KALENDER BARU DI DINDING LAMA
-anno 2006
Toko-toko besar sedang
Berlomba obral cuci gudang
Paket travel akhir pekan
Kembali meriah ditawarkan
Meriuh karnaval di jalan
Kian macet pula kendaraan
Tetapi tak mampu menipu:
Hanya rutin berikut yang menunggu
Hanya rotasi dan revolusi
Dari bumi dan matahari
Yang telah bersama
Sejak kita belum bernama
Memang, kekalahan yang sama
Mari coba kita sejenak lupa
Harapan yang usang
Digumamkan berulang
Yang berbeda hanya
Kalender di dinding lama
SEORANG TUA DI MALAM TAHUN BARU
-anno 2006
Tubuhku menambun, rambutku beruban
Mataku rabun, geligi belulangku rapuh
Di luar sana, parade tahun baru riuh bersahutan
Tak kuasa lelap, tiada guna pula mengeluh
Anak mantu cucu nanti pulang jelang pagi
Di sebelah, hidangan dan susu tak tersentuh
Berapa puluh purnama berulang lagi
Hidup ini harus kutempuh?
PANTUN TAHUN BARU 2001
Bunga api dan pesta mercon
Jerit trompet dan pekik klakson
Betapa makin dekat saat penghabisan
Sedangkan harapan, kian samar di kejauhan
CATATAN MALAM TAHUN BARU
-jalan braga, bandung, 2000
Di sebuah kota yang asing
Tanpa cinta yang meminta setia
Atau janji menanti dipenuhi
Ia menyusuri seruas jalan tua
Dengan bangunan-bangunan bergaya belanda
Dan lampu-lampu kuning pucat
Menyirami dinding merah batanya
Serta tiga pria tionghoa tua
Tak acuh bermain kartu
Bertaruh dengan waktu
Bertarung dengan sendu
Malam tahun baru,
Dan setahun kembali berlalu
Tetapi sengaja memang
Ia menghindar dari keramaian
Dari riuh pesta di pusat kota
Dan dari pasangan-pasangan muda
Yang melangkah berangkulan mesra
Sembari sesekali saling memagut.
Kegembiraan mereka
Adalah lecut rasa sakit baginya.
Ia menyenangi suasana itu :
Jalan tua yang lengang,
Cuaca yang tenang,
Arsitektur lama
Yang remang
(yang ketika larut malam tiba
hanya dihuni bayang hantu-hantu masa silam
yang teramat sayang kepada kenangan),
dan sinar kuning pucat dari lampu-lampu hias
yang berpendaran membias gemetar di trotoar
dalam udara malam yang dingin,
seperti lingkaran kuning cahaya
di sekeliling kepala para santa
yang dalam selubung jubah ungu
berdiri khusuk dan murung
mematung dalam kontemplasi :
renungan tentang yang fana
dan yang abadi.
Lelah berjalan, ia pun dahaga.
Setelah menghitung uang sisa di kantung celana
Dan sejenak tertegun,
Ia menyeberang perlahan
Dengan kedua tangan dalam saku
Masuk ke satu warung kedai
Yang tanpa pengunjung dan terabaikan
Memesan segelas kopi hitam kental
Lalu duduk menikmatinya
Dengan gerak lamban dan senyap
Dengan hirupan yang dalam
Sebagaimana ia juga menikmati
Menyiksa diri dengan sepi
Kawan-kaman lama
Telah memilih menyerahkan diri
Dan kini ditawan dalam rumah-rumah mungil
Dengan pelat nama tembaga
Berkilat di atas ambang pintunya
Ia lantas menyadari
Ia telah bertambah tua
Dan sendiri.
Dua tiga helai uban
Membubuhkan warna kelabu perak
Pada rambut ubun-ubun kepala
Dan garis-garis kerut
yang diguratkan oleh tahun-tahun lampau
kian dalam terukir
pada raut wajahnya yang letih.
Ya, masa lalu selalu membelenggu
Dan harapan kerap menipu,
Tak terasa,
Tuntas sudah diminumnya gelas kopi kedua
Dan dua milenium tanpa terasa
pun berlalu dalam lamunan.
MALAM TAHUN BARU
-1996
Malam ini malam tahun baru
seisi kota merayakannya penuh haru.
Dalam kamar aku mlungker di ranjangku
tidak tidur, hanya tak mau tahu.
Bukankah setiap hari adalah tahun baru
jika dihitung mulai dari setahun yang lalu.
Atau setiap hari bukanlah tahun baru
kecuali genap setahun dari saat lahirmu.
NAFAS WAKTU
-anno 2006
Nafas waktu menyentuh besi
Dan terali pagar itu berkarat
Nafas waktu menyentuh batu
Dan dinding bata itu lumutan
Nafas waktu menyentuh kayu
Dan kursi ayun itu melapuk
Nafas waktu menyentuh bunga
Dan melati di meja itu layu
Nafas waktu menyentuh insan
Dan aku terpaku di depan cermin
PERLAHAN, PERLAHAN
-anno 2006
Perlahan
Perlahan
Kami datang
Turun menghambur
Ke pengkuanmu
Yang terhampar terbuka
Dan gembur
Oleh cinta nan purba
Bumi yang lembut
Gelap dan basah
Ke pangkuanmulah
Resah kami menuju
Di musim ketiga
Ketika kita sepakat
Bertemu
Bercumbu
Menyatu
Keluh kecil terlontar
Dari mulut-mulut mungil kami
Sebelum kelu
Dibungkam kelam
Pelukan lenganmu
Tak pernah kami sangka
Akan begini
Nyatanya
Perlahan
Perlahan
Daun-daun
Tahun
Berjatuhan
Tak tertahan
RUANG WAKTU AKU
I.
