DONGENG LAUT
Setelah gerak di kerak samudera
lautpun bangkit memagut kota
sedangkan siut sapuan ekornya
membongkar pesisir jauh.
Bukit terungkit, jalan terpilin.
Kota terserak mengerang
oleh sisa bisa bibirnya.
Maut berpesta, bagai capung
di tengah telaga, memungut ruh
dari tubuh-tubuh yang terapung busung
dan membusuk setelah hanyut tergulung.
Cuaca bercadar, surya seakan cedera.
Hari pun kuyu dalam kuyup.
Sisa pekik dari dada yang pecah
dan nanap tatap tak percaya
dari mata yang membeliak itu
masih menggantung di kaki langit
bersama bau yang sengit.
Lanskap tinggal bingkai bagi
bangkai dan sampah bengkalai.
Namun sehari kemudian, gelombang akan
tenang seperti si pelamun tua: mengantuk dan
melupa. Sementara seorang anak, akan duduk
di hujung perahu, bersenandung “lautku nan biru...”
ARITMATIKA PENDERITAAN
Di dalam derita
terasa insan
betapa sendiri
dan sepi.
Kesedihan
tak dapat dibandingkan.
Juga tak terganti
tak terbagi.
Tak ada duka bersama,
selain dari sejumlah orang
yang sama berduka
sendiri-sendiri.
Simpati dan empati
tak dapat mengurangi.
Tetapi pengabaian
pasti jadi siksaan.
Keprihatinan
adalah penebus batin
dari rasa sesal oleh malu dan salah
bagi mereka yang aman selamat.
Luka di badanku
tak berdarah padamu,
tangis di mataku
bukanlah air matamu.
Ulurkanlah tanganmu, Tuan Penolong
akan kusambut jemarimu.
Bila itu memang membantu
menenangkan hatimu.
SAYA INGIN PERCAYA
Saya ingin percaya
bukanlah ayun pedang itu
yang menebas pokok pohon.
Batang kayu sendirilah
yang telah rela membelah diri
demi memberi celah bagi bilah baja tajam
agar dapat melewatinya.
Saya ingin percaya
bukanlah hembusan musim
yang merontokkan bunga-bunga.
Kuntum-kuntum itulah yang menggigil hatinya
terjun dari ketinggian tebing angin
meninggalkan rangka tangkai sendiri
ingin bermain bermandikan cahaya di bawah sana.
Ya, saya ingin percaya.
THE HISTORY OF SIPILIZATION
Di atas serakan kerak setipis ari dari segumpal api yang terus bergerak dalam proses evolusi sejumlah jasad renik bekerja keras membangun koloni tanpa henti sepanjang siang dan malam hari mereka harus mendirikan surga di bumi karena hidup hanya sekali sudah itu lewat dan tak ada kebangkitan setelah mati apalah lagi surga sehingga lezat paling nikmat harus tamat direguk jasad selama berhayat di dunia mereka mesti mewujudkan supremasi diri karena tak ada tuhan yang zat sedangkan ilah hanyalah kemungkinan tertinggi dari manifestasi potensi insani akal universal yang kekal mereka menulis kitab sendiri karena yakin bahwa kitab langit hanyalah kumpulan dongeng yang koyak moyak oleh sayatan pisau analisis kritis dan porak poranda oleh strategi pembacaan dari para ahli mimpi mereka tanpa tepi meski ukuran dan umur mereka hanya senoktah cahaya perak di layar hitam sinema maka alam jadi lain dan inferior ketika di atas lapisan labil dari sistem geologis yang tertutup mereka mendirikan menara-menara babel dan hamam yang mencuat tinggi dan runcing bagai hamparan paku setelah mereka pangkas habis rambutnya lebih dulu lalu mereka kentuti sejengkal ruang udara yang mereka hirup sendiri mereka ludahi jantung nadi dan hati dimana mengalir air asal kelahiran sendiri seperti para pemabuk mereka obok-obok mulut rongga rahimnya mereka tusuk dan sayat kulitnya mereka keruk dagingnya mereka kerkah rangkanya mereka sesap sumsumnya hingga menggerowong mereka hisap sari madu mereka muntahkan sampah mereka tabur tuba dan curah cuka pada liang luka-lukanya, ya:
dengan terencana dan sistematis mereka sedang menghabisi diri sendiri.
