak menentu
meski ada begitu banyak hal yang aku ingin kamu tahu
mesti menulis apa, aku selalu ragu
walau kuingin benar mendengar kabarmu
setelah sekian lama tiada pernah bertemu
balasannya tak lagi terlalu kutunggu
karena telah mengerti : itu tak perlu


TERBANGUN DARI TIDUR SORE

Aku tersentak bangun dari tidur pendek oleh sebuah lagu lama
begitu nglangut mengalun dari radio, membuatku tertegun
lalu termangu lesu. Sudah jam berapa ?

Di jendela: ada langit
sarung tua yang luntur oleh cucuran waktu
murung, usang, dan kelabu.

Juga ada angin,
meluncur dingin dari busur malam
memburu burung-burung.

Sedang di halaman, gerimis yang bergumam
mulai menjejakkan kaki-kaki kecilnya
dengan malu dan ragu-ragu.

Senyap dan gelap merayap. Senja muram
menyapa di buram kaca jendela. Dan entah mengapa
tiba-tiba saja, aku teringat padamu.


SAJAK KECIL

Aku selalu membisikkan namamu
dalam setiap doaku yang sederhana
dan tentu juga
bersama beberapa harapan lain yang lucu-lucu,
yang membuatku malu dan tersipu sendiri
karena merasa,
ketika kusebutkan semua itu,
mungkin saja
jauh di atas sana
Tuhan hanya mengulum senyum
dan menahan tawaNya.


DI PUNGGUNG GUNUNG

Kata Khairil, Nasib itu kesunyian masing-masing
maka ketika lambaianmu memanggil (betapa ajaib dan asing!),
aku hanya tertegun hingga engkaupun gaib di cakrawala jauh.
Entah apa yang menahan: takutkah atau angkuh
atau semata keengganan tak pasti. Tetapi matahari yang melindap
meninggalkan bisik rahasianya pada jajaran pohonan yang senyap.
Sebentar kemudian gelap yang merayap mengendus jejak telah tiba,
kunyalakan api menjaga bayangku tetap bersama.
Esok ketika kokok ayam hutan bergema bersahutan, aku harus terus lagi
meninggalkan tumpukan hangus kayu dan torehan di pokok jati.


DINGIN HUJAN ANGIN

Dingin yang menderu tiba
Di manakah sarang asalnya
Di lubuk hatimu yang terkuak luka
Atau dari nafasku menghembus hampa

Hujan yang turun pertama
Dari manakah gerangan datangnya
Dari hatimu yang diracun duka
Atau dari mataku dirabun damba

Dan angin yang menderu swaranya
Ke manakah ingin menuju ia
Ke kotamu melintasi laut utara
Atau hanya berpusing dalam dada !


UNDANGAN

Cahaya Fajar bagi mataku yang menua, mari, rebahlah sebentar saja
bersandar pada lapang dada yang setia mendamba,
dan menyerahlah kepada sepasang lengan yang sedia menjaga.

Bila kau benar jawaban bagi sengal doa
akan kukekalkan engkau dari ajal,
kuluputkan dari lupa.

Biarkan sang Maut, pemburu yang cemburu itu,
sesat tak kuasa kehilangan alamatmu dan Waktu
sia-sia mengenduskan moncongnya melacak jejakmu

karena telah kuselamatkan engkau
ke dalam taman suaka rahasia
di hatiku.


PERMOHONAN MAAF

Maafkan,
Aku masih selalu mengingatmu
Ketika engkau telah merasa tenang dalam kenangan,
Aman tak terjangkau pada masa lampau.
Yang lebih terlalu lagi :
Aku mengingatmu dengan sesungging senyuman rahasia,
Keluh tertahan, dan hati berluruhan.

Maafkan,
Aku belum dapat melupakanmu
Setelah sekian lama silam berlalu.
Bagaimanakah ikan sanggup mengabaikan lautan,
Mampukah kupu-kupu menghalau angin,
Dan mungkinkah bunga menghapus cahaya
Dari ingatan
Setelah mereka terpisahkan ?

Maafkan,
Atau beri tahu aku caranya.


KARENA GADISKU SEMALAM

Maafkan
Karena hembusan nafas gadisku
Yang menyembur hangat
Di leher dan dadaku tadi malam
Membuatku membenci
Angin pagi yang datang
Mengetuk daun jendela

Maafkan
Karena merdu bisikan gadisku
Yang lirih mengalun telingaku semalam
Membuatku menyesali
Kicau burung-burung
Yang baru bangun dari sarangnya

Maafkan
Karena sayu tatapan mata gadisku
Yang menahanku tak terpejam sepanjang malam
Membuatku mengumpati
Matahari yang rekah
Di ufuk sana

Maafkan, maafkan
Karena dekapan erat gadisku
Yang menjerat tubuhku hingga subuh
Telah membuatku bertanya-tanya
Mengapa pagi
Kembali lagi


SAJAK CINTA

Cintaku untukmu, Perempuan
adalah udara.
Yang berarti ia telah meruh.
Jauh jarak ruang dan waktu
ia tempuh dengan angkuh
bagai bahtera dengan tiang layar tinggi kukuh
dan layar-layar putih lebar berkilauan disepuh mentari
melaju membelah ketujuh samudera,
sementara di kedua lambungnya gemulung gelombang ombak
menghantam dan pecah.
Namun ia tetap tabah tiada bimbang ragu
bertahan menuju pada arahnya
seakan tak kan pernah berubah.