Di manakah bertepi kegelapan ini
(ia membayangkan tujuh anak tangga
sampai mencapai singgasana dan di anak tangga pertama
bertebaran berlaksa-laksa piringan galaksi)
Tetapi setiap benda berada dalam ruang
yang mesti berbatas tepi dan setiap ruang materi
pasti dibaliknya terdapat ruang yang lebih besar lagi.
Berlapis-lapis ruang hingga tak terhingga, ‘kan begitu?
Kecuali jika memang benar semua itu
hanya ada di dalam dada-
nya sendiri. Begitu
bukan?
II.
Ia menyilang penanggalan,
menunggu minggu berlalu, membilang bulan,
dan menanti tahun berganti dengan setia, sampai mati.
Tetapi yang ada hanya matahari itu,
siklus dalam ruang yang kembali tanpa putus
bagai gelang api dalam gelanggang sirkus abadi.
Dan ia hanya keledai tolol--bukan singa--
yang harus bolak-balik menerobosnya sia-sia.
III.
Kalau begitu, siapa sih sampean di situ,
sampai berani-beraninya menanyakan ini dan menyangka itu.
Kok bisa-bisanya, meragukan segala sesuatu
dan bahkan meragukan keraguan itu sendiri;
memandang segalanya dan bahkan memandang
pandangan itu sendiri.
Hanya senoktah jasad renik pada satu sel semesta raya
ataukah memang pangeran mahkota dari sang maharaja?
USAHA MEMBEKUKAN WAKTU
Kita semua menyangka
Telah berhasil memerangkap waktu
Menyekapnya di kalender, memberikannya nama
Dan menghitung-hitung usianya
Tetapi, seperti arloji dalam lukisan Salvador Dali,
Waktu selalu lolos dari lubang kunci
Dan bagaikan tali-tali yang lentur terentang
Ia memanjang memendek bagi masing-masing orang.
Dan tiap-tiap kita, sendiri meniti di atasnya
Dari satu lubang gelap ke lubang gelap yang lain lagi
Melintasi jurang dalam kelam
Yang menganga seram dan hampa.
KENANGAN KANAK-KANAK
Telah kutelusuri kembali jalur hidupmu,
mundur ke tujuh puluh dua tahun lalu
yang seperti lembar halaman buku cerita
penuh gambar-gambar beraneka warna.
Di situ kutemukan kisah putri salju, telaga yang menggenang
dari sebatang lidi, malingkundang si pendurhaka, dan oedipus
yang berkelana serta ramayana dan mahabharata.
Juga cita-cita jadi presiden, mimpi tentang seorang nabi
yang dahaga dan terluka, angan superman,
dan pilot pesawat tempur yang perkasa,
hingga rasa kangen yang mendesak aneh untuk pertama kali
yang telah memaksamu menguntitnya setiap pulang sekolah
seperti kucing yang setia.
Dan juga,
basah pada celana
yang membuatmu resah malu ketika bangun pagi.
Sekarang engkau di sini : cemas menyilangi penanggalan
di dinding kamar yang dingin memar oleh lembab hujan,
dan gemar mendengar lagu-lagu lama serta membaca kisah
dengan tema-tema sederhana : semua yang sekedar gema,
bukan gempar gempa. Juga suka duduk termangu di ambang pintu,
tetapi bukan untuk menunggu seorang tamu
yang lama diimpikan bertemu,
karena telah lelah dan tahu : harapan hanya menipu
dan semuanya cuma semu.
Tetapi tak usah bersedih hati : tak ada mimpi
yang mati, tak ada angan yang tumbang
karena di sejumlah dunia yang lain sama sekali, saat ini,
engkau adalah semua yang pernah kau inginkan.
Sesuatu yang kini dikenangkan, dahulu telah menjadi riwayat
yang memilih berpisah dari kenyataan sehari-hari
kemudian berjalan merentangkan sejarahnya sendiri.
Sekarang, di sana, engkau adalah seorang presiden yang
telah dikalahkan, superman yang memilih kerja wartawan lalu menikah
dengan Lana, serta seorang pengiring nabi yang sejuk di tengah api.
Juga ada satu pesawat tempur jatuh kena gempur lalu terkubur
di tengah samudera yang mengabur dalam kabut.
Jadi, tak usah takut dan berduka. Mengapa tertunduk kuyu dan
menghela lesu. Berbaringlah setelah menutup pintu, menurunkan tirai,
dan memadamkan lampu. Tenanglah, tak akan lama perihnya.
Hanya sebentar saja. Telah kubaca semuanya.
Betapa nafasmu yang terengah kian perlahan tertahan-tahan
bersama tubuhmu yang terbujur lemas di pembaringan kayu
semakin melecut gemasku untuk melucuti hidupmu.
Kita akan pergi ke tengah samudera jauh,
menengok pilot pesawat tempur yang terjatuh itu ;
Kasihan, ia kesepian di sana,
hanya berteman ikan-ikan yang suka tak acuh
Ayo,
Nii-na bobo…
ooo nii-na bobo…
NYANYIAN AKHIR TAHUN
Mendung memang menggantung bagai helai-helai tirai tua
yang mengandung rahasia kemurungan di setiap lipatannya.
Tetapi geriap cahaya tak terbendung
meskipun cakrawala lindap bagai pelupuk perempuan,
mengembung oleh sisa kantuk persetubuhan malam.
Rebahkanlah kepalamu yang lelah pada dingin bantal.
Kelam ini sebentar dan tak mungkin kekal;
tak lama lagi badai selesai dan akan kau jumpai
pelangi yang kau kenal beserta seri bunga-bunga
yang basah gemerlap oleh basuhan hujan.
Lihatlah mereka pun telah bersiap
untuk sebuah pesta.
Tentu, segalanya akan kembali:
yang pahit dan yang manis,
pastilah berlalu.
Selalu begitu.
