DONGENG LAUT
Setelah gerak di kerak samudera
lautpun bangkit memagut kota
sedangkan siut sapuan ekornya
membongkar pesisir jauh.
Bukit terungkit, jalan terpilin.
Kota terserak mengerang
oleh sisa bisa bibirnya.
Maut berpesta, bagai capung
di tengah telaga, memungut ruh
dari tubuh-tubuh yang terapung busung
dan membusuk setelah hanyut tergulung.
Cuaca bercadar, surya seakan cedera.
Hari pun kuyu dalam kuyup.
Sisa pekik dari dada yang pecah
dan nanap tatap tak percaya
dari mata yang membeliak itu
masih menggantung di kaki langit
bersama bau yang sengit.
Lanskap tinggal bingkai bagi
bangkai dan sampah bengkalai.
Namun sehari kemudian, gelombang akan
tenang seperti si pelamun tua: mengantuk dan
melupa. Sementara seorang anak, akan duduk
di hujung perahu, bersenandung “lautku nan biru...”
ARITMATIKA PENDERITAAN
Di dalam derita
terasa insan
betapa sendiri
dan sepi.
Kesedihan
tak dapat dibandingkan.
Juga tak terganti
tak terbagi.
Tak ada duka bersama,
selain dari sejumlah orang
yang sama berduka
sendiri-sendiri.
Simpati dan empati
tak dapat mengurangi.
Tetapi pengabaian
pasti jadi siksaan.
Keprihatinan
adalah penebus batin
dari rasa sesal oleh malu dan salah
bagi mereka yang aman selamat.
Luka di badanku
tak berdarah padamu,
tangis di mataku
bukanlah air matamu.
Ulurkanlah tanganmu, Tuan Penolong
akan kusambut jemarimu.
Bila itu memang membantu
menenangkan hatimu.
SAYA INGIN PERCAYA
Saya ingin percaya
bukanlah ayun pedang itu
yang menebas pokok pohon.
Batang kayu sendirilah
yang telah rela membelah diri
demi memberi celah bagi bilah baja tajam
agar dapat melewatinya.
Saya ingin percaya
bukanlah hembusan musim
yang merontokkan bunga-bunga.
Kuntum-kuntum itulah yang menggigil hatinya
terjun dari ketinggian tebing angin
meninggalkan rangka tangkai sendiri
ingin bermain bermandikan cahaya di bawah sana.
Ya, saya ingin percaya.
THE HISTORY OF SIPILIZATION
Di atas serakan kerak setipis ari dari segumpal api yang terus bergerak dalam proses evolusi sejumlah jasad renik bekerja keras membangun koloni tanpa henti sepanjang siang dan malam hari mereka harus mendirikan surga di bumi karena hidup hanya sekali sudah itu lewat dan tak ada kebangkitan setelah mati apalah lagi surga sehingga lezat paling nikmat harus tamat direguk jasad selama berhayat di dunia mereka mesti mewujudkan supremasi diri karena tak ada tuhan yang zat sedangkan ilah hanyalah kemungkinan tertinggi dari manifestasi potensi insani akal universal yang kekal mereka menulis kitab sendiri karena yakin bahwa kitab langit hanyalah kumpulan dongeng yang koyak moyak oleh sayatan pisau analisis kritis dan porak poranda oleh strategi pembacaan dari para ahli mimpi mereka tanpa tepi meski ukuran dan umur mereka hanya senoktah cahaya perak di layar hitam sinema maka alam jadi lain dan inferior ketika di atas lapisan labil dari sistem geologis yang tertutup mereka mendirikan menara-menara babel dan hamam yang mencuat tinggi dan runcing bagai hamparan paku setelah mereka pangkas habis rambutnya lebih dulu lalu mereka kentuti sejengkal ruang udara yang mereka hirup sendiri mereka ludahi jantung nadi dan hati dimana mengalir air asal kelahiran sendiri seperti para pemabuk mereka obok-obok mulut rongga rahimnya mereka tusuk dan sayat kulitnya mereka keruk dagingnya mereka kerkah rangkanya mereka sesap sumsumnya hingga menggerowong mereka hisap sari madu mereka muntahkan sampah mereka tabur tuba dan curah cuka pada liang luka-lukanya, ya:
dengan terencana dan sistematis mereka sedang menghabisi diri sendiri.
BILA DATANG DUKA BENCANA
Bila datang duka bencana
Janganlah keburu berburuk sangka
Mengira Tuhan sedang menghinakanmu
Dan alam mengkhianatimu
Sungguh kemuliaan dan kedekatan
Tidaklah terkait dengan kesenangan
Lihatlah dulu siapa dirimu sendiri
Dan bagaimana sikapmu menghadapi
Satu bencana yang sama
Berbeda makna dan manfaatnya
Sakit perih yang mendera diri
Adalah azab bagi pendosa keji
Bagi yang lalai khilaf teguran peringatan
Namun jadi ujian di hati yang beriman
Sedangkan untuk para wali rezeki
Dan perhiasan mahkota bagi nabi
PERCOBAAN
Belati yang diulurkan kekasih
bagaimana bisa dielakkan.
Cawan tuba yang disodorkannya
bagaimana bisa ditolakkan.
Mendung dan badai
akhirnya tergulung dan usai: sekedar bukti
insan lebih tinggi dari gelapnya
lebih besar dari hempasannya.
Dan kini tinggallah ia sendiri berdiri tegak
di bawah surya berpijar. Hanya tubuhnya telanjang
berkilatan, bagai patung tembaga, dengan rambut tergerai
dimainkan angin yang lembut dan ringan,
yang bertambah lemah dan perlahan.
KETIKA BERITA BENCANA TIBA
ketika berita bencana tiba
dengan segera saya merasa prihatin
sembari dalam batin diam-diam bersukur
karena jatuh nun jauh di sana
dan bukannya terjadi di sekitar saya
tidak hanya itu
dengan segera saya merasa perlu mengusut
apakah ini buah dari ulah serakah manusia
ataukah tulah dari Tuhan atas kaum durhaka
atau mungkin hanya polah dari alam semesta
yang semakin ringkih oleh usia renta
ketika berita bencana tiba
saya tetap tidak berani bertanya
“bagaimana kalau saya...?” apalagi (tentu saja)
Meminta “mengapa harus dia dan bukan saya...?”