BILA DATANG DUKA BENCANA
Bila datang duka bencana
Janganlah keburu berburuk sangka
Mengira Tuhan sedang menghinakanmu
Dan alam mengkhianatimu
Sungguh kemuliaan dan kedekatan
Tidaklah terkait dengan kesenangan
Lihatlah dulu siapa dirimu sendiri
Dan bagaimana sikapmu menghadapi
Satu bencana yang sama
Berbeda makna dan manfaatnya
Sakit perih yang mendera diri
Adalah azab bagi pendosa keji
Bagi yang lalai khilaf teguran peringatan
Namun jadi ujian di hati yang beriman
Sedangkan untuk para wali rezeki
Dan perhiasan mahkota bagi nabi
PERCOBAAN
Belati yang diulurkan kekasih
bagaimana bisa dielakkan.
Cawan tuba yang disodorkannya
bagaimana bisa ditolakkan.
Mendung dan badai
akhirnya tergulung dan usai: sekedar bukti
insan lebih tinggi dari gelapnya
lebih besar dari hempasannya.
Dan kini tinggallah ia sendiri berdiri tegak
di bawah surya berpijar. Hanya tubuhnya telanjang
berkilatan, bagai patung tembaga, dengan rambut tergerai
dimainkan angin yang lembut dan ringan,
yang bertambah lemah dan perlahan.
KETIKA BERITA BENCANA TIBA
ketika berita bencana tiba
dengan segera saya merasa prihatin
sembari dalam batin diam-diam bersukur
karena jatuh nun jauh di sana
dan bukannya terjadi di sekitar saya
tidak hanya itu
dengan segera saya merasa perlu mengusut
apakah ini buah dari ulah serakah manusia
ataukah tulah dari Tuhan atas kaum durhaka
atau mungkin hanya polah dari alam semesta
yang semakin ringkih oleh usia renta
ketika berita bencana tiba
saya tetap tidak berani bertanya
“bagaimana kalau saya...?” apalagi (tentu saja)
Meminta “mengapa harus dia dan bukan saya...?”
BAGI BOCAH YANG MATI
Maafkan, aku tak bermaksud untuk luruh
lalu menggulung dan menindih bocah itu
dalam runtuhanku. Sungguh, aku telah mencoba
bertahan bergantung di punggung gunung sana,
aku bahkan telah menggigit kaki-kaki rumput
yang kering itu setelah orang-orang kampung
datang membuntungi lengan-lenganku
dan membakar sisa-sisa akar.
Akupun mencintainya.
Bocah lincah dan lucu itu
dahulu sering bermain di lerengku
memetik bunga-bunga.
Biarkan aku menyelimuti jasadnya
yang kedinginan sendiri di kaki gunung ini
dengan rumput paling lembut wangi.
Bunga-bunga kesayangan terindah
akan kutumbuhkan untuk menghiasi tidurnya.
STATISTIK KORBAN
1000 tewas oleh bencana
dan warga dunia guncang karenanya
seorang pengemis terbujur ditutupi koran
kita menyerahkannya pada dinas kebersihan
1000 nyawa dicabut secara massal
dan 1 nyawa meregang sepi di bangsal
tentu dengan berita yang pertama kita tersentak
dan Maut lantas jadi selebritas mendadak
karena dalam statistik negara
dan matematika demokrasi sederhana
1000 jelas lebih signifikan dan dominan
jika dengan hanya 1 dibandingkan
tetapi dalam timbangan keadilan
duka seorang ataupun 1000 kurban
sama besar dan beratnya
sama sedih dan sepinya
maka hormatilah
setiap tetes air mata yang tumpah
setiap titik darah dari luka
: ia keramat dan mulia
MUNAJAT BENCANA
Bila dalam sejuk semilir dan rinai rintik
tak kami lihat senyumMu ramah menyapa,
adakah amuk badai dan arus bah melanda ini
seringai amarahMu? Bila lirih himbauMu
tak juga dihiraukan para hamba,
inikah geram mautMu yang menghalau kembali?