.....yang hadir mengisi di antara dua kesunyian--kelahiran dan kematian..... (An Indonesian poems corner ; the poet : Hendragunawan)
Tuesday, January 02, 2007
PENYERAHAN
Engkau indah
Bagaikan keindahanmu
Yang begitu indah
Telapakku gemetar
Memahat hasrat
Pada pelosok sosokmu
Yang bercahaya
Engkau indah
Bahkan lebih indah
Dari keindahanmu
Pesonamu menyulutku
Mulutku megap
Menyalalah doa
Paling rahasia
Engkau indah
Kepunglah aku
Dengan pelukanmu
Kotaku telah takluk
Jatuh dengan suka cita
Sebelum engkau
Mengetuk gerbang
Bagaikan keindahanmu
Yang begitu indah
Telapakku gemetar
Memahat hasrat
Pada pelosok sosokmu
Yang bercahaya
Engkau indah
Bahkan lebih indah
Dari keindahanmu
Pesonamu menyulutku
Mulutku megap
Menyalalah doa
Paling rahasia
Engkau indah
Kepunglah aku
Dengan pelukanmu
Kotaku telah takluk
Jatuh dengan suka cita
Sebelum engkau
Mengetuk gerbang
AKU DAN LABA-LABA
Laba-laba membangun sarangnya
Di jalur yang jarang kulalui
Itu artinya
Laba-laba cukup tahu diri
Untuk tidak membangun sarang
Di jalur yang sering kulalui
Dan bahwa aku harus melewati
Jalur yang memang sering kulalui
Atau kembali menggunakan
Jalur yang jarang kulalui itu
Bila tak ingin ia
Merajut jaringnya
Di situ
Aku rasa
Aku dan laba-laba
Kini lebih bisa
Saling memahami
Di jalur yang jarang kulalui
Itu artinya
Laba-laba cukup tahu diri
Untuk tidak membangun sarang
Di jalur yang sering kulalui
Dan bahwa aku harus melewati
Jalur yang memang sering kulalui
Atau kembali menggunakan
Jalur yang jarang kulalui itu
Bila tak ingin ia
Merajut jaringnya
Di situ
Aku rasa
Aku dan laba-laba
Kini lebih bisa
Saling memahami
DARI TIGA (JUDUL) LAGU KLASIK
1. Balada Si Malang Adelina
Senja begitu pelan
Dan di lorong lama
Ada Adelina berjalan
Dan dengan tangannya
Menyisir dinding lumutan
Ingin ia rasakan kembali
Dingin waktu menghijau beku
Senja begitu pelan
Dan di lorong lama
Ada Adelina berjalan
Menyusur kenangan
Yang terjulur panjang
Dan lembut basah
Bagai lidah impian
Senja begitu pelan
Dan di lorong lama
Ada Adelina berjalan
Dengan senandung rendah
Sebelum tertegun bisu
Di kelok turunan itu
Di depan rumah yang dulu
Senja begitu pelan
Dan di lorong lama
Adelina akan terus jalan
Meski bocah di jendela
Hanya berseru-seru
Ibu, Ibu, itu ada hantu
Berhenti di depan pintu
2. Romansa Asmara
Ia telah disembelih
Oleh kelembutan
Jemari cinta
Terbujur putih
Seperti redup pesona
Pagi yang perawan
Di kantungnya mimpi
Yang dititipkan
Sisa rembulan
Perjaka telah pergi
Dengan kereta ke utara
Ya, ke utara
Tanpa pernah tahu
Tak perlu lagi
Kembali
3. Untuk Elisa
Usiamu masih belasan, Elisa
Tetapi cumbumu
Sungguh tak berbelas kasih
Jantungku yang malas
Tercerabut, kau renggut
Tanpa ampun
Amboi, gairah dara
Penuh bara
Tanpa pura-pura
Usiamu belasan Elisa
Dan esok lusa
Mungkin namaku terlupa
Belia kisahmu penuh gelisah
Belum tuntas kucatat
Hingga kita terpisah
Tak apa
Aku tak meminta
Dan kau pun tak mencinta
Hanya kecuplah sekali lagi
Bibirku yang kering
Dan memutih ini
Senja begitu pelan
Dan di lorong lama
Ada Adelina berjalan
Dan dengan tangannya
Menyisir dinding lumutan
Ingin ia rasakan kembali
Dingin waktu menghijau beku
Senja begitu pelan
Dan di lorong lama
Ada Adelina berjalan
Menyusur kenangan
Yang terjulur panjang
Dan lembut basah
Bagai lidah impian
Senja begitu pelan
Dan di lorong lama
Ada Adelina berjalan
Dengan senandung rendah
Sebelum tertegun bisu
Di kelok turunan itu
Di depan rumah yang dulu
Senja begitu pelan
Dan di lorong lama
Adelina akan terus jalan
Meski bocah di jendela
Hanya berseru-seru
Ibu, Ibu, itu ada hantu
Berhenti di depan pintu
2. Romansa Asmara
Ia telah disembelih
Oleh kelembutan
Jemari cinta
Terbujur putih
Seperti redup pesona
Pagi yang perawan
Di kantungnya mimpi
Yang dititipkan
Sisa rembulan
Perjaka telah pergi
Dengan kereta ke utara
Ya, ke utara
Tanpa pernah tahu
Tak perlu lagi
Kembali
3. Untuk Elisa
Usiamu masih belasan, Elisa
Tetapi cumbumu
Sungguh tak berbelas kasih
Jantungku yang malas
Tercerabut, kau renggut
Tanpa ampun
Amboi, gairah dara
Penuh bara
Tanpa pura-pura
Usiamu belasan Elisa
Dan esok lusa
Mungkin namaku terlupa
Belia kisahmu penuh gelisah
Belum tuntas kucatat
Hingga kita terpisah
Tak apa
Aku tak meminta
Dan kau pun tak mencinta
Hanya kecuplah sekali lagi
Bibirku yang kering
Dan memutih ini
KETULUSAN IBU
Suamiku,
Mungkin kau akan merebut anak ini
Lalu menyebutnya dengan namamu
Barangkali pula kalian akan sempurna
Melupakanku
Aku lepaskan dengan ikhlas, meski jelas
Sepasang kelopak air mata akan mengembang
Di remang pelupukku
Berbelaslah, aku akan berpura-pura
Tak pernah ada
Setelah peluk terakhir ini
Telah kumiliki apa yang tak akan pernah dapat
Kubagi dengan kalian:
Perih nikmat ketika keindahan datang menikam
Menghunjam berulang
Jerih payah berbulan menjadi inang bagi pesona
Yang mendekam di liang rahim ini
Jerit pedih tertahan antara hidup mati
