(sajak-sajak dari kumpulan yang ditulis antara 1996-1999, merekam sejumlah tragedi yang pernah terjadi, antara lain Tragedi Trisakti. Penyelesaian sejumlah kasus masih diliputi kabut misteri dan bukan tidak mungkin, di antara para pelakunya dahulu saat ini ada yang telah menjelma menjadi sosok-sosok yang meraup simpati masyarakat)
NYANYI SUNYI HARI PROKLAMASI 1996
Langit senja
Gerimis
sunyi
Ada bendera
Berkibar
letih
Langit senja
Gerimis
sunyi
Ada barisan
Berbalik
pergi
Langit senja
Gerimis
sunyi
Seorang Ibu
Menangis
sendiri
TANGAN-TANGAN HIJAU
Tangan-tangan hijau
menghapus bianglala dari cakrawala
mencerabut bunga-bunga dari rimba raya
melumpuhkan kupu-kupu yang menggeletarkan sayapnya.
Tangan-tangan hijau
menghanguskan buku-buku dan catatan pustaka
menyilang sejumlah nama di daftar rahasia
menghilangkan potret wajah dari album keluarga.
Tangan-tangan hijau
membedah dada membelah kepala
merapikan mimpi-mimpi kala malam hari
menggeledah cita-cita di siang hari.
Tangan-tangan hijau
dengan cermat ketat mencatat
memantau merekam segala bunyi kicau
risau dan menggeram oleh setiap igau.
Tangan-tangan hijau
menjulur menyusup jauh
ke sudut-sudut tidurmu
semakin jauh dan kian dalam.
SAJAK-SAJAK TRAGEDI MEI
1. Sajak Lampu Merah
Di bawah lampu merah yang menyala lama sekali
barisan panjang kendaraan berderet tak sabar menanti
maka dalam cuaca panas membara tanpa hawa
serentak sejuta klakson ganas meledak bersama.
2. Megatruh
sekawanan burung hijau
terbang tinggalkan negeri rantau
menuju cakrawala senja
pulang ke tanah purba
dari Aceh Merdeka
hingga Timika Irian Jaya,
dari pelosok kampung-kampung kumuh
hingga kaki gedung-gedung kukuh
peluru yang tumpah
dan darah yang tercurah
akankah hanya kembali
terlupa dalam sunyi.
sekawanan burung hijau
terbang tinggalkan negeri rantau
penuh belukar luka pada sayapnya
penuh bunga duka pada matanya.
3. Lagu Perkabungan
Angin memucat dalam senja lembayung
pohonan tunduk berpayung mendung
kuntum dan putik berluruhan berpusing
dari ranting tua rapuh dan kering.
Tak ada kur kanak-kanak lantang bernyanyi
hanya sederet unggas terbang berarak sunyi
di cakrawala barisan ruh leluhur melambai menanti
memanggil jiwa yang letih pulang kembali.
Maka malamnya purnama pun bertudung
dan burung kelam bersenandung murung
setelah sekian nama hilang dan mati
esok pagi giliran siapa lagi.
4. Sajak Orang-Orang Kalah
Orang-orang yang kalah
tak punya apa-apa
tak bisa apa-apa.
Suara dan kata
bukan milik mereka
juga hak untuk memilih
dan bermimpi.
Mereka bukan pemerintah
yang punya kuasa dan titah,
bukan mahasiswa
yang ahli menganalisis dan beretorika,
bukan polisi dan tentara
yang punya senjata dan penjara,
bukan aktivis lembaga swadaya
yang piawai mengorganisasi unjuk rasa,
dan tentu saja bukan kelas menengah
yang penuh tata krama dan tata bahasa.
Orang-orang yang kalah
hanya punya badan sendiri
hanya punya mulut, kaki, dan tangan sendiri.
Tetapi,
mulut yang telah lepuh oleh keluhan dan permohonan
ternyata juga terampil mengumpat mencaci,
kaki yang lincah berlari menghindari razia petugas tibum·)
ternyata juga tangkas menyepak dan menendang,
tangan yang biasa tengadah dan mengais-ngais sampah sisa
ternyata juga jitu melempar batu serta memainkan belati
baja.
