Kau cari tilas
Dari gambar itu: ia yang tengah sendiri,
Setengah tercenung, pada pelataran
Yang telah ditelantarkan
Pernah kau simpan
Pada keping cakram
Yang meyakinkanmu
Ia akan merekam segalanya, baka
Bahkan bekas
Dari berkas kenangan itu
Tak tertera lagi kini, tumpas
Tertindih ingatan terakhir, tampaknya
Yang bergegas berebut tempat
Seperti gugus awan
Di langit kemarau
Tanpa henti terserak
Hingga perkakas pencaripun
Tak begitu perkasa ternyata
Mereka ulang bit-bit
Yang tercerabut itu
Meski ia pernah nyata ada,
Setidaknya menyita tempat
Dari memori yang digariskan cahaya,
Hingga kau pindahkan ia
Tak ada di asal
Tak kunjung sampai di tuju
Adakah ia moksa
Ke hampa lupa
Seberapa dekatkah untuk ada?
Seberapa jauhkah untuk tiada?
Antara ilusi dan hakiki,
Di mana gerangan batasnya?
Tak kau temukan
Gambar itu akhirnya, sempurna
Punah ke sumber semula
Dari mana kau pernah ada, mungkin.
2009
.....yang hadir mengisi di antara dua kesunyian--kelahiran dan kematian..... (An Indonesian poems corner ; the poet : Hendragunawan)
Wednesday, April 22, 2009
TIGA PUISI BAGI KOTA YANG DITUMBUHI MALL DAN RUKO
ELEGI BAGI KOTA MENJELANG PAGI
Telah terlalu larut kini untuk berdusta, kotaku.
Etalase yang memajang mimpi sepanjang hari
Kini telah terpejam sepi di balik tebal pintu tarik besi
Bahkan para waria juga berkemas pergi
Karena pura-pura telah luntur bersama pupur
Dan genit pun pudar pendarnya dari kikik
Tetapi sudahkah engkau menuntaskan doa malammu, kotaku
Mengadukan duka yang mengaduk dadamu
Kepada Paduka Yang Bertahta di Atas Arasi
Karena gerombolan pedagang telah membagi-bagi wajah bumimu
Bersekongkol dengan para calo dan penguasa yang rakus
Bagai tikus yang lihai namun serakah mereka mengerkah tanahmu
Lalu menggali lorong di bawahmu demi mendirikan pasar
Sesudah terlebih dahulu berhasil mengangkangi jalan raya
Sementara itu, jalan-jalanmu yang makin kasar dan mengancam
Kini dicemari wajah-wajah pecandu kedudukan
Dengan slogan janji yang payah logika dan bahasanya
Mengemis kepercayaan dan kesempatan mengabdi
Semoga Tuhan kita menyelamatkanmu
Dari kepengurusan para calo, preman dan pengumbar nafsu
Dan mengamankan Rahasiamu serta melindungi nasib pendudukmu
Dari jamahan cemar jemari mereka
Bertahun lalu aku takutkan kutukan ini akan dijatuhkan
Menjadi kota besar yang hiruk, angkuh, dan gempita
Dan tahu-tahu kini engkau telah menyambutnya
Justru dengan bangga dan suka cita
Engkau telah merentang jarak dari kami
Menarik garis batas untuk mengantarai kita
Hanya mereka yang mampu membeli air kemasan
Yang berhak meneguk jernih segar airmu
Hanya mereka yang bermobil dengan kaca tebal
Yang diizinkan menghirup dingin sejuk anginmu
Adakah arwah tujuh wali kini juga tengah mencemaskan
Marwah yang kian redup dari wajahmu
Kukhawatirkan selat makassar yang gemas
Akan loncat menerkam untuk membasuh busuk
Yang dilumurkan para pengurus dan wargamu yang durhaka
Atau gunung yang merentang menjulang akan meluncur runtuh
Untuk menutup aib yang kian karib dengan kisahmu
Telah terlalu larut kini untuk berdusta, kotaku.