Ketika ia menyeruak lengkingkan tangis pertama
Dan redup kantuk turun selubungi tubuh sesudahnya
Yang membawaku lelap pulas dalam puas senyuman
Itulah semua kelezatan yang melekat
Bertahan pada sepanjang badan
Terkenang selalu oleh jemari tanganku
Bahkan teringat oleh keringat
Dan nafas hayatku
Ah, andaikan mungkin berbagi
Ingin kuberikan pula apa yang muskil
Kau miliki ini
Biar seutuhnya bisa penuh bahagiamu,
Pembacaku
Mungkin kau akan merebut anak ini
Lalu menyebutnya dengan namamu
Barangkali pula kalian akan sempurna
Melupakanku
Aku lepaskan dengan ikhlas, meski jelas
Sepasang kelopak air mata akan mengembang
Di remang pelupukku
Berbelaslah, aku akan berpura-pura
Tak pernah ada
Setelah peluk terakhir ini
Telah kumiliki apa yang tak akan pernah dapat
Kubagi dengan kalian:
Perih nikmat ketika keindahan datang menikam
Menghunjam berulang
Jerih payah berbulan menjadi inang bagi pesona
Yang mendekam di liang rahim ini
Jerit pedih tertahan antara hidup mati
Ketika ia menyeruak lengkingkan tangis pertama
Dan redup kantuk turun selubungi tubuh sesudahnya
Yang membawaku lelap pulas dalam puas senyuman
Itulah semua kelezatan yang melekat
Bertahan pada sepanjang badan
Terkenang selalu oleh jemari tanganku
Bahkan teringat oleh keringat
Dan nafas hayatku
Ah, andaikan mungkin berbagi
Ingin kuberikan pula apa yang muskil
Kau miliki ini
Biar seutuhnya bisa penuh bahagiamu,
Pembacaku
Sunday, December 17, 2006
DUA SAJAK BARU
FRAGMEN KECIL DI BERANDA
Sudah selesai hujan
Meski sisa gerimis
Masih juga berjatuhan
Membasahi beranda
Di mana kita berdua
Sama berada
Barisan lampu kota di jauhan
Mulai semarak lagi
Berlomba cahayanya
Suara klakson samar meriuh
Kembali ribut saling sahut
Melanjutkan malam
Angin berkesiur
Merisikkan dedaun
Meliuk di rumpun perdu
Lalu dengan sendu
Meluruhkan bunga jambu
Di halaman rumahmu
Pada genangan air
Bayang terpencar
Warna berpendar
Sama samarnya
Kenangan masa lalu
Yang silam mengelam
Bahkan hujan juga
Berkesudahan, bukan
Begitu pula kesedihan
Kehidupan dan bahkan
Kematian itu: kita akan
Selalu berlalu
Aku pamit pergi
Setelah teguk teh terakhir
Meski tak berkata
Kau anggukkan juga kepala
Dan dengan perlahan
Merapikan kerah jaketku
STASIUN LAMA
Tanpa desis, derak dan lengking
Tanpa harap cemas dan debar damba
Tanpa ada yang sampai dan yang melambai
Stasiun lama kini jadi begitu hening
Loko hitam teronggok merongsok hampa
Di sana-sini sisa kabel putus jatuh terjuntai
Meski penuh jejaring lelaba, tai tikus, bau pesing
Sekali dua pelacur tua datang gelar tikarnya
Bagi si berandal muda, jagoan berambut rumbai
Dan akan bercinta juga mereka, abaikan sekeliling
Sebab larat nasib dan deret gerbong nyaris sama
Tak lagi merangkak, tinggal tunggu habis membangkai
Sudah selesai hujan
Meski sisa gerimis
Masih juga berjatuhan
Membasahi beranda
Di mana kita berdua
Sama berada
Barisan lampu kota di jauhan
Mulai semarak lagi
Berlomba cahayanya
Suara klakson samar meriuh
Kembali ribut saling sahut
Melanjutkan malam
Angin berkesiur
Merisikkan dedaun
Meliuk di rumpun perdu
Lalu dengan sendu
Meluruhkan bunga jambu
Di halaman rumahmu
Pada genangan air
Bayang terpencar
Warna berpendar
Sama samarnya
Kenangan masa lalu
Yang silam mengelam
Bahkan hujan juga
Berkesudahan, bukan
Begitu pula kesedihan
Kehidupan dan bahkan
Kematian itu: kita akan
Selalu berlalu
Aku pamit pergi
Setelah teguk teh terakhir
Meski tak berkata
Kau anggukkan juga kepala
Dan dengan perlahan
Merapikan kerah jaketku
STASIUN LAMA
Tanpa desis, derak dan lengking
Tanpa harap cemas dan debar damba
Tanpa ada yang sampai dan yang melambai
Stasiun lama kini jadi begitu hening
Loko hitam teronggok merongsok hampa
Di sana-sini sisa kabel putus jatuh terjuntai
Meski penuh jejaring lelaba, tai tikus, bau pesing
Sekali dua pelacur tua datang gelar tikarnya
Bagi si berandal muda, jagoan berambut rumbai
Dan akan bercinta juga mereka, abaikan sekeliling
Sebab larat nasib dan deret gerbong nyaris sama
Tak lagi merangkak, tinggal tunggu habis membangkai
Saturday, December 09, 2006
SAJAK BARU JELANG TAHUN BARU
THE BALLAD OF JOHN DOE
Kelam kalbu kalut akal
Keluyuran ia dengan niat nakal
Bir murahan di tangan masih dingin
Kretek di bibir padam diusik angin
Di simpang empat ia berhenti
Merah lampu macet tak berganti
Sambil mengumpat ia putuskan jalan
Berharap sial biar mampus sekalian
Namun maut pun memalingkan muka
Merasalah ia mahluk paling celaka
Di seberang jalan geram meludah
Berang hatinya si haram jadah
Tak sekali itu berhasrat mati
Tetapi malang, berulang terlewat lagi
Maka sempoyongan ia terus melangkah
Meski hingga belulang lelah lungkrah
Tujuh tahun lalu diusir dari panti
Kerap kedapatan nyuri dana donasi
Sekarang ia hidup hanya sendirian
Masak buat mampus mesti ikut antrian
Tibalah ia di depan bar langganan
Pintu putar tertutup dengan pengumuman:
“Sorry, we're closed for christmas day
The lord took our woman away.”