BAGI BOCAH YANG MATI
Maafkan, aku tak bermaksud untuk luruh
lalu menggulung dan menindih bocah itu
dalam runtuhanku. Sungguh, aku telah mencoba
bertahan bergantung di punggung gunung sana,
aku bahkan telah menggigit kaki-kaki rumput
yang kering itu setelah orang-orang kampung
datang membuntungi lengan-lenganku
dan membakar sisa-sisa akar.
Akupun mencintainya.
Bocah lincah dan lucu itu
dahulu sering bermain di lerengku
memetik bunga-bunga.
Biarkan aku menyelimuti jasadnya
yang kedinginan sendiri di kaki gunung ini
dengan rumput paling lembut wangi.
Bunga-bunga kesayangan terindah
akan kutumbuhkan untuk menghiasi tidurnya.
STATISTIK KORBAN
1000 tewas oleh bencana
dan warga dunia guncang karenanya
seorang pengemis terbujur ditutupi koran
kita menyerahkannya pada dinas kebersihan
1000 nyawa dicabut secara massal
dan 1 nyawa meregang sepi di bangsal
tentu dengan berita yang pertama kita tersentak
dan Maut lantas jadi selebritas mendadak
karena dalam statistik negara
dan matematika demokrasi sederhana
1000 jelas lebih signifikan dan dominan
jika dengan hanya 1 dibandingkan
tetapi dalam timbangan keadilan
duka seorang ataupun 1000 kurban
sama besar dan beratnya
sama sedih dan sepinya
maka hormatilah
setiap tetes air mata yang tumpah
setiap titik darah dari luka
: ia keramat dan mulia
MUNAJAT BENCANA
Bila dalam sejuk semilir dan rinai rintik
tak kami lihat senyumMu ramah menyapa,
adakah amuk badai dan arus bah melanda ini
seringai amarahMu? Bila lirih himbauMu
tak juga dihiraukan para hamba,
inikah geram mautMu yang menghalau kembali?
Dan bila pemuliaanMu atas lempung hina ini
hanya membuatnya angkuh bangga,
akankah kau hempaskan ia ke atas tanah
hingga nyaris binasa agar mampu mengakui rapuhnya?
Wahai, Sang Pencurah Rahmat,
jadilah kehendakMu
dalam kemahalembutanMu!
KUATRIN KETIKA BADAI
Di luar badai begitu riuh;
tetapi betapa sepi setetes air itu
perlahan menitik jatuh
dari lubang kecil atap kamarku.
MEDITASI SETELAH BENCANA
setelah terjadi bencana entah di mana
kita merasa bersukur dan percaya
berada pada golongan yang benar
karena darinya dapat terhindar
sementara di atas langit, malaikat bala
menatap prihatin dan menggelengkan kepala:
justru karena dan untuk kalianlah petaka ditimpakan
agar dapat sadar dan mengambil pelajaran!
setelah terjadi bencana entah di mana
kita merasa diperlakukan dengan semena
yang tak berdosa bergelimpangan mati dan sekarat
sedangkan yang keji malah aman dan selamat
hingga malaikat bala berbisik kepadaku
adakah aturan ciptaan pada pencipta berlaku
sementara kalian kepada sesama berbuat tak patut
pun tanpa tanya dan pilih, membakar sarang semut
setelah terjadi bencana entah di mana
kita merasa kecewa dan gundah gulana
apakah sia-sia saja telah beriman
mengapa percaya tak membawa keselamatan
dan malaikat bala tertawa menggema lalu bersabda
apa keyakinan kalian menuntut balas jasa dan imbal guna
seperti pedagang ajimat bermain tawar menawar
bila merugi lantas gusar lalu bertukar ingkar!
SAJAK RINO
kalau tiba musim hujan
dan banjir datang
Rino suka main air genangan
atau tanding bola di lumpur berkubang
biasanya sekolah akan tutup
barang sehari dua
Rino dan kawan puas berkuyup
tertawa-tawa bersama
kadang ayah marah datang mencari
dengan membawa sebatang lidi pecut
dan di rumah ibu akan menyuruh mandi
lalu menghukum di bawah selimut
pagi ini Rino bangun kesiangan
lihat orang sedusun basah berlumpur
ke manakah ayah ibu gerangan
mereka terus tidur seperti bulan libur
IA TAK LAGI BERANI MENDUGA-DUGA TENTANG ANGIN
Ia tak lagi berani menduga-duga tentang angin
Sejak gelisah yang berpusing itu datang
Menerjang membuat terban rebah
Segala yang pernah ditegakkannya
Ia tak lagi berani menduga-duga tentang tanah
Sejak kesabaran itu retak rekah
Menelan lenyap segala
Yang pernah disemainya
Ia tak lagi berani menduga-duga tentang api
Sejak amarah yang menyembur itu
Menghangusmusnahkan segala
Yang pernah dipunyainya
Ia tak lagi berani menduga-duga tentang air
Sejak ketenangan itu bangkit menggelombang
Menyapu pupus segala yang pernah
Ia sebut sebagai kesayangan
Ia tak lagi berani menduga-duga
Tentang angin, tanah, api dan juga air
Sejak ia merasa bahwa keempatnya kini
Tengah bersiasat untuk mengingatkannya
JALAN SETAPAK
jalan setapak yang terlupakan
terkapar dibakar matahari
semak belukar di kedua tepi
berlomba menghapusnya
sejak jalan aspal datang
mengiris punggung bukit bunga
para peladang di hutan
lama tak lagi melintasi
ia berharap semoga ada bocah
yang tersesat di padang sana
biar nanti para pencari
kembali lalulalang di atasnya
di mulutnya dulu aku berdiri terpaku
tak tahu arah mana menuju rumahku
bila kini kalian datang mencari
temukan aku di dahan pohon kayu
SEUSAI BADAI DI TELUK
Langit mendengus geram
Dan menghunus dendam kelamnya
Untuk ditikamkan berulang ke busung dadamu
Yang putih terbuka menantang malam
Amuk belalai badai membantai, gemuruh
Beribu guruh menyerbu, cambuk petir mengamuk,
Dan berjuta panah hujan susul-menyusul
Menggempur gempar telukmu, tak berampun.