Maka orang-orang kalah
lalu berunjuk rasa dengan badan mereka sendiri
untuk menunjukkan bahwa mereka nyata
dan bukan fenomena sosial semata,
bukan hanya angka
dalam data statistik kemiskinan.
Tanpa membentangkan spanduk serta mengajukan petisi
tanpa peduli apakah ada pihak ketiga menunggangi
dari lorong-lorong kumuh dan mesum,
dari gorong-gorong pengap bawah tanah.
mereka berhamburan ke jalan-jalan raya
Mereka menghamburkan serapah dan makian
mereka mencabut rambu-rambu,
mereka memungut batu
dan menyulut api.
Maka Jakartapun
menyala.
5. Surat Cinta Buat Meilani
Kamu
telah mengubah nama,
tetapi
siapa yang bisa
menyembunyikan
sendiri tubuhnya !
Ya, aku telah mengenalmu
sejak sekolah menengah dulu.
Aku mengajarkan bahasa dan sejarah kepadamu,
kamu memberi contekan matematika dan akuntansi.
Tetapi kita baru tersadar kini
ada jarak -- biar hanya setipis kulit sendiri --
yang memisahkan kita
hingga sejauh dua benua
dan dua wilayah waktu berbeda.
Adakah
kau temukan juga salju,
taburan
kapas di atas hamparan beledu ,
ganti
panas kemarau dan kepulan debu ?
Padahal dulu tak kita pusingkan
karena tak punya kepentingan
dan beban kenangan.
Yang lantas menjelma semacam stigma trauma :
bekas luka yang nyerinya belum lepas terlupa
terasa tiap hawa dingin menimpa.
Bukankah pernah kita rasakan getar yang lebih purba
menjalar menghentak ketika tergeletak berdua
saat pori-pori kulitku mengecup pori-porimu begitu lekatnya.
Kupu-kupu
beku di kelopak batu
sepasang
sayapnya lumpuh
menempuh
cuaca tak lagi mampu.
Tubuhmu dan tubuhku ternyata
cuma kenal satu bahasa
butuh damba dan dahaga yang sama !
Sekarang kamu bawa tubuhmu lari nyebrang samudera ke
Australi
-- negeri yang
kukenal hanya lewat serial cerita televisi dan berita koran pagi
tentang Pauline Hanson·) . Kapan kamu kembali ?
Aku tak perlu malu
mengaku selalu tersedu
bila tak berdaya kangen sama kamu.
6. Ruwatan Sembilan Delapan
(lirik untuk lagu)
Mega mendung menutup matahari
hawa angkara menutup matahati.
Iri dengki dan dendam benci
adalah neraka dalam dada ini.
Seperti air membanjiri desa
begitu api menjalari kota.
Seperti ular merayapi belukar belantara
begitu curiga menulari benak kepala.
Dari atas dan bawah siksa membara
di sekeliling pertikaian seru menyala.
Lapar dan takut jadi pakaian busana
menyelubungi segenap raga dan sukma.
Bumi kami bumi yang tandus
hati kami hati yang hangus.
Mendamba angin sejuk berembus
menanti hujan turun dari firdaus.
Darah telah dicurahkan
nyawa telah disembahkan.
Di altar telah dibakar korban
kini tinggal sesalan dan harapan.
Sebelum fajar menempuh malam
rimba terbakar semusimpun padam.
Bibit benih tersisa masih terpendam
menanti bersemi dari rahim alam.
7. Mencari Ibu
Ibu, Ibu, Ibu, di manakah kamu.
Telah beratus tahun kami lelah menunggu.
Ibu, Ibu, mengapa meninggalkan kami, Ibu.
Di jendela rumah piatu, berjuta wajah hanya termangu.
Mulut kami gagap, mata kami nanap, mencari.