BULAN BARU
Dari balik kelambu langit kelam biru
Yang bersulam awan putih kelabu
Sekilas kilau samar membayang ragu
Dari punggung pualam bulan yang baru
Pohonan senyap tak lagi berbual lagu
Punguk di dahan randu diam termangu
Beribu tahun bertahan dalam tunggu
Telah lelah bisu ia ditikam rindu
SISA BINTANG
Berguguran jatuh sisa bintang
Bergayut di pucuk batang lalang
Mama, di mana terserak mimpi kemarin hari
Yang pernah engkau lipat rapi di rak almari
Sisa bintang jatuh berguguran
Berayun bertahan di daun dahan
Helai almanak telah berganti lagi
Anak ini masih termangu menanti pagi
BUNGA DAN KUMBANG
Sebatang bunga rumput
Tumbuh menjulang rekah
Kelopaknya membuka perlahan
Menadah curah cerah cahaya
Adakah asalmu dari acak kekacauan
Dan kelak musnahmu tanpa tujuan
Ah, betapa mengerikan hadirmu di situ
Jika memang sungguh begitu
Seekor kumbang mendengung
Terbang beredar mengitari
Sayap-sayapnya bergetar
Disepuh kilau matahari
Adakah asalmu dari acak kekacauan
Dan kelak musnahmu tanpa tujuan
Kelam kalbu kalut akal
Keluyuran ia dengan niat nakal
Bir murahan di tangan masih dingin
Kretek di bibir padam diusik angin
Di simpang empat ia berhenti
Merah lampu macet tak berganti
Sambil mengumpat ia putuskan jalan
Berharap sial biar mampus sekalian
Namun maut pun memalingkan muka
Merasalah ia mahluk paling celaka
Di seberang jalan geram meludah
Berang hatinya si haram jadah
Tak sekali itu berhasrat mati
Tetapi malang, berulang terlewat lagi
Maka sempoyongan ia terus melangkah
Meski hingga belulang lelah lungkrah
Tujuh tahun lalu diusir dari panti
Kerap kedapatan nyuri dana donasi
Sekarang ia hidup hanya sendirian
Masak buat mampus mesti ikut antrian
Tibalah ia di depan bar langganan
Pintu putar tertutup dengan pengumuman:
“Sorry, we're closed for christmas day
The lord took our woman away.”
BULAN BARU
Dari balik kelambu langit kelam biru
Yang bersulam awan putih kelabu
Sekilas kilau samar membayang ragu
Dari punggung pualam bulan yang baru
Pohonan senyap tak lagi berbual lagu
Punguk di dahan randu diam termangu
Beribu tahun bertahan dalam tunggu
Telah lelah bisu ia ditikam rindu
SISA BINTANG
Berguguran jatuh sisa bintang
Bergayut di pucuk batang lalang
Mama, di mana terserak mimpi kemarin hari
Yang pernah engkau lipat rapi di rak almari
Sisa bintang jatuh berguguran
Berayun bertahan di daun dahan
Helai almanak telah berganti lagi
Anak ini masih termangu menanti pagi
BUNGA DAN KUMBANG
Sebatang bunga rumput
Tumbuh menjulang rekah
Kelopaknya membuka perlahan
Menadah curah cerah cahaya
Adakah asalmu dari acak kekacauan
Dan kelak musnahmu tanpa tujuan
Ah, betapa mengerikan hadirmu di situ
Jika memang sungguh begitu
Seekor kumbang mendengung
Terbang beredar mengitari
Sayap-sayapnya bergetar
Disepuh kilau matahari
Adakah asalmu dari acak kekacauan
Dan kelak musnahmu tanpa tujuan
Monday, December 04, 2006
SAJAK-SAJAK JAWA KUNA
[Tiga sajak di bawah ini berasal dari terjemahan sajak-sajak karya pujangga Jawa Kuna dalam bahasa Inggris oleh Tom Hunter, yang diterbitkan sebagai buku berjudul Blossoms of Longing: Poems of Love and Lament from the Old Javanese, oleh Yayasan Lontar, Jakarta. Penulis memperolehnya atas kebaikan Mbak Hapsari K.]
LET THEM BE THE REMINDER OF MY LONGING
How can you go away,
you,
who were so single-minded in love making,
and exchanging the gift of life?
Where now shall I seek the charming things
you whispered to me
when we shared a single sleeping cloth?