Tetapi cagak karang hitam itu
Yang menyimpan karat waktu berabad-abad
Tetap tegak terpejam membisu di tengah seru deru
Bersabar menerima bagai biksu tua yang telah tahu
Maka setelah lelah segala tumpah
Kembali, dari balik rumpun pohonan yang terpilin,
Keluar dari semak belukar yang terbongkar,
Hening perlahan merayap menyisir pasir dan mengendap
Di wajahmu yang kuyup menyimpan denyut sisa geletar
Tinggal mengapung berserak pecahan papan,
Patahan tiang, dan sobekan layar: jejak yang sebentar
Akan diraup hapus oleh arus laut ke selatan
Sementara langit jadi lebih pias dari semula
Lebih kuyu dan sayu, lalu bergulung menjauh, letih
Oleh lampias liar dari amarah gairah sendiri
Kini, ia merasa bertambah dingin dan semakin sepi
RINTIHAN BUMI
Betapa pedihnya
pukulan cangkul, irisan linggis,
dan garukan garumu
betapa perihnya
kucur cuka, tabur serbuk tuba,
dan jalar api bakarmu
di wajahku
kurasakan,
kutahankan
maka, ngalir air mata
dari pelupukku
untuk hapus hausmu
menggumpal nanah luka
dalam umbi ubiku
untuk tebus laparmu
dan menyembur darah kental hitam
dari lubuk jantungku
nyalakan pelita untukmu
bagimu
kuserahkan
kupasrahkan
BAHTERA NUH
Bumi yang purba,
Bahtera nuh kita,
Bertahan mengapung
Di samudera waktu
Didera arus dan gelombang
Murung termangu
Seperti jantung berlemak
Yang ungu kehitamhitaman
Berjuta tahun telah berlalu
Masih terus berdetak juga
Helaan nafasnya
Perlahan, dangkal, dan berat
Kelopak matanya mengatup
Menghindari cahaya matahari
Yang kejam merajam
Tubuhnya
Kita cacah kita sayat
Kita garuk kita cakar
Wajahnya
Kita injaki kita ludahi
Kita kencingi kita beraki
Ia diam saja
Bertahan setia
Meski menderita
Hanya terkadang sekali dua
Bersin dan batuknya
(yang susah payah coba ditelannya)
Pecah tak kuasa tertahankan
Dan kita lalu menjerit-jerit melengking
Menudingnya
Tak lagi mau bersahabat
Dengan kita manusia
Lihat,
Pada pelupuknya
Yang diseliputi lendir tebal katarak tua,
Air mata keruh berlinang
Ia tak lagi bisa berkata-kata
Membela diri
Tetapi dari kernyit retak keningnya,
Denyutan di kerut kelopaknya,
Dan dari suara erangnya
Yang serak oleh dahak mengerak
Adalah isyarat tanda
Yang memberitakan derita
Lebih jelas tegas
Dari kata dan berita
Dalam warta dunia
Astagafirullah!
Bagaimana kalau suatu waktu
Ia memutuskan untuk menyerah takluk saja
Kepada gerogot usia,
Menyahuti jemputan maut,
Mengangguk kepada telunjuk ajal
Kemudian memejamkan mata selamanya
Lalu melenyap tenggelam ke dasar samudera tiada
Damai terbaring dalam cahaya biru temaram
Tenteram senyap
Dari arus dan gelombang waktu
Jika kapal layar karam
Di laut berpalung
Dengan apa kita
Mengapung bergantung,
Bagaimana kita
Sampai mencapai tanjung ?
.....yang hadir mengisi di antara dua kesunyian--kelahiran dan kematian..... (An Indonesian poems corner ; the poet : Hendragunawan)
Sunday, December 27, 2009
Thursday, December 10, 2009
DUA SAJAK CINTA (Dari Arsip Sajak Lama)
UCAPAN SELAMAT PADA PERKAWINAN KAWAN
Kawan, selamat untukmu kuucapkan
karena engkau telah berhasil mendapatkan
perempuan terindah di kota ini
tak ada lain yang seperti ia lagi
Tak ada lain yang seperti ia lagi
perempuan terindah di kota ini
yang bila duduk diam betapa anggun
yang kala berjalan membuat kita tertegun
Perempuan terindah di kota ini
tak ada lain yang seperti ia lagi
jaga dan jangan sakiti hatinya
setia serta percayalah kepadanya
Tak ada lain yang seperti ia lagi
perempuan terindah di kota ini
kami melepasnya dengan berat dan getir
meski hadirin membanjir, hidangan mengalir
Untukmu kuucapkan selamat
namun yang kukatakan harus kau ingat
karena aku pun mencintainya
lebih dari cintamu kepadanya
KELUHAN PRIA TUA
Musik yang sedih
dan lirik yang lirih
adalah racun sempurna
di senja yang segera.
Yang bayang terbayang
wajah yang tersayang:
parasnya betapa ranum
tubuhnya begitu harum.
Tetapi, kemana gerangan pergi
dara manja berkawat gigi
matanya bundar cemerlang
dan lengannya berpendar telanjang.
Atau perempuan beraut serius
dengan rambut panjang lurus
yang darinya kuberpaling
saat meminta harus terus seiring.
Dan, ah, betina garang
beserta pagutan dalam dan panjang
kini ibu panutan, ketua darmawanita,
setelah diperistri walikota.
Seluruhnya sisa kisah lalu
walau indah sudah berlalu
Tinggal aku seorang lelaki tua
masih terlunta, tiada berdua.
Sekarang kukenang mereka
semua dalam kepedihan yang sama;
tetapi aku tentu takkan pernah mengaku
kepada si jelita yang tengah kupangku!
Kawan, selamat untukmu kuucapkan
karena engkau telah berhasil mendapatkan
perempuan terindah di kota ini
tak ada lain yang seperti ia lagi
Tak ada lain yang seperti ia lagi
perempuan terindah di kota ini
yang bila duduk diam betapa anggun
yang kala berjalan membuat kita tertegun
Perempuan terindah di kota ini
tak ada lain yang seperti ia lagi
jaga dan jangan sakiti hatinya
setia serta percayalah kepadanya
Tak ada lain yang seperti ia lagi
perempuan terindah di kota ini
kami melepasnya dengan berat dan getir
meski hadirin membanjir, hidangan mengalir
Untukmu kuucapkan selamat
namun yang kukatakan harus kau ingat
karena aku pun mencintainya
lebih dari cintamu kepadanya
KELUHAN PRIA TUA
Musik yang sedih
dan lirik yang lirih
adalah racun sempurna
di senja yang segera.
Yang bayang terbayang
wajah yang tersayang:
parasnya betapa ranum
tubuhnya begitu harum.
Tetapi, kemana gerangan pergi
dara manja berkawat gigi
matanya bundar cemerlang
dan lengannya berpendar telanjang.