Embun telah dibubuhkan langit purba
Anak-anak tanpa rumah meringkuk di trotoar
Janin dalam kantung pengaman terapung-apung di selokan
Seorang tukang becak melipat tubuhnya dalam sarung
Dan Bapak Tua Penyapu Jalan, bersiap membersihkanmu
Setelah menyeka kedua pelupuk matanya
(2009)
REPORTASE DARI MAL BARU
Pusat niaga telah berdiri tegak perkasa
Ia bahkan tega mengangkangi jalan raya
Pedestrian dan trotoar pun terbongkar
Jadi jalur parkir tempat taksi berjajar
Barisan pohonan habis hingga ke akar
Diganti tetiang lampion iklan berpijar
Yang bersinar menenung kala gelap jatuh
Namun di terang hari hanya membuta acuh
Tak ada kini guguran kembang runtuh
Tak dapat lagi jadi naungan teduh
Tak bisa pula digurati pesan cinta
Hendra & Dara: bersama selamanya
(2005)
SURAT CINTA UNTUK MAKASSAR
masih belum tidur, sayang?
ketika aku berjalan kaki
di sepanjang jalan ahmad yani
yang telah dibongkar trotoarnya
matamu yang nyalang menyorot-nyorot
bagai lampu menara penjara
sementara di wajahmu semut-semut besi berapi
merayap dan menderum mengepulkan asap dan debu
manisku, siapa namanya si walikota
yang telah berani menggunduli habis
pohon-pohon asam dan akasia di kedua alismu?
keisengan atau kebodohankah yang telah meringankan tangannya?
siapa namanya si pengusaha
yang dengan bebal meruntuhkan rumah dan gedung belandamu,
menggantinya dengan mal dan gudang
dan bahkan ingin mendirikan asrama di lapanganmu?
aku pergi tidak begitu lama
dan ketika kembali aku terperangah
melihat engkau begitu jauh berubah
ular-ular aspal melilit tubuhmu
mal dan markas orang bersenjata
tumbuh memenuhi dadamu
sementara anak-anakmu
memaparkan pusar mereka
dan memamerkan belahan bokong
bercintaan di pojok angkutan kota
dan betapa mencekam,
ketika mendadak disekelilingku
bermunculan pasar dan plasa
timbul dari lubuk bumi
bagaikan para siluman raksasa
nongol membelah perut ibunya
lalu tumbuh sebagai raksasa tambun
dengan perut buncit dan punggung membungkuk
yang bangun terhuyung-huyung
sembari meraung minta makan
dan para liliput mengalir
datang dari setiap sudut-sudut kota
memasuki mulut mereka yang menganga lebar
dan menebarkan bau aneh
aih, aih, aih, sedihnya sayang,
keningmu berkerut merut
dan matamu keruh berkabut
jadi engkau juga harus ikut menjual diri
demi dolar dan rupiah
demi catatan prestasi pejabat
menggaet dana investasi
demi komisi dan promosi
demi masa jabatan kedua kali
sementara aku justru merasa
lebih aman dan nyaman
dengan kesederhanaanmu yang dulu?
lihatlah, aku berjalan kaki di ahmad yani
dengan perasaan takut serta asing
setelah daeng-daeng becak
yang dahulu mangkal di sini
sembari minum jerigen ballo dan main domino
telah digusur pergi
jalananmu ini bukan untukku lagi
percintaan kita telah jadi mimpi
sejak trotoarmu dicungkil pepohonanmu dicukur
jalan-jalan lama diperlebar dan jalan-jalan baru dibuka
sementara pejalan kaki dibiarkan
dicincang tajamnya panas mentari
dilumuri debu dan polutan
diintai sambaran maut dari semut-semut besi berapi
yang melaju angkuh dan perkasa
masih belum tidur, sayang?
berapa butir penenang yang mesti kau tenggak lagi
sebelum cemas dan gegasmu dapat reda dalam alun tidur
tatapanmu kian jauh dan tak acuh
seperti papan-papan iklan
yang megah tinggi tak tersentuh
mengangkangi si gila yang tersedu-sedu
duduk mencangkung dibawahnya
kau mungkin bahkan tak peduli
bahwa aku telah kembali
dan kehilangan kamu
aku menangis,
manisku
(2002/03)
Telah terlalu larut kini untuk berdusta, kotaku.