Look back now and see my chignon
that has fallen open,
no more to be combed by four fingers
that would fall to the nape of my neck,
I will preserve with gentle care
the nail mark you inflicted on my breast-
let them be a reminder of my longing.
*Arjunawiwaha - canto xxxv - 12
PENANDA RINDU
Bagaimana bisa engkau berlalu,
Sayangku, Engkau
Yang dulu sungguh khusuk syahdu dalam cumbu rayu
Dan bertukar padu rasa asmara?
Kemana lagi akan kucari, pesona
Yang kau bisikkan lirih lembut menenung
Ketika kita berdua masih berbagi selimut?
Tengok dan lihatlah, gelung sanggulku
Telah jatuh kusut terburai
Tak lagi disentuh halus oleh sisir jemarimu
Yang slalu akan mluncur turun tuk mengelus tengkukku
Akan kusimpan penuh sayang
Kenangan digoreskan kukumu pada dadaku
Sbagai peneguh sugguh rinduku, untukmu
MY BELOVED
Indifferent am I to the love in my heart -
my thoughts race this way and that,
Indifferent am I to the art of make up -
for powders or perfumes I have no taste,
Indifferent am I to food or sleep -
so intent am I on what is in my heart,
Indifferent am I to life or death -
for all I ca recall are the charms
of my beloved.
*Bhasa Tanakung - canto IX - 1
KEKASIHKU
tak kuacuhkan cinta di hatiku-
fikirku rusuh berkesiur gelisah
tak kuacuhkan rias hias wajah-
pada parfum dan pupur ku tak peduli
tak kuacuhkan nampan dan tilam-
hanyutku oleh arus dalam kalbu
tak kuacuhkan hidup dan mati-
satu hanya yang kukenang: pesona tenung
Kekasihku
WHEN I HAVE DIED
As you wander along the seashore
and admit the beauty of distant mountains,
Trough dark, shrouding clouds
that change to delicate misting rain,
You may hear a sweet, rumbling thunder,
faint and restless its sound,
That will be the trasformation of my weeping
when I have died,
exhauted from the pain of longing.
*Bhasa Tanakung - canto VII - 1
BILA NANTI KU MATI
bila kelak engkau berjalan menyusur pesisir
jatuh terpana pada indah gunung menjulang jauh
dan dari sela gemulung kelam mendung
yang terburai luruh jadi gerimis renyai,
mungkin kan kau dengar pula, gurih gemuruh guruh
menyayup resah dan redup bahananya
itulah titis ratap tangisku, kasih, terkuras letih
menjelma dari dahaga damba akanmu,
meski ragaku telah sirna direnggut maut
LET THEM BE THE REMINDER OF MY LONGING
How can you go away,
you,
who were so single-minded in love making,
and exchanging the gift of life?
Where now shall I seek the charming things
you whispered to me
when we shared a single sleeping cloth?
Look back now and see my chignon
that has fallen open,
no more to be combed by four fingers
that would fall to the nape of my neck,
I will preserve with gentle care
the nail mark you inflicted on my breast-
let them be a reminder of my longing.
*Arjunawiwaha - canto xxxv - 12
PENANDA RINDU
Bagaimana bisa engkau berlalu,
Sayangku, Engkau
Yang dulu sungguh khusuk syahdu dalam cumbu rayu
Dan bertukar padu rasa asmara?
Kemana lagi akan kucari, pesona
Yang kau bisikkan lirih lembut menenung
Ketika kita berdua masih berbagi selimut?
Tengok dan lihatlah, gelung sanggulku
Telah jatuh kusut terburai
Tak lagi disentuh halus oleh sisir jemarimu
Yang slalu akan mluncur turun tuk mengelus tengkukku
Akan kusimpan penuh sayang
Kenangan digoreskan kukumu pada dadaku
Sbagai peneguh sugguh rinduku, untukmu
MY BELOVED
Indifferent am I to the love in my heart -
my thoughts race this way and that,
Indifferent am I to the art of make up -
for powders or perfumes I have no taste,
Indifferent am I to food or sleep -
so intent am I on what is in my heart,
Indifferent am I to life or death -
for all I ca recall are the charms
of my beloved.
*Bhasa Tanakung - canto IX - 1
KEKASIHKU
tak kuacuhkan cinta di hatiku-
fikirku rusuh berkesiur gelisah
tak kuacuhkan rias hias wajah-
pada parfum dan pupur ku tak peduli
tak kuacuhkan nampan dan tilam-
hanyutku oleh arus dalam kalbu
tak kuacuhkan hidup dan mati-
satu hanya yang kukenang: pesona tenung
Kekasihku
WHEN I HAVE DIED
As you wander along the seashore
and admit the beauty of distant mountains,
Trough dark, shrouding clouds
that change to delicate misting rain,
You may hear a sweet, rumbling thunder,
faint and restless its sound,
That will be the trasformation of my weeping
when I have died,
exhauted from the pain of longing.
*Bhasa Tanakung - canto VII - 1
BILA NANTI KU MATI
bila kelak engkau berjalan menyusur pesisir
jatuh terpana pada indah gunung menjulang jauh
dan dari sela gemulung kelam mendung
yang terburai luruh jadi gerimis renyai,
mungkin kan kau dengar pula, gurih gemuruh guruh
menyayup resah dan redup bahananya
itulah titis ratap tangisku, kasih, terkuras letih
menjelma dari dahaga damba akanmu,
meski ragaku telah sirna direnggut maut
DUA SAJAK FLORA DAN FAUNA
1.
Pagi masih terlalu dini bagi bunga-bunga
Untuk bangun membuka mata
Merekahkan kelopak mereka
Menampung cahaya
Baiklah, sebentar lagi
Saya jenguk kembali
2.