Atau perempuan beraut serius
dengan rambut panjang lurus
yang darinya kuberpaling
saat meminta harus terus seiring.
Dan, ah, betina garang
beserta pagutan dalam dan panjang
kini ibu panutan, ketua darmawanita,
setelah diperistri walikota.
Seluruhnya sisa kisah lalu
walau indah sudah berlalu
Tinggal aku seorang lelaki tua
masih terlunta, tiada berdua.
Sekarang kukenang mereka
semua dalam kepedihan yang sama;
tetapi aku tentu takkan pernah mengaku
kepada si jelita yang tengah kupangku!
TENTANG SEJUMLAH PENEMBAKAN ITU
(Antara 1997/1998 hingga kini, sejumlah insiden penembakan dan salah tembak telah terjadi. Yang bersalah telah terhukum-entah sepadan atau tidak. tetapi yang korban, terenggutkan selamanya dari matahari pagi, dari hangatnya hati orang-orang yang mencintai)
LELAKI YANG KEHILANGAN
Perempuan itu pamit keluar sebentar
Ketika tentara mengejar-ngejar petani
Kemudian penantianmu jadi sejauh keabadian
Para pembunuh telah berpulangan
Darah telah dibersihkan
Dan asap telah reda
Tetapi tak ada
Yang menghapus air matamu
Mereka malah menertawakan kesedihan
Para pembunuh telah dianugerahi bintang jasa
Para penuntut mengincar saat ganti berkuasa
Tetapi siapa yang akan mengingat kehilanganmu?
Ke jauh ujung jalan
Murung matamu jatuh tercenung
Apakah gerangan yang kau tunggu?
(2007)
BALADA PAK KRAYAT
-Agustus 2005
Pak Krayat, Pak Krayat, O, Pak Krayat
Alangkah sabar dan penuh maafnya kamu
Aku tahu kamu telah ditipu dan dikerjai berkali-kali
Sementara engkau menggadaikan diri kepada pemberi kerja
untuk upah yang akan segera habis kurang dari dua minggu,
Engkau diledek habis-habisan oleh kenaikan harga dan aneka pungutan,
oleh iklan-iklan gemerlapan, oleh kuis berhadiah jutaan rupiah
dengan pertanyaan remeh yang melecehkan akal sehatmu,
dan oleh gaya hidup para pejabat serta wakil rakyat
yang bukan main ajaib anehnya.
Tetapi, kamu tetap mampu tersenyum, meski kecut,
sembari mengurut dadamu yang ringkih.
Pak Krayat, Pak Krayat, O Pak Krayat.
Berapa dalamnya samudera kesabaranmu,
Berapa tingginya langit pemaafanmu?
Meski Sang Ekonom yang logis dan empiris dengan wajah dingin
menggunting separuh dari secarik uangmu lusuh
tahun demi tahun, karena tahu dan yakin
engkau toh pasti masih akan sanggup
bertahan hidup, bagaimanapun juga caranya,
Meski Sang Perencana Kota penuh antusias
merancang peta yang akan menyingkirkanmu
demi jalan-jalan layang yang tak akan kau lalui,
demi pemukiman mewah yang memasang palang dan satpam
di gerbang masuknya untuk menghadangmu,
dan demi mal megah yang gemerlap lampu-lampunya saja
telah mampu membuatmu gelagapan,
Meski para pelayan masyarakat semakin galak memalakmu
dan aparat keamanan kian giat berlatih
untuk menyasarkan peluru menembus jidatmu,
Namun engkau tetap siap sedia untuk mati
sebagai relawan demi membela negara
yang tak pernah sungguh-sungguh membelamu.
Pak Krayat, Pak Krayat, O Pak Krayat
Kesabaranmu lebih keras dari bukit cadas,
Pemaafanmu lebih luas dari samudera.
Walau mimpi adil makmur harus kau bawa
hingga ke liang kubur,
Di hari Senin pagi ini, kamu masih menyempatkan berhenti
dan berusaha berdiri tegak, meski gemetar
menahan nyeri lutut oleh rematik akut
Ketika di halaman upacara sebuah sekolah dasar
yang hampir runtuh atapnya,
Lagu Indonesia Raya dinyanyikan sayup sayu
dan Sang Saka dinaikkan perlahan
dengan merahnya yang ketakuttakutan
dan putih yang kebisubisuan.
NASIHAT BUAT ANGKATAN BERSENJATA
- penganiayaan mahasiswa UMI, 2004
lencana dan senjata
bukan lisensi bagimu
untuk semena-mena
merasa nomor satu
tanpa bertameng lencana
siapakah dirimu
tanpa menenteng senjata
bisa apakah kamu
hanya mengandalkan lencana
cuma berbekal senjatamu
alangkah pengecutnya
dirimu itu
di balik lencanamu
mestinya bijak cendikia
di belakang senjatamu
harusnya satria mulia
jaga hati dan kepala
pelihara tangan dan kaki
agar namamu terjaga
jauh dari caci maki
hindari kekerasan
yang tak terkendali
jauhi pemerasan
dan segala pungli
ingat-ingat sumpahmu
camkan ini nasihat
agar dunia akhiratmu
selamat dan afiat
jika tidak kau faham
maka dirimu alangkah kasihan
hanya preman berseragam
atau bocah sok jagoan
BAGI YANG MATI DI SEMANGGI
Sebutir peluru tajam menghunjamkan malam di pelupukmu.
Darah tercurah dari tubuh yang rubuh
menyiram kaki beton semanggi.Tetapi
tak akan tumbuh bunga esok hari di situ.
Dara kecil biar termangu mencarinya nanti.
Juga kupu-kupu. Tidak ada air mata. Namun
benakku menjelma radio larut (yang dahulu
biasa menemani anak muda itu melamunkan kekasihnya
hingga pukul tiga pagi), tergeletak di atas meja sendiri berteriak-teriak
serak memanggil gelombang dalam gulita. Seperti bendera
ditinggalkan angin. Bagaikan lagu kebangsaan
dilupakan kelompok paduan suara. Untuk apa.
Gerimis masih di jendela
terus menulis namamu, menyanyikan cinta
terkandaskan dari dadamu yang rekah
oleh keping timah.
Aku mungkin akan segera melupakanmu.
Aku tak pernah ada
di sana. Tidak pernah
ada. Tidak ...