Dan bila pemuliaanMu atas lempung hina ini
hanya membuatnya angkuh bangga,
akankah kau hempaskan ia ke atas tanah
hingga nyaris binasa agar mampu mengakui rapuhnya?
Wahai, Sang Pencurah Rahmat,
jadilah kehendakMu
dalam kemahalembutanMu!
KUATRIN KETIKA BADAI
Di luar badai begitu riuh;
tetapi betapa sepi setetes air itu
perlahan menitik jatuh
dari lubang kecil atap kamarku.
MEDITASI SETELAH BENCANA
setelah terjadi bencana entah di mana
kita merasa bersukur dan percaya
berada pada golongan yang benar
karena darinya dapat terhindar
sementara di atas langit, malaikat bala
menatap prihatin dan menggelengkan kepala:
justru karena dan untuk kalianlah petaka ditimpakan
agar dapat sadar dan mengambil pelajaran!
setelah terjadi bencana entah di mana
kita merasa diperlakukan dengan semena
yang tak berdosa bergelimpangan mati dan sekarat
sedangkan yang keji malah aman dan selamat
hingga malaikat bala berbisik kepadaku
adakah aturan ciptaan pada pencipta berlaku
sementara kalian kepada sesama berbuat tak patut
pun tanpa tanya dan pilih, membakar sarang semut
setelah terjadi bencana entah di mana
kita merasa kecewa dan gundah gulana
apakah sia-sia saja telah beriman
mengapa percaya tak membawa keselamatan
dan malaikat bala tertawa menggema lalu bersabda
apa keyakinan kalian menuntut balas jasa dan imbal guna
seperti pedagang ajimat bermain tawar menawar
bila merugi lantas gusar lalu bertukar ingkar!
SAJAK RINO
kalau tiba musim hujan
dan banjir datang
Rino suka main air genangan
atau tanding bola di lumpur berkubang
biasanya sekolah akan tutup
barang sehari dua
Rino dan kawan puas berkuyup
tertawa-tawa bersama
kadang ayah marah datang mencari
dengan membawa sebatang lidi pecut
dan di rumah ibu akan menyuruh mandi
lalu menghukum di bawah selimut
pagi ini Rino bangun kesiangan
lihat orang sedusun basah berlumpur
ke manakah ayah ibu gerangan
mereka terus tidur seperti bulan libur
IA TAK LAGI BERANI MENDUGA-DUGA TENTANG ANGIN
Ia tak lagi berani menduga-duga tentang angin
Sejak gelisah yang berpusing itu datang
Menerjang membuat terban rebah
Segala yang pernah ditegakkannya
Ia tak lagi berani menduga-duga tentang tanah
Sejak kesabaran itu retak rekah
Menelan lenyap segala
Yang pernah disemainya
Ia tak lagi berani menduga-duga tentang api
Sejak amarah yang menyembur itu
Menghangusmusnahkan segala
Yang pernah dipunyainya
Ia tak lagi berani menduga-duga tentang air
Sejak ketenangan itu bangkit menggelombang
Menyapu pupus segala yang pernah
Ia sebut sebagai kesayangan
Ia tak lagi berani menduga-duga
Tentang angin, tanah, api dan juga air
Sejak ia merasa bahwa keempatnya kini
Tengah bersiasat untuk mengingatkannya
JALAN SETAPAK
jalan setapak yang terlupakan
terkapar dibakar matahari
semak belukar di kedua tepi
berlomba menghapusnya
sejak jalan aspal datang
mengiris punggung bukit bunga
para peladang di hutan
lama tak lagi melintasi
ia berharap semoga ada bocah
yang tersesat di padang sana
biar nanti para pencari
kembali lalulalang di atasnya
di mulutnya dulu aku berdiri terpaku
tak tahu arah mana menuju rumahku
bila kini kalian datang mencari
temukan aku di dahan pohon kayu
SEUSAI BADAI DI TELUK
Langit mendengus geram
Dan menghunus dendam kelamnya
Untuk ditikamkan berulang ke busung dadamu
Yang putih terbuka menantang malam
Amuk belalai badai membantai, gemuruh
Beribu guruh menyerbu, cambuk petir mengamuk,
Dan berjuta panah hujan susul-menyusul
Menggempur gempar telukmu, tak berampun.