Kecoak kecil merayap di atas meja
Biarkan saja; usia bangsanya jauh lebih purba
Lagi pula, adakah yang akan menghibur ibunya
Jika si kecil satu ini tak kunjung pulang ke sarangnya ?
Pagi masih terlalu dini bagi bunga-bunga
Untuk bangun membuka mata
Merekahkan kelopak mereka
Menampung cahaya
Baiklah, sebentar lagi
Saya jenguk kembali
2.
Kecoak kecil merayap di atas meja
Biarkan saja; usia bangsanya jauh lebih purba
Lagi pula, adakah yang akan menghibur ibunya
Jika si kecil satu ini tak kunjung pulang ke sarangnya ?
TESTAMEN (Dari Arsip Sajak Lama)
WASIAT TERAKHIR
Kalau bisa, hendaknya jangan tegakkan nisan
yang terus hadir berdiri mengisahkan perpisahan.
Tak usah pula taburkan kembang bunga
yang dicacah setelah dipatahkan dari batang tangkainya.
Sebenarnya tak ada yang berkurang ataupun hilang
mengapa duka harus dikarang, bayang terus dikenang.
Hanya si fakir malang yang menggelandang dihalau angin
telah menamatkan riwayat hidupnya yang teramat miskin
Cuma membawa catatan perjalanannya sekian lama
dalam buku nasib yang bulukan, menguning, dan bergelung sudutnya.
Biarkan saja, biar rumputan liar tumbuh tebal meriap
dalam curahan cahaya bulan biru yang dingin dan senyap.
Agar kelak sepasang kekasih dapat berbaring bermesraan di atasnya
atau seorang penyair datang duduk menulis membisikkan sajaknya.
PERNYATAAN TERAKHIR
Air sumur tiga ember bercampur kamper
dan bentangan kafan tak lebih dua meter
Mencuci dan membungkus sekujur sisa raga
Dari lumuran lumpur debu dunia
Agar kembali suci seperti dahulu
Sebelum kembali ke lubuk bumi yang menunggu
Tetapi jejak kenangan dalam dada
Dapatkah dihapus habis tak bertanda
Walau mata dikatupkan jemari ajal
Dan mulut disumpal tanah bergumpal
Rerumputan yang tumbuh dari bekas tubuhku
Akan meriap membelukar penuh rindu
Kembang yang ditanamkan akan merekah juga
Kelopaknya menyadap dunia penuh dahaga
NYANYIAN TERAKHIR
Kenangan hanya beban, harapan tinggal angan
Dan kini ia pilih menempuh kabut seorang diri
Walau dalam kembara kadang bersilang jalan
Masing insan datang dan pergi sendiri-sendiri
Dari kelam ke kelam, dari sepi ke sepi, tiada berteman
Samudera luas impian bertepi di tanah mati
Kalau bisa, hendaknya jangan tegakkan nisan
yang terus hadir berdiri mengisahkan perpisahan.
Tak usah pula taburkan kembang bunga
yang dicacah setelah dipatahkan dari batang tangkainya.
Sebenarnya tak ada yang berkurang ataupun hilang
mengapa duka harus dikarang, bayang terus dikenang.
Hanya si fakir malang yang menggelandang dihalau angin
telah menamatkan riwayat hidupnya yang teramat miskin
Cuma membawa catatan perjalanannya sekian lama
dalam buku nasib yang bulukan, menguning, dan bergelung sudutnya.
Biarkan saja, biar rumputan liar tumbuh tebal meriap
dalam curahan cahaya bulan biru yang dingin dan senyap.
Agar kelak sepasang kekasih dapat berbaring bermesraan di atasnya
atau seorang penyair datang duduk menulis membisikkan sajaknya.
PERNYATAAN TERAKHIR
Air sumur tiga ember bercampur kamper
dan bentangan kafan tak lebih dua meter
Mencuci dan membungkus sekujur sisa raga
Dari lumuran lumpur debu dunia
Agar kembali suci seperti dahulu
Sebelum kembali ke lubuk bumi yang menunggu
Tetapi jejak kenangan dalam dada
Dapatkah dihapus habis tak bertanda
Walau mata dikatupkan jemari ajal
Dan mulut disumpal tanah bergumpal
Rerumputan yang tumbuh dari bekas tubuhku
Akan meriap membelukar penuh rindu
Kembang yang ditanamkan akan merekah juga
Kelopaknya menyadap dunia penuh dahaga
NYANYIAN TERAKHIR
Kenangan hanya beban, harapan tinggal angan
Dan kini ia pilih menempuh kabut seorang diri
Walau dalam kembara kadang bersilang jalan
Masing insan datang dan pergi sendiri-sendiri
Dari kelam ke kelam, dari sepi ke sepi, tiada berteman
Samudera luas impian bertepi di tanah mati
SAJAK DALAM RANGKA MENYAMBUT DATANGNYA HUJAN PERTAMA (Dari Arsip sajak Lama)
MADAH HUJAN PERTAMA
selamat datang, hujan yang manis!
gempita nyanyianmu memeriahkan halaman rumahku petang ini,
engkau mengairi sumur dan sawah, mengaliri selokan dan saluran,
mengisi danau dan bendungan, memenuhi lembah dan padang
engkau mengilapkan atap-atap rumah dan pucuk-pucuk daun
hingga kembali cerlangnya, membersihkan bumi dari debu kotoran,
menjernihkan langit dari keruh karat, dan membasuh jiwa-jiwa
dari kusam dan noda
selamat datang, hujan yang jelita!
lubang-lubang perigi di kerak bumi bergerak membesar,
mulut-mulut bunga membuka, dan liang-liang pori di kulitku pun melebar
menyambut harum dinginmu yang lembut dan sejuk
setelah sekian lama haus dan hangus dibakar bara kemarau
kini lihatlah: hewan dan serangga, pohonan dan bunga-bunga,
saling merapat dan mengesekgesekkan badan mereka penuh sukacita
sementara para suami menggeser tubuhnya
lalu meraba dan menindih para istri dengan bahagia
semuanya mabuk oleh kemesraan sabdamu
selamat datang, hujan yang juwita!
seperti rusa gurun aku surup menyambut datangmu
menari berputar memekik dan bertempik
aku bahkan ingin menghambur ke jalanan dengan telanjang
membiarkan jari-jari kecilmu mencubiti sekujur tubuh
selamat datang utusan setia dari sang pencipta!
ternyata Ia belum berputus asa dari manusia! sebarkan berita baik ini!
tebarkan kabar suka cita ini! ke timur dan barat, ke selatan dan utara!
biar setiap rumput meliukliuk riang!
biar setiap kerikil terguncang dan bergelindingan gembira!