Etalase yang memajang mimpi sepanjang hari
Kini telah terpejam sepi di balik tebal pintu tarik besi
Bahkan para waria juga berkemas pergi
Karena pura-pura telah luntur bersama pupur
Dan genit pun pudar pendarnya dari kikik
Tetapi sudahkah engkau menuntaskan doa malammu, kotaku
Mengadukan duka yang mengaduk dadamu
Kepada Paduka Yang Bertahta di Atas Arasi
Karena gerombolan pedagang telah membagi-bagi wajah bumimu
Bersekongkol dengan para calo dan penguasa yang rakus
Bagai tikus yang lihai namun serakah mereka mengerkah tanahmu
Lalu menggali lorong di bawahmu demi mendirikan pasar
Sesudah terlebih dahulu berhasil mengangkangi jalan raya
Sementara itu, jalan-jalanmu yang makin kasar dan mengancam
Kini dicemari wajah-wajah pecandu kedudukan
Dengan slogan janji yang payah logika dan bahasanya
Mengemis kepercayaan dan kesempatan mengabdi
Semoga Tuhan kita menyelamatkanmu
Dari kepengurusan para calo, preman dan pengumbar nafsu
Dan mengamankan Rahasiamu serta melindungi nasib pendudukmu
Dari jamahan cemar jemari mereka
Bertahun lalu aku takutkan kutukan ini akan dijatuhkan
Menjadi kota besar yang hiruk, angkuh, dan gempita
Dan tahu-tahu kini engkau telah menyambutnya
Justru dengan bangga dan suka cita
Engkau telah merentang jarak dari kami
Menarik garis batas untuk mengantarai kita
Hanya mereka yang mampu membeli air kemasan
Yang berhak meneguk jernih segar airmu
Hanya mereka yang bermobil dengan kaca tebal
Yang diizinkan menghirup dingin sejuk anginmu
Adakah arwah tujuh wali kini juga tengah mencemaskan
Marwah yang kian redup dari wajahmu
Kukhawatirkan selat makassar yang gemas
Akan loncat menerkam untuk membasuh busuk
Yang dilumurkan para pengurus dan wargamu yang durhaka
Atau gunung yang merentang menjulang akan meluncur runtuh
Untuk menutup aib yang kian karib dengan kisahmu
Telah terlalu larut kini untuk berdusta, kotaku.
Embun telah dibubuhkan langit purba
Anak-anak tanpa rumah meringkuk di trotoar
Janin dalam kantung pengaman terapung-apung di selokan
Seorang tukang becak melipat tubuhnya dalam sarung
Dan Bapak Tua Penyapu Jalan, bersiap membersihkanmu
Setelah menyeka kedua pelupuk matanya
(2009)
REPORTASE DARI MAL BARU
Pusat niaga telah berdiri tegak perkasa
Ia bahkan tega mengangkangi jalan raya
Pedestrian dan trotoar pun terbongkar
Jadi jalur parkir tempat taksi berjajar
Barisan pohonan habis hingga ke akar
Diganti tetiang lampion iklan berpijar
Yang bersinar menenung kala gelap jatuh
Namun di terang hari hanya membuta acuh
Tak ada kini guguran kembang runtuh
Tak dapat lagi jadi naungan teduh
Tak bisa pula digurati pesan cinta
Hendra & Dara: bersama selamanya
(2005)
SURAT CINTA UNTUK MAKASSAR
masih belum tidur, sayang?