(1998)
MEGATRUH
sekawanan burung hijau
terbang tinggalkan negeri rantau
menuju cakrawala senja
pulang ke tanah purba
dari Aceh Merdeka hingga Timika Irian Jaya,
dari pelosok kampung-kampung kumuh
hingga kaki gedung-gedung kukuh
peluru yang tumpah
dan darah yang tercurah
akankah hanya kembali
terlupa dalam sunyi.
sekawanan burung hijau
terbang tinggalkan negeri rantau
penuh belukar luka pada sayapnya
penuh bunga duka pada matanya.
(1997/1998)
LELAKI YANG KEHILANGAN
Perempuan itu pamit keluar sebentar
Ketika tentara mengejar-ngejar petani
Kemudian penantianmu jadi sejauh keabadian
Para pembunuh telah berpulangan
Darah telah dibersihkan
Dan asap telah reda
Tetapi tak ada
Yang menghapus air matamu
Mereka malah menertawakan kesedihan
Para pembunuh telah dianugerahi bintang jasa
Para penuntut mengincar saat ganti berkuasa
Tetapi siapa yang akan mengingat kehilanganmu?
Ke jauh ujung jalan
Murung matamu jatuh tercenung
Apakah gerangan yang kau tunggu?
(2007)
BALADA PAK KRAYAT
-Agustus 2005
Pak Krayat, Pak Krayat, O, Pak Krayat
Alangkah sabar dan penuh maafnya kamu
Aku tahu kamu telah ditipu dan dikerjai berkali-kali
Sementara engkau menggadaikan diri kepada pemberi kerja
untuk upah yang akan segera habis kurang dari dua minggu,
Engkau diledek habis-habisan oleh kenaikan harga dan aneka pungutan,
oleh iklan-iklan gemerlapan, oleh kuis berhadiah jutaan rupiah
dengan pertanyaan remeh yang melecehkan akal sehatmu,
dan oleh gaya hidup para pejabat serta wakil rakyat
yang bukan main ajaib anehnya.
Tetapi, kamu tetap mampu tersenyum, meski kecut,
sembari mengurut dadamu yang ringkih.
Pak Krayat, Pak Krayat, O Pak Krayat.
Berapa dalamnya samudera kesabaranmu,
Berapa tingginya langit pemaafanmu?
Meski Sang Ekonom yang logis dan empiris dengan wajah dingin
menggunting separuh dari secarik uangmu lusuh
tahun demi tahun, karena tahu dan yakin
engkau toh pasti masih akan sanggup
bertahan hidup, bagaimanapun juga caranya,
Meski Sang Perencana Kota penuh antusias
merancang peta yang akan menyingkirkanmu
demi jalan-jalan layang yang tak akan kau lalui,
demi pemukiman mewah yang memasang palang dan satpam
di gerbang masuknya untuk menghadangmu,
dan demi mal megah yang gemerlap lampu-lampunya saja
telah mampu membuatmu gelagapan,
Meski para pelayan masyarakat semakin galak memalakmu
dan aparat keamanan kian giat berlatih
untuk menyasarkan peluru menembus jidatmu,
Namun engkau tetap siap sedia untuk mati
sebagai relawan demi membela negara
yang tak pernah sungguh-sungguh membelamu.
Pak Krayat, Pak Krayat, O Pak Krayat
Kesabaranmu lebih keras dari bukit cadas,
Pemaafanmu lebih luas dari samudera.
Walau mimpi adil makmur harus kau bawa
hingga ke liang kubur,
Di hari Senin pagi ini, kamu masih menyempatkan berhenti
dan berusaha berdiri tegak, meski gemetar
menahan nyeri lutut oleh rematik akut
Ketika di halaman upacara sebuah sekolah dasar
yang hampir runtuh atapnya,
Lagu Indonesia Raya dinyanyikan sayup sayu
dan Sang Saka dinaikkan perlahan
dengan merahnya yang ketakuttakutan
dan putih yang kebisubisuan.
NASIHAT BUAT ANGKATAN BERSENJATA
- penganiayaan mahasiswa UMI, 2004
lencana dan senjata
bukan lisensi bagimu
untuk semena-mena
merasa nomor satu
tanpa bertameng lencana
siapakah dirimu
tanpa menenteng senjata
bisa apakah kamu
hanya mengandalkan lencana
cuma berbekal senjatamu
alangkah pengecutnya
dirimu itu
di balik lencanamu
mestinya bijak cendikia
di belakang senjatamu
harusnya satria mulia
jaga hati dan kepala
pelihara tangan dan kaki
agar namamu terjaga
jauh dari caci maki
hindari kekerasan
yang tak terkendali
jauhi pemerasan
dan segala pungli
ingat-ingat sumpahmu
camkan ini nasihat
agar dunia akhiratmu
selamat dan afiat
jika tidak kau faham
maka dirimu alangkah kasihan
hanya preman berseragam
atau bocah sok jagoan
BAGI YANG MATI DI SEMANGGI
Sebutir peluru tajam menghunjamkan malam di pelupukmu.
Darah tercurah dari tubuh yang rubuh
menyiram kaki beton semanggi.Tetapi
tak akan tumbuh bunga esok hari di situ.
Dara kecil biar termangu mencarinya nanti.
Juga kupu-kupu. Tidak ada air mata. Namun
benakku menjelma radio larut (yang dahulu
biasa menemani anak muda itu melamunkan kekasihnya
hingga pukul tiga pagi), tergeletak di atas meja sendiri berteriak-teriak
serak memanggil gelombang dalam gulita. Seperti bendera
ditinggalkan angin. Bagaikan lagu kebangsaan
dilupakan kelompok paduan suara. Untuk apa.
Gerimis masih di jendela
terus menulis namamu, menyanyikan cinta
terkandaskan dari dadamu yang rekah
oleh keping timah.
Aku mungkin akan segera melupakanmu.
Aku tak pernah ada
di sana. Tidak pernah
ada. Tidak ...
(1998)
MEGATRUH
sekawanan burung hijau
terbang tinggalkan negeri rantau
menuju cakrawala senja
pulang ke tanah purba
dari Aceh Merdeka hingga Timika Irian Jaya,
dari pelosok kampung-kampung kumuh
hingga kaki gedung-gedung kukuh
peluru yang tumpah
dan darah yang tercurah
akankah hanya kembali
terlupa dalam sunyi.
sekawanan burung hijau
terbang tinggalkan negeri rantau
penuh belukar luka pada sayapnya
penuh bunga duka pada matanya.