Tetapi cagak karang hitam itu
Yang menyimpan karat waktu berabad-abad
Tetap tegak terpejam membisu di tengah seru deru
Bersabar menerima bagai biksu tua yang telah tahu
Maka setelah lelah segala tumpah
Kembali, dari balik rumpun pohonan yang terpilin,
Keluar dari semak belukar yang terbongkar,
Hening perlahan merayap menyisir pasir dan mengendap
Di wajahmu yang kuyup menyimpan denyut sisa geletar
Tinggal mengapung berserak pecahan papan,
Patahan tiang, dan sobekan layar: jejak yang sebentar
Akan diraup hapus oleh arus laut ke selatan
Sementara langit jadi lebih pias dari semula
Lebih kuyu dan sayu, lalu bergulung menjauh, letih
Oleh lampias liar dari amarah gairah sendiri
Kini, ia merasa bertambah dingin dan semakin sepi
RINTIHAN BUMI
Betapa pedihnya
pukulan cangkul, irisan linggis,
dan garukan garumu
betapa perihnya
kucur cuka, tabur serbuk tuba,
dan jalar api bakarmu
di wajahku
kurasakan,
kutahankan
maka, ngalir air mata
dari pelupukku
untuk hapus hausmu
menggumpal nanah luka
dalam umbi ubiku
untuk tebus laparmu
dan menyembur darah kental hitam
dari lubuk jantungku
nyalakan pelita untukmu
bagimu
kuserahkan
kupasrahkan
BAHTERA NUH
Bumi yang purba,
Bahtera nuh kita,
Bertahan mengapung
Di samudera waktu
Didera arus dan gelombang
Murung termangu
Seperti jantung berlemak
Yang ungu kehitamhitaman
Berjuta tahun telah berlalu
Masih terus berdetak juga
Helaan nafasnya
Perlahan, dangkal, dan berat
Kelopak matanya mengatup
Menghindari cahaya matahari
Yang kejam merajam
Tubuhnya
Kita cacah kita sayat
Kita garuk kita cakar
Wajahnya
Kita injaki kita ludahi
Kita kencingi kita beraki
Ia diam saja
Bertahan setia
Meski menderita
Hanya terkadang sekali dua
Bersin dan batuknya
(yang susah payah coba ditelannya)
Pecah tak kuasa tertahankan
Dan kita lalu menjerit-jerit melengking
Menudingnya
Tak lagi mau bersahabat
Dengan kita manusia
Lihat,
Pada pelupuknya
Yang diseliputi lendir tebal katarak tua,
Air mata keruh berlinang
Ia tak lagi bisa berkata-kata
Membela diri
Tetapi dari kernyit retak keningnya,
Denyutan di kerut kelopaknya,
Dan dari suara erangnya
Yang serak oleh dahak mengerak
Adalah isyarat tanda
Yang memberitakan derita
Lebih jelas tegas
Dari kata dan berita
Dalam warta dunia
Astagafirullah!
Bagaimana kalau suatu waktu
Ia memutuskan untuk menyerah takluk saja
Kepada gerogot usia,
Menyahuti jemputan maut,
Mengangguk kepada telunjuk ajal
Kemudian memejamkan mata selamanya
Lalu melenyap tenggelam ke dasar samudera tiada
Damai terbaring dalam cahaya biru temaram
Tenteram senyap
Dari arus dan gelombang waktu
Jika kapal layar karam
Di laut berpalung
Dengan apa kita
Mengapung bergantung,
Bagaimana kita
Sampai mencapai tanjung ?
.....yang hadir mengisi di antara dua kesunyian--kelahiran dan kematian..... (An Indonesian poems corner ; the poet : Hendragunawan)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
SAJAK JALAN PAGI BERSAMA
Pagi seputih seragam baru dan sesegar rambut basah para bocah ketika kita berjalan menyusur tembok yang mengendapkan waktu di perkampu...
-
STOPPING BY WOODS ON A SNOWY EVENING Whose woods these are I think I know. His house is in the village though; He will not see me stopping h...
-
PEREMPUAN 1. Beri aku cermin kaca yang rata tak retak atau telaga bening yang tenang airnya atau genangan embun di telapak tangan bunga...
No comments:
Post a Comment