ketika aku berjalan kaki
di sepanjang jalan ahmad yani
yang telah dibongkar trotoarnya
matamu yang nyalang menyorot-nyorot
bagai lampu menara penjara
sementara di wajahmu semut-semut besi berapi
merayap dan menderum mengepulkan asap dan debu
manisku, siapa namanya si walikota
yang telah berani menggunduli habis
pohon-pohon asam dan akasia di kedua alismu?
keisengan atau kebodohankah yang telah meringankan tangannya?
siapa namanya si pengusaha
yang dengan bebal meruntuhkan rumah dan gedung belandamu,
menggantinya dengan mal dan gudang
dan bahkan ingin mendirikan asrama di lapanganmu?
aku pergi tidak begitu lama
dan ketika kembali aku terperangah
melihat engkau begitu jauh berubah
ular-ular aspal melilit tubuhmu
mal dan markas orang bersenjata
tumbuh memenuhi dadamu
sementara anak-anakmu
memaparkan pusar mereka
dan memamerkan belahan bokong
bercintaan di pojok angkutan kota
dan betapa mencekam,
ketika mendadak disekelilingku
bermunculan pasar dan plasa
timbul dari lubuk bumi
bagaikan para siluman raksasa
nongol membelah perut ibunya
lalu tumbuh sebagai raksasa tambun
dengan perut buncit dan punggung membungkuk
yang bangun terhuyung-huyung
sembari meraung minta makan
dan para liliput mengalir
datang dari setiap sudut-sudut kota
memasuki mulut mereka yang menganga lebar
dan menebarkan bau aneh
aih, aih, aih, sedihnya sayang,
keningmu berkerut merut
dan matamu keruh berkabut
jadi engkau juga harus ikut menjual diri
demi dolar dan rupiah
demi catatan prestasi pejabat
menggaet dana investasi
demi komisi dan promosi
demi masa jabatan kedua kali
sementara aku justru merasa
lebih aman dan nyaman
dengan kesederhanaanmu yang dulu?
lihatlah, aku berjalan kaki di ahmad yani
dengan perasaan takut serta asing
setelah daeng-daeng becak
yang dahulu mangkal di sini
sembari minum jerigen ballo dan main domino
telah digusur pergi
jalananmu ini bukan untukku lagi
percintaan kita telah jadi mimpi
sejak trotoarmu dicungkil pepohonanmu dicukur
jalan-jalan lama diperlebar dan jalan-jalan baru dibuka
sementara pejalan kaki dibiarkan
dicincang tajamnya panas mentari
dilumuri debu dan polutan
diintai sambaran maut dari semut-semut besi berapi
yang melaju angkuh dan perkasa
masih belum tidur, sayang?
berapa butir penenang yang mesti kau tenggak lagi
sebelum cemas dan gegasmu dapat reda dalam alun tidur
tatapanmu kian jauh dan tak acuh
seperti papan-papan iklan
yang megah tinggi tak tersentuh
mengangkangi si gila yang tersedu-sedu
duduk mencangkung dibawahnya
kau mungkin bahkan tak peduli
bahwa aku telah kembali
dan kehilangan kamu
aku menangis,
manisku
(2002/03)
PENAHBISAN
Trilyunan tahun dalam hitunganmu
Telah berlalu, semenjak mahadaya itu menggeliat
Bergerak dan menari, menebarkan mineral kosmik
Yang berpusar tanpa henti untuk melahirkanmu,
Kesadaran diri insani yang hakikatnya adalah penyaksian:
Alastu, alastu, kami mengaku, segala ciptaan
Bukanlah kesiasiaan.
Dan hari ini engkau berdiri
terpukau oleh ufuk yang seolah tak terjangkau
geletar halus menjalari tubuhmu, menelusuri
sekujur sungai syaraf di tulang belakang
mengalirkan arus dari tulang ekor
meretas tembus rintangan cakra
untuk bermekaran di ubun-ubunmu
Sungguh, benih itu harus pecah menjadi mawar
Yang dasar haruslah menuju luhur
Dan kelam di lubuk itu mestilah melahirkan terang
Mahkota mawar cahaya cemerlang
Yang menghiasi kepalamu,
Wahai, Engkau, puncak segala ciptaan.