Cintaku untukmu, Perempuan
adalah udara.
Kuhirup perlahan, dalam, dan berirama
saat duduk bersila memejamkan mata
di tengah larut malam buta.
Yang lalu menjadi energi
mengisi hampa rongga dada
dan meniup bara api hidup
yang dahulu perlahan redup
hingga kembali menggeletar berpijar
menyala berkobaran.

Cintaku untukmu, Perempuan
adalah udara.
Walau ia tak tampak bagi kedua mata
ia teramat nyata serta ada di mana-mana.
Menyentuh seluruh sudut dan penjuru,
meliputi segala sesuatu tanpa ada terluput,
dan dapat kau rasakan ia
merasuk sukma.


KEPADA ORANG ASING

Pagi tadi aku membuat segelas kopi saja
tanpa krim dan sedikit gula, seperti kesukaanmu. Betapa aneh
terasa, tanpa suara guyuran air dan senandung dari kamar mandi.
Aku lalu mencoba menonton pesawat televisi seharian seorang diri,
memain-mainkan remote control seperti seorang tolol
lalu merasa sewot sendiri. Tetapi aku tetap tak mampu berhenti
memikirkanmu.
Siapakah kamu, orang asing yang berbaring
di sampingku semalaman. Siapakah kamu.
Seperti sepasang ular jalang di liang sempit
kita telah saling melilit dan menggigit.
Telah kuhirup aroma khas kulitmu
dan bau harum rambutmu yang menyembur saat kau geraikan
telah membawaku ke tengah padang rumput di lembah
pada suatu pagi hari yang basah seusai reda
hujan musim semi yang pertama.
Setiap senti tubuhmu yang menerbitkan beribu mimpi
telah kutelusuri dengan jemari gemetar, dengan dada berdebar keras,
dan peluh yang menderas,
tetapi kau hanya tertawa serta mengangkat bahu
saat aku berkeras ingin tahu masa lalumu
dan meminta catatan alamat
ketika kau bergegas berkemas sebelum berangkat pergi.

Ah, seperti kali kecil, kau selalu menolak bercermin.
Seperti warna-warni mentari dalam lukisan impresionis,
kau beralih berganti tanpa letih.
Dan kemarin ketika aku meminta selembar gambarmu,
dengan ringan kau berkata tak acuh : ”Jangan menyimpan
kenangan masa lalu, itu semacam kecengengan yang tak perlu.”
Aduh ! Akupun tahu
hubungan kita tak punya masa depan. Harapan hanya impian.

Kini senja menyusut di jendela dan malam merambat perlahan.
Kurasakan betul
dingin menyelusup masuk lewat celah bawah pintu
mengendap dan menebal di lantai batu.

Untuk apa menyalakan lampu. Alangkah mengerikan
bila dalam terang aku hanya memergoki diri sendiri yang sepi.
Dalam temaram dan kelam aku merasa lebih tenteram dan aman. Seolah-olah
kau masih hadir di sini, diam di dekatku.
Menatap lekat dan lama tanpa berkata,
menemani.

Seperti seekor ikan menggelepar-gelepar
di atas pecahan-pecahan es, sukmaku yang telah menerima
kutukan itu akan menggeletar tak sabar menanti tiba
kabar berita darimu. Meski hanya selembar kartu pos,
mungkin dari suatu tempat yang jauh
di mana salju selalu jatuh dan matahari begitu pemalu
dan melulu berteduh.
Aku tidak berani memintamu untuk setia
--itu terlalu mustahil dan menggelikan bagimu, tentu--
hanya saja,
tolong, jangan lupakan saya...


MENANGISLAH DI DADAKU

menangislah di dadaku
tuangkan air mata ratapmu
ke dalam cawan senyap hatiku

di sini kita selamanya terasing
dari bising, desing, dan lengking sekeliling
jiwa kita : merpati di atas puing-puing

yang selamanya mendamba kembara
telah terlalu lama dibakar cinta membara
selalu rindu pada sarang di pohon purba

menangislah di dadaku
biar kuurapi rambutmu lembut beledu
dengan air mata kasihku

karena selain dari harum tubuhmu
dan lenganku kukuh merengkuhmu,
segalanya hanya bayang yang melintas semu


KEPADA PEREMPUAN YANG MENANGIS

Berhentilah membunuh diri
Cinta yang engkau tutupi
penuh kegugupan, sungguh
membuatku trenyuh.