Kami harus belajar mengenali kembali
wajah sendiri. Mencoba mengeja lagi
abjad yang menyusun nama sendiri.
Setelah aum yang memenuhi kota
setelah dentum mewarnai cakrawala
setelah moncong menyalak membuta
setelah semuanya menjadi tak berharga.
8. Bangsaku Terus Berjalan
Bangsaku terus berjalan
terhuyung dan sempoyongan
badan penuh luka tikam sejarah
kenangan penuh air mata dan darah.
Coba dipendamnya berlaksa dendam kelam
coba dilupanya beribu liang duka hitam
merah padam membasuh pucat wajahnya
beling dan senyuman dikulum bersama.
Bangsaku terus berjalan
terhuyung dan sempoyongan
nanar matanya gemetar langkahnya
menatap cakrawala alangkah jauhnya.
BAGI YANG MATI DI SEMANGGI
Sebutir peluru tajam menghunjamkan malam di pelupukmu.
Darah tercurah dari tubuh yang rubuh
menyiram kaki beton semanggi.Tetapi
tak akan tumbuh bunga esok hari di situ.
Dara kecil biar termangu mencarinya nanti.
Juga kupu-kupu. Tidak ada air mata. Namun
benakku menjelma radio larut (yang dahulu
biasa menemani anak muda itu melamunkan kekasihnya
hingga pukul tiga pagi), tergeletak di atas meja sendiri
berteriak-teriak
serak memanggil gelombang dalam gulita. Seperti bendera
ditinggalkan angin. Bagaikan lagu kebangsaan
dilupakan kelompok paduan suara. Untuk apa.
Gerimis masih di jendela
terus menulis namamu, menyanyikan cinta
terkandaskan dari dadamu yang rekah
oleh keping timah.
Aku mungkin akan segera melupakanmu.
Aku tak pernah ada
di sana. Tidak pernah
ada. Tidak ...
ANGIN HITAM
Angin hitam bergelung menghembus datang
seribu kepala mekar lalu berguguran
terhambur jatuh memutuskan kenangan
dari seribu tubuh yang tinggal ranting sepi.
Angin hitam bergelung menghembus lalu
segalanyapun senyap bagai semula
tanpa jejak untuk dilacak
tanpa catatan untuk kenangan.
Angin hitam terus bergelung menghembus
beralih dari pohon ke pohon
berpindah dari hutan ke hutan
mengembara dari benua ke benua.
Angin hitam bergelung menghembus datang
angin hitam bergelung menghembus lalu
angin hitam terus bergelung menghembus
menyentuh maut di setiap jamahannya.
PURGATORI
Ada yang bersuci dengan air
telaga
ada yang dengan kucuran peluhnya
ada yang bersuci dengan air mata
ada yang dengan curahan darah
dan api yang bernyala-nyala.
Maka ditepi sungai merah yang membelah lebar kota
7.000.000 lelaki kerdil berkepala gundul
duduk mencangkung meratap dan meraung
sementara langit makin hitam saja,
sementara langit makin hitam saja.
FRAGMEN IBU DAN ANAK
Ibu itu bukan perempuan yang melepaskan
bayinya hanyut di Sungai Nil beribu tahun lalu;
ia hanya gigil kecemasan yang menatap
anaknya perlahan larut hilang ditelan
belukar jalan-jalan kota
yang hari itu
dipenuhi desis ular dan auman serigala.
Ia sengit berkata ; “Ia hanya pamit bermain
sebentar saja, seperti biasanya dulu!
Ia begitu manis dan manja padaku,
Bukan sejenis…” tetapi gelegar itu
dan hingar televisi setelahnya
mengabarkan lain.