2009
Telah berlalu, semenjak mahadaya itu menggeliat
Bergerak dan menari, menebarkan mineral kosmik
Yang berpusar tanpa henti untuk melahirkanmu,
Kesadaran diri insani yang hakikatnya adalah penyaksian:
Alastu, alastu, kami mengaku, segala ciptaan
Bukanlah kesiasiaan.
Dan hari ini engkau berdiri
terpukau oleh ufuk yang seolah tak terjangkau
geletar halus menjalari tubuhmu, menelusuri
sekujur sungai syaraf di tulang belakang
mengalirkan arus dari tulang ekor
meretas tembus rintangan cakra
untuk bermekaran di ubun-ubunmu
Sungguh, benih itu harus pecah menjadi mawar
Yang dasar haruslah menuju luhur
Dan kelam di lubuk itu mestilah melahirkan terang
Mahkota mawar cahaya cemerlang
Yang menghiasi kepalamu,
Wahai, Engkau, puncak segala ciptaan.
2009
PENAHBISAN
Trilyunan tahun dalam hitunganmu
Telah berlalu, semenjak mahadaya itu menggeliat
Bergerak dan menari, menebarkan mineral kosmik
Yang berpusar tanpa henti untuk melahirkanmu,
Kesadaran diri insani yang hakikatnya adalah penyaksian:
Alastu, alastu, kami mengaku, segala ciptaan
Bukanlah kesiasiaan.
Dan hari ini engkau berdiri
terpukau oleh ufuk yang seolah tak terjangkau
geletar halus menjalari tubuhmu, menelusuri
sekujur sungai syaraf di tulang belakang
mengalirkan arus dari tulang ekor
meretas tembus rintangan cakra
untuk bermekaran di ubun-ubunmu
Sungguh, benih itu harus pecah menjadi mawar
Yang dasar haruslah menuju luhur
Dan kelam di lubuk itu mestilah melahirkan terang
Mahkota mawar cahaya cemerlang
Yang menghiasi kepalamu,
Wahai, Engkau, puncak segala ciptaan.
2009
Telah berlalu, semenjak mahadaya itu menggeliat
Bergerak dan menari, menebarkan mineral kosmik
Yang berpusar tanpa henti untuk melahirkanmu,
Kesadaran diri insani yang hakikatnya adalah penyaksian:
Alastu, alastu, kami mengaku, segala ciptaan
Bukanlah kesiasiaan.
Dan hari ini engkau berdiri
terpukau oleh ufuk yang seolah tak terjangkau
geletar halus menjalari tubuhmu, menelusuri
sekujur sungai syaraf di tulang belakang
mengalirkan arus dari tulang ekor
meretas tembus rintangan cakra
untuk bermekaran di ubun-ubunmu
Sungguh, benih itu harus pecah menjadi mawar
Yang dasar haruslah menuju luhur
Dan kelam di lubuk itu mestilah melahirkan terang
Mahkota mawar cahaya cemerlang
Yang menghiasi kepalamu,
Wahai, Engkau, puncak segala ciptaan.
2009
Subscribe to:
Posts (Atom)
SAJAK JALAN PAGI BERSAMA
Pagi seputih seragam baru dan sesegar rambut basah para bocah ketika kita berjalan menyusur tembok yang mengendapkan waktu di perkampu...
-
STOPPING BY WOODS ON A SNOWY EVENING Whose woods these are I think I know. His house is in the village though; He will not see me stopping h...
-
PEREMPUAN 1. Beri aku cermin kaca yang rata tak retak atau telaga bening yang tenang airnya atau genangan embun di telapak tangan bunga...