HAIKU DESEMBER 2003
langit kelam kelabu
namun hujan yang jatuh satu-satu
menenangkan geliat debu
LAGU MUSIM SEMI
nafas Tuhan menghembus dalam hutan hujan jatuh
berlarian tujuh hantu gigil mengaduh memanggil teduh
daun-daun di dahan pun terbangun dari jauh tidur kemarau
di hujung tahun huyung bertahan kini mereka semarak berkilau
DINGIN HUJAN ANGIN
Dingin yang menderu tiba
Di manakah sarang asalnya
Di lubuk hatimu yang terkuak luka
Atau dari nafasku menghembus hampa
Hujan yang turun pertama
Dari manakah gerangan datangnya
Dari hatimu yang diracun duka
Atau dari mataku dirabun damba
Dan angin yang menderu swaranya
Ke manakah ingin menuju ia
Ke kotamu melintasi laut utara
Atau hanya berpusing dalam dada!
KEMARAU PANJANG
hujan turun malam-malam
ketika mata-mata pejam
dan semua telinga redam
bukan untuk para raja atau kawula
tetapi bagi sehelai rumput kering merana
yang mulut kecilnya tak putus terus mendoa
ya, hujan turun kala malam telah larut
dan insanpun terselamatkan dari jaring maut
bukan oleh malaikat, melainkan sehelai rumput
selamat datang, hujan yang manis!
gempita nyanyianmu memeriahkan halaman rumahku petang ini,
engkau mengairi sumur dan sawah, mengaliri selokan dan saluran,
mengisi danau dan bendungan, memenuhi lembah dan padang
engkau mengilapkan atap-atap rumah dan pucuk-pucuk daun
hingga kembali cerlangnya, membersihkan bumi dari debu kotoran,
menjernihkan langit dari keruh karat, dan membasuh jiwa-jiwa
dari kusam dan noda
selamat datang, hujan yang jelita!
lubang-lubang perigi di kerak bumi bergerak membesar,
mulut-mulut bunga membuka, dan liang-liang pori di kulitku pun melebar
menyambut harum dinginmu yang lembut dan sejuk
setelah sekian lama haus dan hangus dibakar bara kemarau
kini lihatlah: hewan dan serangga, pohonan dan bunga-bunga,
saling merapat dan mengesekgesekkan badan mereka penuh sukacita
sementara para suami menggeser tubuhnya
lalu meraba dan menindih para istri dengan bahagia
semuanya mabuk oleh kemesraan sabdamu
selamat datang, hujan yang juwita!
seperti rusa gurun aku surup menyambut datangmu
menari berputar memekik dan bertempik
aku bahkan ingin menghambur ke jalanan dengan telanjang
membiarkan jari-jari kecilmu mencubiti sekujur tubuh
selamat datang utusan setia dari sang pencipta!
ternyata Ia belum berputus asa dari manusia! sebarkan berita baik ini!
tebarkan kabar suka cita ini! ke timur dan barat, ke selatan dan utara!
biar setiap rumput meliukliuk riang!
biar setiap kerikil terguncang dan bergelindingan gembira!
HAIKU DESEMBER 2003
langit kelam kelabu
namun hujan yang jatuh satu-satu
menenangkan geliat debu
LAGU MUSIM SEMI
nafas Tuhan menghembus dalam hutan hujan jatuh
berlarian tujuh hantu gigil mengaduh memanggil teduh
daun-daun di dahan pun terbangun dari jauh tidur kemarau
di hujung tahun huyung bertahan kini mereka semarak berkilau
DINGIN HUJAN ANGIN
Dingin yang menderu tiba
Di manakah sarang asalnya
Di lubuk hatimu yang terkuak luka
Atau dari nafasku menghembus hampa
Hujan yang turun pertama
Dari manakah gerangan datangnya
Dari hatimu yang diracun duka
Atau dari mataku dirabun damba
Dan angin yang menderu swaranya
Ke manakah ingin menuju ia
Ke kotamu melintasi laut utara
Atau hanya berpusing dalam dada!
KEMARAU PANJANG
hujan turun malam-malam
ketika mata-mata pejam
dan semua telinga redam
bukan untuk para raja atau kawula
tetapi bagi sehelai rumput kering merana
yang mulut kecilnya tak putus terus mendoa
ya, hujan turun kala malam telah larut
dan insanpun terselamatkan dari jaring maut
bukan oleh malaikat, melainkan sehelai rumput
Subscribe to:
Posts (Atom)
Materi promosi
DURIAN PROFESSOR ingin mudah Menikmati durian bermutu global? Dagingnya tebal, kering dan cerah Manis dan harum tak kalah Ingin durian Sian...

-
STOPPING BY WOODS ON A SNOWY EVENING Whose woods these are I think I know. His house is in the village though; He will not see me stopping h...
-
ODE KEPADA POHON FLAMBOYAN Pohon flamboyan di tepi sungai coklat di bawah jembatan itu tak henti-hentinya kupuja. Ketika musim hujan deras ...