“Cahaya mataku sirna padam
biarkan selembar seragamnya menyaput kabut ini
biarkan selembar seragamnya menyaput kabut ini
walau mungkin
ia memang tak akan kembali lagi…”
(Anak itu tentu saja bukan Musa yang melawan perkasa
atau Yusuf yang bertahan perjaka. Ia hanya mahasiswa tingkat tiga
atau Yusuf yang bertahan perjaka. Ia hanya mahasiswa tingkat tiga
yang memang sekarang lebih banyak turun ke jalan raya
bersama teman-temannya, membawa spanduk dan pamflet,
yang juga kangen dengan pacarnya yang belakangan sering alpa
…)
MARS MAHASISWA BARU
o ibu dan ayah, selamat pagi
kami ke semanggi berdemonstrasi
revolusi tanpa henti sampai mati
begitu kata kakak senior kami
ibu ayah janganlah bersedih hati
kami hanya minta harga-harga tak dibiarkan meninggi
dan agar rakyat biasa tidak ditembaki lagi
dan kalau bisa pemimpinnya diganti kembali
ibu ayah janganlah menanti
jika kami tak pulang esok hari
jangan dicari jangan pula ditangisi
tak usahlah sibuk membentuk tim komisi
o ibu dan ayah, kini kami pergi
revolusi sampai mati begitu kata senior kami
dan bila telah tercapai tujuan revolusi nanti
biar yang masih hidup ganti menduduki kursi
IBU PERTIWI 1999
Aku melihat Ibu Pertiwi
sedang berduka hati.
Darah anak-anaknya
tumpah menggenang.
Emas intannya hilang
dirampok orang.
Hutannya hangus, gunungnya tandus,
sawahnya rengkah, lautnya susut.
Simpanan kekayaan
telah habis digadaikan.
Kini ibu sedang lara
Terhina dan tak berdaya.
DOA BAGI INDONESIA
- dalam 3 waktu
I.
Di dalam malam yang pekat tebal,
Diselubungi selimut keamanan yang mencekam
Dan kelengangan yang menegangkan,
Sengal kubisikkan harap yang sembab
Kepadamu :
Curahkanlah hujan
Untuk memadamkan api yang merebak di ladang
Dan guyurkanlah tidur
Untuk memejamkan mata yang membelalak nyalang
Agar terkulai membuka
Tangan kami yang tegak mengepal tegang.
Leraikan dan damaikanlah hati kami
Jangan ceraikan jemari kami
Dan kain yang ditenun bunda
Kiranya tak diberaikan.
Jangan biarkan kami bertanding
Tetapi ajarkan kami bersanding.
Beri kami kekuatan –
Bukan untuk saling menjagal,
Tetapi untuk saling menjaga.
Beri kami daya kritis –
Bukan untuk saling menuntut
Tetapi untuk saling menuntun.
Beri kami kebanggaan –
Bukan untuk saling menghina
Tetapi untuk saling membina.
Dan beri kami hikmah –
Bukan untuk saling menghakimi
Tetapi untuk saling memahami.
Jangan diamkan kami saling menjegal
Tetapi bimbing kami
Agar bisa berlomba-lomba bersama
Mengejar ujung helai kerudung biru cintamu.
II.
Di tengah fajar yang sedang mekar perlahan
Bersama mulut-mulut mungil bunga-bunga mawar dan kantil
Yang merekah memuji namamu,
Bercahayalah rahmatmu yang kekal menyinar
Menerangi pandangan kami yang nanar.
Kami mengaku :
Setiap kali amuk badai tiba
Hanyalah padamu kami tengadah meminta.
Dan setiap kecamuk mereda
Kerap pula kami bersuka hingga melupa.
Ya, kami memang senantiasa tergesa-gesa
Tetapi sering pula menyesali diri sendiri.
III.
Di bawah terik mentari siang yang memanggang
Masih tetap kubisikkan harap
Yang mengendap-endap
Dari ruang kamarku yang sempit pengap
Lalu melayang dan melenyap
ditelan gulungan gelombang asap.
Semoga doa yang tersisa ini
Selamat hingga tiba di hadiratmu,
Tak terperangkap oleh jerat para penangkap,
Tak tersesat hangus sia-sia
Di antara belantara kota yang membara,
Di tengah huru-hara jalan raya,
Di luar sana.
Amin.
No comments:
Post a Comment