NYANYIAN AKHIR TAHUN
Mendung memang menggantung bagai helai-helai tirai tua
yang mengandung rahasia kemurungan di setiap lipatannya.
Tetapi geriap cahaya tak terbendung
meskipun cakrawala lindap bagai pelupuk perempuan,
mengembung oleh sisa kantuk persetubuhan malam.
Rebahkanlah kepalamu yang lelah pada dingin bantal.
Kelam ini sebentar dan tak mungkin kekal;
tak lama lagi badai selesai dan akan kau jumpai
pelangi yang kau kenal beserta seri bunga-bunga
yang basah gemerlap oleh basuhan hujan.
Lihatlah mereka pun telah bersiap
untuk sebuah pesta.
Tentu, segalanya akan kembali:
yang pahit dan yang manis,
pastilah berlalu.
Selalu begitu.
DALAM KABUT GERIMIS
Dalam kabut gerimis
sungai cahaya mengalir tenang
arusnya terus tak pernah putus
membelah kota, anggun penuh pesona.
Di kedua tepinya lampu-lampu merkuri
setia menjaga nyalangkan mata.
Dalam kabut gerimis
deru kendaraan dan lengking klakson
padu dan merdu bersahutan berlagu
bernyanyi menyambut malam hari.
Berteduh di pelataran toko yang sepi pengunjungnya :
lelaki sendiri berdiri termangu.
Dalam kabut gerimis
segala yang fana
membuat terpana
dan segala yang sederhana
jadi indah
dan bermakna.
TERBANGUN DARI TIDUR SORE
Aku tersentak bangun dari tidur pendek oleh sebuah lagu lama
begitu nglangut mengalun dari radio, membuatku tertegun
lalu termangu lesu. Sudah jam berapa ?
Di jendela: ada langit
sarung tua yang luntur oleh cucuran waktu
murung, usang, dan kelabu.
Juga ada angin,
meluncur dingin dari busur malam
memburu burung-burung.
Sedang di halaman, gerimis yang bergumam
mulai menjejakkan kaki-kaki kecilnya
dengan malu dan ragu-ragu.
Senyap dan gelap merayap. Senja muram
menyapa di buram kaca jendela. Dan entah mengapa
tiba-tiba saja, aku teringat padamu.
TAMALANREA, MALAM SEBELUM GERIMIS REDA
pohonan ki hujan dan jati belanda
juga flamboyan dan angsana
berjajar di sepanjang jalan
gemetar dijamah angin selatan
pendar cahaya lampu-lampu ukir
memang tak berdaya untuk mengusir
malam yang datang bawa senyap
menyihir kita jadi bayang gelap
sepasang wajah yang karib
sekarang musnah perlahan gaib
saya takut, lembut cemasmu
pegang tanganku, sahutku
lenganmu yang penuh dan telanjang
sungguh membuatku meremang
rambutmu meruapkan wangi
lebih hunjam dari setanggi
maka selirih bisikan ada yang luruh
bersama rintik ketika tiba meruntuh
dan di halte kecil yang ditinggalkan
helai-helai kecupan pun bertanggalan...
DI PEREMPATAN JALAN
Cuaca sore membiru, kelopak cakrawala memberat
lalu luruh dikatupkan kantuk di pelupuknya.
Gegas lalu lintas mendesak-desak ke batas tepi
menakutimu ke seberang jalan itu. Hujan bertaburan
mengaburkan pandang, menggiring pejalan kaki
menyusuri koridor pertokoan yang telah tutup lebih cepat.
Anak-anak kecil bernyanyi dangdut dalam kuyup, sementara
seorang orang tua membereskan serakan keping recehan.
Dan klakson-klakson saling bersahutan memekakkan telinga,
seakan pekik terakhir dari sisa laskar yang terusir putus asa,
sebelum akhirnya mereka mereda menyerah senyap
dan rebah menerima malam dengan dada reda,
membiarkan lampu-lampu meledakkan mata mereka
melubangi kota dengan tikaman-tikaman cahaya.
VIA DOLOROSA
Pohonan berbisik di sepanjang lengang jalan ini
oleh rintik sesekali yang menorehkan melankoli
seakan sore bakal jadi sekekal rasa sesal
: jangan menoleh, atau engkau takkan sampai ke asal!
Tetapi kenapa sesal tiada kenal usai, kenapa sedih
bisa jadi lebih abadi dari harapan yang letih.
Dan memang, di penghujung jalan pun burung-burung
menghambur ke dalam jubah senja, sosok berselubung
yang turun berdiri menghadang dengan angkuh
merentangkan lengan-lengannya begitu kukuh
sehingga tiang-tiang lampu juga tak mampu menahan
jingga itu susut ke arah barat, perlahan.
Dan senja juga akan selesai sebelum ia tiba di sana,
akhirnya; membuat pohonan menggumamkan nubuat purba
yang telah lama terlupakan itu. Tirai-tirai gerimis lalu diturunkan
bersusun, menyihir jalan jadi lengang, kenangan sesepi impian
tuhan, tuanku, jangan aku kau tinggalkan...
BANGUN TIDUR
Di biru subuh
separuh bulan
berlabuh perlahan.
Sisa kuyup hujan
menyusupkan dingin
dan lembab pada bantal.
Impian yang telah tahu sebentar
harus pergi, menggeletarkan sayap. Kecupnya
lembut bagai sayup lambaian slamat tinggal.
Dan basah hawa pun memetakan kembali
tepi-tepi tubuhmu. Terawang matamu berembun
mencari-cari dirimu di tengah temaram ruang,
setelah semalam menghambur dan mengabur
dalam kabut alpa. Mengumpulkan kembali
yang dihanyutkan laut lupa, setengah terengah engkau
menggapai-gapai dari tubir tidur.
Kun! Bangunlah, untuk sehari
lagi.
REKUIM MUSIM GUGUR
Seperti engkau kukenal melambai dan memanggil
Menghampir sesampai tapal penanggalan, antara april
Dan mei, dengan sengal dingin menggigit gigil
Hingga hijau warna hutan kecil jadi bersalin
Kuning jingga juga merah suasa, dan kicau burung terdengar lain
Hingar melengking ke arah cuaca, namun lebih murung, mungkin
Meratap oleh ulah musim yang dikirim genapi
Upacara purba ini. Tetapi senyap sepimu menyekap surup hari;
Malam tumbuh kian larat lagi sedangkan redup pagi
Bertambah lambat, dari tiga kerat
Bulan yang sembab seolah selimut bulu, memberat
Disebabkan basah lembab dan gelap kelabu. Namun lihat,
Seperti ikal dedaun digelung surya
Tak mengeluh, bagai kelopak kemboja
Mengilaukan igal kilat terakhirnya
Saat tanggal berluruhan lalu terserak di tepian jalan
Aku pun akan tinggal tegak diam, membiarkan
Jemarimu kelak menelanjangi kelamku, kekal, perlahan.
.....yang hadir mengisi di antara dua kesunyian--kelahiran dan kematian..... (An Indonesian poems corner ; the poet : Hendragunawan)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
SAJAK JALAN PAGI BERSAMA
Pagi seputih seragam baru dan sesegar rambut basah para bocah ketika kita berjalan menyusur tembok yang mengendapkan waktu di perkampu...
-
STOPPING BY WOODS ON A SNOWY EVENING Whose woods these are I think I know. His house is in the village though; He will not see me stopping h...
-
PEREMPUAN 1. Beri aku cermin kaca yang rata tak retak atau telaga bening yang tenang airnya atau genangan embun di telapak tangan bunga...
No comments:
Post a Comment