(1997/1998)
Thursday, December 03, 2009
BALADA KARTINI
-Malam Solidaritas HIV-AIDS, Tamalanrea, 1995/96 oleh Metastase
Dari kamar hotel ke kamar hotel
bagai camar ia melayang dalam kabut.
Dari lampu merah ke lampu merah
bagai lebah ia menyengat parah.
Dan akhirnya terdampar ia
di sudut gelap sebuah bangunan tua
peninggalan Zaman Belanda
di Jalan Penghibur yang mengabur dalam gerimis
mengerang sekarat meregang nyawa.
Kartini, Kartini, Kartini
bagai bunga layu perlahan mati dan membusuk
terkapar ia dan menggelepar
dihajar oleh lapar dan dahaga
dirajam oleh sakit, dendam, dan amarah.
Dan seperti yang biasa terjadi
pada setiap orang yang akan pergi mati
bayang-bayang masa lalu
datang kepadanya
berdiri di sisi
tak mau pergi.
Kartini, Kartini, Kartini,
umur sebelas tahun kamu sudah kenal lelaki
ketika pamanmu mengendap masuk ke kamarmu
saat ayah dan ibumu belum pulang dari ladang.
Mulanya kamu memang meronta
tetapi sayang ia lebih perkasa
dan ketika kamu menangis sesudahnya
ia hanya tertawa
lantas memberimu kembang gula
lalu berlalu begitu saja
dengan sepatu di tangan.
Meninggalkan kamu di sudut kamar itu
tersedu-sedu tanpa baju
memanggil-manggil nama ibu.
Umur lima belas tahun kamu jadi istri jagoan pasar
tiga tahun kemudian kamu begitu saja disuruh pergi
karena lama tak bisa memberi keturunan
dan lagi kamu pernah menolak juga
ketika ia mabuk dan menyuruh kamu
melayani seorang sahabatnya
seorang tentara berpangkat prajurit dua
yang baru kembali dari Irian Jaya.
Dua tahun kemudian kamu ketemu seorang mahasiswa.
Dari lagaknya yang setia kamu akhirnya percaya
bahwa ia bisa diajak menempuh usia
hidup bersama selamanya.
Kamupun mulai memimpikan rumah teduh
dengan kain jendela berwarna berhias bunga renda
dan ramai oleh jerit tawa kanak-kanak
yang sekian lama kamu damba,
hingga delapan bulan kemudian
ia lari ke Jakarta
setelah meraih gelar sarjana
bersama perawan sma
tetangga sebelah rumah.
Akhirnya kamu memutuskan pergi ke kota
bukan untuk menyusul mencarinya
tetapi untuk mencoba memulai babak baru.
Kamu bawa luka, dendam, dan angan-angan,
tanpa bekal keterampilan dan pendidikan lumayan
seperti dalam kisah klise lama
yang sialnya
selalu saja terulang jadi nyata.
Bisa ditebak bagaimana kelanjutannya :
berbekal bedak tebal dan harum parfum murahan
kamu meracuni malam dengan semerbak mimpi.
Kamu ternyata segera jadi terkenal, Kartini.
Wajahmu yang cantik dan tubuhmu yang sintal
jadi rebutan tamu-tamu lelaki.
Dengan atasan yukensi
Dan bawahan rok ketat mini
Namamu Kartini disingkat Tini.
Tetapi kini kamu telah belajar banyak
agar tak nyenyak terlena begitu saja
tak ada orang yang dapat dipercaya
maka hanya kepada dirimu sendirilah
kamu gantungkan kepercayaan.
Perasaanmu kamu bunuh
hingga lelaki yang menidurimu pada terkicuh
kamu biarkan mereka mereka menyentuh badan
menjilati dan menggigitnya bagai anjing kesetanan
sementara jiwamu kamu ungsikan jauh-jauh
tetap utuh, angkuh, dan tak terengkuh.
“Aku bukan seorang wanita murahan.
Aku seorang pekerja !”
begitu kau pernah berkata
ketika diajak wawancara
oleh seorang wartawan muda
setelah terlebih dulu
ia mencicipi kamu.
“Ini masalah jual beli,
ini masalah hukum ekonomi,
ini soal permintaan dan penawaran.
Ada yang ingin dan mencari,
ada yang butuh dan bersedia memberi.
Jangan melulu kami dituduh
sedang pada kamu lelaki mereka tak acuh.
Toh, kalau kalian tahan puasa jajan
paling lama dalam waktu sebulan
lokalisasi ini pasti bangkrut dan tutup.
Mudah dan sederhana saja, bukan ?”
“Dulu aku memang terjebak
tetapi kini aku dapat melangkah tegak.
Kita memang mesti jadi orang baik selalu,
itu dari dulu juga aku tahu.
Tetapi kita harus bertahan hidup
terlebih dahulu.
Ada orang yang bekerja dengan pengetahuannya
seperti para dokter dan ahli ekonomi.
Ada yang bekerja dengan keterampilannya
seperti para tehnisi dan olahragawan.
Dan ada yang bekerja dengan perasaannya
seperti para seniman.
Aku pun bekerja dengan tubuhku
seperti halnya para buruh dan kuli.
Toh, tak kubiarkan mereka meniduriku
sebelum membayar lunas sewanya.
Dan ketika mereka telah hilang kesadaran
dengan mata nanar berputar,
hanya mendengus, mengumpat, dan mengerang,
aku tetap sadar diri
mataku tetap lebar terbuka
menatap langit-langit kamar.
Aku hanya tersenyum kecil
dan tertawa di dalam hati.
Ah, laki-laki sama saja
penguasa atau pengusaha,
tentara atau mahasiswa,
pejabat tinggi ataupun kuli,
alangkah lemahnya ternyata !”
Ya, ya, ya,
sekarang kamu bukan lagi korban, Kartini.
Kini kamu telah memilih jalan ini
dengan kesadaran
sebagai perlawanan menentang keadaan.
“Dan kepada mereka yang mengecam,
tolong Bung Wartawan tanyakan,
kenapa diharamkan bagi kami memakan bangkai
sementara hidangan santapan empuk bertumpuk
tersaji di atas meja makan mereka sendiri.
Dan juga kukatakan terus terang
tanpa mereka sadari mereka juga adalah germo
mereka menutup pintu kerja bagi kami
karena kami kurang terampil
dan tak punya pendidikan tinggi
sedang biaya untuk melatih kami
lebih baik dialihkan untuk investasi
dalam bentuk mesin dan komputer canggih.
