Saturday, June 18, 2011

RUMAH CAHAYA

-Shinta Febriany dan Sukma Sillanan

Sudah separuh malam kuhirup dalam secangkir kopi.
Buih bir terakhir pun telah pecah di dasar gelas
yang seakan enggan melepaskan cengkeram bibirmu
dan masih ingin terus mengenangnya,
biarpun hanya dengan sisa desis lemah.

Sayang, mungkin cinta di bulan Februari ini memang
ditakdirkan hadir dengan kesedihan yaang sempurna:
gerimis yang tak henti menyirami lembar-lembar halaman
sekumpulan puisi putus asa, edisi luka pertama,
terbuka di atas meja, mekar di antara mata kita.

Ke mana lagi akan berumah,
begitu tanya yang terus tergurat, seperti setia
di tembok gedung tua yang ringkih kusam.
Juga di dinding hati kita yang letih legam
menggugat sebuah kota yang makin tak ramah.

Inilah dunia kita: citra silangan cahaya,
yang dicipta dan ditata Sukma, saling jalin
dalam ilusi tatap kagum, desah lirih pesona
dan tepuk tangan yang seolah abadi menggema di langit-
langit ruang yang kini cuma menanti runtuh

Menunggu, siapa yang betah bertahan
ketika perlahan sorot lampu-lampu surut dipadamkan
menyisakan terap kayu dan terpal berdebu
di halaman depan Societiet de Harmonie,
di tepian Jalan Ahmad Yani.

3 comments:

mwn ni said...

top!

hendragunawan said...

thanks kak muhary...ini sajak sdh lama dalam proses. sejak selesai acara mengenang ws rendra-mu itu, sebagian bait terahirnya sdh dibuat tapi macet. anehnya, semalam baru lancar mengalir jadi

erni aladjai said...

keren kak hendra..... sukaku.

SAJAK JALAN PAGI BERSAMA

  Pagi seputih seragam baru dan sesegar rambut basah para bocah ketika kita berjalan menyusur tembok yang mengendapkan waktu di perkampu...