Dik, jangan lagi
mengiris nadi
Jantung yang berdetak itu
melagukan pagi baru.

Tak ada padamu salah
selain percaya dan pasrah
-- bunda maria juga menyerah menerima
ketika cakrawala memberi bianglala.

Berhentilah membunuh diri
kini engkau tidak lagi sendiri,
Cinta yang bersemayam dalam tubuhmu
itu kristal embun langit jiwaku.


JANGAN HAPUS AIR MATAMU

Jangan hapus air matamu
ujung puncak segala rasa itu.
Segala suka, segala duka, segala luka
ujung puncaknya air mata juga.

Biarkan ia terbit mengalir
dan ricik nyanyiannya disebar angin semilir.
Biar ia basahkan lembah padas panas jiwamu
dan membelah bongkah cadas keras hatimu.

Biarkan terbit mengalir ia
lalu menggenang menjelma telaga.
Kobaran api neraka olehnya kan padam
dan menjelma kerindangan surga nan tentram.


MALAM BELUDRU

Lenganmu yang mengulur lemas bagai berduka
bagi kecemasan liarku, menjanjikan suaka.
Dalamnya pelukmu merengkuh lukaku
tentram dadamu menjadi Taman Getsemaniku• .

Kita begitu dekatnya, teramat lekat
hembusan nafasmu betapa hangat.
Tubuhku telah berpijar oleh baramu
namun masih juga kuserukan namamu.

Hingga kubenamkan matahariku
ke penghujung samudera malammu.
Berjuta bintangpun terbit di langit tinggi
malam raya semarak bertabur bunga api.


PARADISE REGAINED

Impian memadat dalam tubuhmu
sejak dipahat kau dari rusukku satu.
Dan taman surgapun jadi tak semenawan dahulu
Setelah pertama kali kujelajah perawan belantaramu.

Maka ketika lebar-lebar gerbang ke luar terbuka
kita melangkah turun namun tetap mengangkat kepala.
Dipermainkan angin, berkibaran jubah dan rambut kita
di hadapan : terhampar megah padang luas penuh bunga


KEINGINAN SEDERHANA PENGANTIN TUA

sedari pertama kali kita terpikat
sepasang sepi telah ditakdirkan untuk terlibat
dan akhirnya, bagai rumpun rambat, saling terikat

meski lenganku kekar tak kebal ajal
dan kembang dadamu tiada bakal kekal
tetapi sayang kita sungguh teramat bengal

kau tak ingin aku pergi, kau tak akan kubiarkan mati
seperti sepasang beringin, kita impikan abadi
berdiri berdampingan, melihat abad berganti


SUNGAI NAFASMU

sungai nafasmu
halus menjuntai di dadaku

arus rambutmu yang sejuk
menggerus bebatuan di perutku

dan riak-riak jemarimu
mengelus lembut relung purba itu

aku lembah yang rengkah
terima kasih telah membelahku


PEREMPUAN LAUT

Tubuhmu menyemburkan gelombang samudera
melanda dan menggulungku
hingga ke palung laut paling biru.

Tolong jangan biarkan arus membawaku
kembali ke atas sana; aku ingin terus
terbaring saja selamanya di sini

--di antara ganggang dan karang
bersama kerang dan ikan-ikan
yang tak pernah melihat terang,

selain biru yang paling kelam--
di lubuk terdalam
mautmu


QAYLA

Kami, Qays dan Layla,
bukanlah majenun;
tetapi kewarasan Cinta
adalah kegilaan bagi kalian
--apatah lagi bila kegilaannya!

Sejak Cinta menyapih kami
terbukalah kelopak dalam dada
kami pun melihat dunia yang kalian kenal
tak lagi dengan pandangan Dajjal
--mata dan hati kami sama bercahaya!

Jalan Cinta tidaklah meminta,
Jalan Cinta adalah memberi,
menyerahkan merih untuk disembelih
untuk jadi persembahan di altarNya
--yaitu meniada untuk mengada!

Bila kalian bertanya, inilah rahasia:
kelopak terpejam Ismail, tangan gemetar Ibrahim,
dan belati yang berkilatan dalam genggamannya,
adalah cinta semata juga yang menjelma
--untuk menuntunmu ke Jalan ini!

4 comments:

Tari Artika said...

Waaah setelah sejak lama mencari cari arsip sajak lama ini..

Favorit saya "Maafkan"

hendragunawan said...

Terima kasih, Tari. Smoga tetap asyik dinikmati, sajaknya

Unknown said...

Halo Mas Hendra,
ijin buat bacain boleh nggak?
Aku udh baca beberapa kali buat ngulik , rasanya nyaman!

hendragunawan said...

hola...silakan mas/mbak...senang bisa membuat pembaca merasa nyaman :)

SAJAK JALAN PAGI BERSAMA

  Pagi seputih seragam baru dan sesegar rambut basah para bocah ketika kita berjalan menyusur tembok yang mengendapkan waktu di perkampu...