Ya, merekalah yang melemparkan kami ke trotoar jalan,
membiarkan kami terlantar mencemari kota.
Tangan-tangan kukuh mereka menelanjangi tubuh kami,
menyumbat mulut,
dan memegangi kedua tangan dan kaki kami,
lalu menggeranyangi setiap senti tubuh kami.
Kemudian dengan penuh kepurapuraan
mereka lepaskan petugas kamtibmas
untuk mengejar-kejar kami
setelah puas mereka
melepas keinginan.”
Mendengar penuturan kamu
Bung Wartawan hanya mengerjapkerjapkan matanya.
Omongan kamu yang tandas dan cerdas
membuatnya melongo bego.
Tentu saja komentar kamu yang gagah itu
tidak layak jual buat dimuat di koran minggu.
Mana ada pembaca yang percaya
kamu bisa bicara begitu perkasa.
Orang macam kamu selalu disudutkan sebagai korban,
jadi sasaran umpatan ataupun curahan kasihan.
Dan bila kisahmu dimuat juga
bisa mencemari harkat martabat pejabat negara
yang bersih jujur dan berwibawa,
karena ternyata kamu beberapa kali
pernah dibooking berhari-hari
menemani pejabat tinggi dari ibu kota.
Maka daripada pusing kepala pikirkan itu semua
Bung Wartawan Mudapun memutuskan
untuk melupakan perkara wawancara.
Adapun isi rubrik kisah nyata
akan ia ganti dengan cerita rekaan saja.
Lalu dengan terburu-buru penuh nafsu
ia mengulum ibu jari kakimu
untuk kesekian kali
kamu hanya tersenyum
dan menatap langit-langit kamar
disana tergambar wajah ramah paman kamu,
wajah beringas jagoan pasar,
wajah kasar tentara prajurit dua,
wajah mahasiswa muda,
dan wajah-wajah lelaki lain
yang makin lama kian tak jelas
berbaur kabur.
Kartini, Kartini, Kartini.
Dari kamar hotel ke kamar hotel
bagai camar kamu melayang dalam kabut.
Dari lampu merah ke lampu merah
bagai lebah kamu menyengat parah
dan akhirnya terdampar kamu
di sudut gelap sebuah bangunan tua
di Jalan Penghibur yang kuyup dalam hujan.
Mengerang sekarat meregang nyawa.
Mungkin kamu memang menderita, Kartini
tetapi kamu juga tetap berbangga
lembah dosa yang kelam penuh nista
kamu rambah dengan mata menyala
perkasa dan penuh makna.
Kartini, Kartini, Kartini.
Orang-orang bijaksana, para pendeta dan ulama
mencaci kamu.
Mereka bilang kamu pendosa keji dan hina.
Orang-orang LSM, para cendikiawan, dan penyair
membela kamu.
Mereka katakan kamu hanya terpaksa dan tak berdaya.
Tetapi bagaimanapun juga, Kartini,
pendosa ataupun terpaksa
mereka tetap tak bisa tinggalkan kamu
menghitung sisa hari
sendiri
dalam sunyi.
Dari kamar hotel ke kamar hotel
bagai camar ia melayang dalam kabut.
Dari lampu merah ke lampu merah
bagai lebah ia menyengat parah.
Dan akhirnya terdampar ia
di sudut gelap sebuah bangunan tua
peninggalan Zaman Belanda
di Jalan Penghibur yang mengabur dalam gerimis
mengerang sekarat meregang nyawa.
Kartini, Kartini, Kartini
bagai bunga layu perlahan mati dan membusuk
terkapar ia dan menggelepar
dihajar oleh lapar dan dahaga
dirajam oleh sakit, dendam, dan amarah.
Dan seperti yang biasa terjadi
pada setiap orang yang akan pergi mati
bayang-bayang masa lalu
datang kepadanya
berdiri di sisi
tak mau pergi.
Kartini, Kartini, Kartini,
umur sebelas tahun kamu sudah kenal lelaki
ketika pamanmu mengendap masuk ke kamarmu
saat ayah dan ibumu belum pulang dari ladang.
Mulanya kamu memang meronta
tetapi sayang ia lebih perkasa
dan ketika kamu menangis sesudahnya
ia hanya tertawa
lantas memberimu kembang gula
lalu berlalu begitu saja
dengan sepatu di tangan.
Meninggalkan kamu di sudut kamar itu
tersedu-sedu tanpa baju
memanggil-manggil nama ibu.
Umur lima belas tahun kamu jadi istri jagoan pasar
tiga tahun kemudian kamu begitu saja disuruh pergi
karena lama tak bisa memberi keturunan
dan lagi kamu pernah menolak juga
ketika ia mabuk dan menyuruh kamu
melayani seorang sahabatnya
seorang tentara berpangkat prajurit dua
yang baru kembali dari Irian Jaya.
Dua tahun kemudian kamu ketemu seorang mahasiswa.
Dari lagaknya yang setia kamu akhirnya percaya
bahwa ia bisa diajak menempuh usia
hidup bersama selamanya.
Kamupun mulai memimpikan rumah teduh
dengan kain jendela berwarna berhias bunga renda
dan ramai oleh jerit tawa kanak-kanak
yang sekian lama kamu damba,
hingga delapan bulan kemudian
ia lari ke Jakarta
setelah meraih gelar sarjana
bersama perawan sma
tetangga sebelah rumah.
Akhirnya kamu memutuskan pergi ke kota
bukan untuk menyusul mencarinya
tetapi untuk mencoba memulai babak baru.
Kamu bawa luka, dendam, dan angan-angan,
tanpa bekal keterampilan dan pendidikan lumayan
seperti dalam kisah klise lama
yang sialnya
selalu saja terulang jadi nyata.
Bisa ditebak bagaimana kelanjutannya :
berbekal bedak tebal dan harum parfum murahan
kamu meracuni malam dengan semerbak mimpi.
Kamu ternyata segera jadi terkenal, Kartini.
Wajahmu yang cantik dan tubuhmu yang sintal
jadi rebutan tamu-tamu lelaki.
Dengan atasan yukensi
Dan bawahan rok ketat mini
Namamu Kartini disingkat Tini.
Tetapi kini kamu telah belajar banyak
agar tak nyenyak terlena begitu saja
tak ada orang yang dapat dipercaya
maka hanya kepada dirimu sendirilah
kamu gantungkan kepercayaan.
Perasaanmu kamu bunuh
hingga lelaki yang menidurimu pada terkicuh
kamu biarkan mereka mereka menyentuh badan
menjilati dan menggigitnya bagai anjing kesetanan
sementara jiwamu kamu ungsikan jauh-jauh
tetap utuh, angkuh, dan tak terengkuh.
“Aku bukan seorang wanita murahan.
Aku seorang pekerja !”
begitu kau pernah berkata
ketika diajak wawancara
oleh seorang wartawan muda
setelah terlebih dulu
ia mencicipi kamu.
“Ini masalah jual beli,
ini masalah hukum ekonomi,
ini soal permintaan dan penawaran.
Ada yang ingin dan mencari,
ada yang butuh dan bersedia memberi.
Jangan melulu kami dituduh
sedang pada kamu lelaki mereka tak acuh.
Toh, kalau kalian tahan puasa jajan
paling lama dalam waktu sebulan
lokalisasi ini pasti bangkrut dan tutup.
Mudah dan sederhana saja, bukan ?”
“Dulu aku memang terjebak
tetapi kini aku dapat melangkah tegak.
Kita memang mesti jadi orang baik selalu,
itu dari dulu juga aku tahu.
Tetapi kita harus bertahan hidup
terlebih dahulu.
Ada orang yang bekerja dengan pengetahuannya
seperti para dokter dan ahli ekonomi.
Ada yang bekerja dengan keterampilannya
seperti para tehnisi dan olahragawan.
Dan ada yang bekerja dengan perasaannya
seperti para seniman.
Aku pun bekerja dengan tubuhku
seperti halnya para buruh dan kuli.
Toh, tak kubiarkan mereka meniduriku
sebelum membayar lunas sewanya.
Dan ketika mereka telah hilang kesadaran
dengan mata nanar berputar,
hanya mendengus, mengumpat, dan mengerang,
aku tetap sadar diri
mataku tetap lebar terbuka
menatap langit-langit kamar.
Aku hanya tersenyum kecil
dan tertawa di dalam hati.
Ah, laki-laki sama saja
penguasa atau pengusaha,
tentara atau mahasiswa,
pejabat tinggi ataupun kuli,
alangkah lemahnya ternyata !”
Ya, ya, ya,
sekarang kamu bukan lagi korban, Kartini.
Kini kamu telah memilih jalan ini
dengan kesadaran
sebagai perlawanan menentang keadaan.
“Dan kepada mereka yang mengecam,
tolong Bung Wartawan tanyakan,
kenapa diharamkan bagi kami memakan bangkai
sementara hidangan santapan empuk bertumpuk
tersaji di atas meja makan mereka sendiri.
Dan juga kukatakan terus terang
tanpa mereka sadari mereka juga adalah germo
mereka menutup pintu kerja bagi kami
karena kami kurang terampil
dan tak punya pendidikan tinggi
sedang biaya untuk melatih kami
lebih baik dialihkan untuk investasi
dalam bentuk mesin dan komputer canggih.
Ya, merekalah yang melemparkan kami ke trotoar jalan,
membiarkan kami terlantar mencemari kota.
Tangan-tangan kukuh mereka menelanjangi tubuh kami,
menyumbat mulut,
dan memegangi kedua tangan dan kaki kami,
lalu menggeranyangi setiap senti tubuh kami.
Kemudian dengan penuh kepurapuraan
mereka lepaskan petugas kamtibmas
untuk mengejar-kejar kami
setelah puas mereka
melepas keinginan.”
Mendengar penuturan kamu
Bung Wartawan hanya mengerjapkerjapkan matanya.
Omongan kamu yang tandas dan cerdas
membuatnya melongo bego.
Tentu saja komentar kamu yang gagah itu
tidak layak jual buat dimuat di koran minggu.
Mana ada pembaca yang percaya
kamu bisa bicara begitu perkasa.
Orang macam kamu selalu disudutkan sebagai korban,
jadi sasaran umpatan ataupun curahan kasihan.
Dan bila kisahmu dimuat juga
bisa mencemari harkat martabat pejabat negara
yang bersih jujur dan berwibawa,
karena ternyata kamu beberapa kali
pernah dibooking berhari-hari
menemani pejabat tinggi dari ibu kota.
Maka daripada pusing kepala pikirkan itu semua
Bung Wartawan Mudapun memutuskan
untuk melupakan perkara wawancara.
Adapun isi rubrik kisah nyata
akan ia ganti dengan cerita rekaan saja.
Lalu dengan terburu-buru penuh nafsu
ia mengulum ibu jari kakimu
untuk kesekian kali
kamu hanya tersenyum
dan menatap langit-langit kamar
disana tergambar wajah ramah paman kamu,
wajah beringas jagoan pasar,
wajah kasar tentara prajurit dua,
wajah mahasiswa muda,
dan wajah-wajah lelaki lain
yang makin lama kian tak jelas
berbaur kabur.
Kartini, Kartini, Kartini.
Dari kamar hotel ke kamar hotel
bagai camar kamu melayang dalam kabut.
Dari lampu merah ke lampu merah
bagai lebah kamu menyengat parah
dan akhirnya terdampar kamu
di sudut gelap sebuah bangunan tua
di Jalan Penghibur yang kuyup dalam hujan.
Mengerang sekarat meregang nyawa.
Mungkin kamu memang menderita, Kartini
tetapi kamu juga tetap berbangga
lembah dosa yang kelam penuh nista
kamu rambah dengan mata menyala
perkasa dan penuh makna.
Kartini, Kartini, Kartini.
Orang-orang bijaksana, para pendeta dan ulama
mencaci kamu.
Mereka bilang kamu pendosa keji dan hina.
Orang-orang LSM, para cendikiawan, dan penyair
membela kamu.
Mereka katakan kamu hanya terpaksa dan tak berdaya.
Tetapi bagaimanapun juga, Kartini,
pendosa ataupun terpaksa
mereka tetap tak bisa tinggalkan kamu
menghitung sisa hari
sendiri
dalam sunyi.
Subscribe to:
Posts (Atom)
SAJAK JALAN PAGI BERSAMA
Pagi seputih seragam baru dan sesegar rambut basah para bocah ketika kita berjalan menyusur tembok yang mengendapkan waktu di perkampu...
-
STOPPING BY WOODS ON A SNOWY EVENING Whose woods these are I think I know. His house is in the village though; He will not see me stopping h...
-
PEREMPUAN 1. Beri aku cermin kaca yang rata tak retak atau telaga bening yang tenang airnya atau genangan embun di telapak tangan bunga...