HOTEL ALBRECHTSHOF, BERLIN
Hampir pukul sepuluh;
ruang sarapanpun
menghampar sepi.
Pertempuran telah reda:
koran pagi kembali
tersampir rapi.
Tanpa denting
kuku runcing
pada jenjang leher gelas
atau kepulan asap
di atas lautan
secangkir kopi.
Piring dan pisau
terbaring bisu.
Meski bersisian.
Di nampan buah,
sepasang pir dan apel
tak terjamah
--selamat tersisa
dari mangsa
umat omnivora--
Berkilau dingin
putih dan merah
punggung mereka.
Tenteramlah,
hingga keramaian
jam 12 nanti.
SIANG TERIK PANTAI KURI, MAROS
--bersama Nasir
Di kampung Pantai Kuri,
pada hamparan berhektar tambak
kita berjalan menyusuri pematang
ketika hari jelang jam dua belas siang
sembari berbincang tentang orang-orang beruang
yang mengintai celah peluang
menyulap petak-petak sawah serta tambak
menjadi kawasan industri atau perumahan minimalis.
Samar deru ombak, sampai juga terdengar
menyusupi telinga batinku.
Sementara aku terpana
pada gerumbul bunga taijangang
yang mempersembahkan tiga warna bersama:
jingga, kuning juga ungu. Di bawahnya,
tanah yang kurus mengerang terputus-putus
seperti ingin menyeberangkan kabar:
kami sudah beri segala subur gembur
sebab urea yang ditebar bertahun memerah habis
simpanan kami hingga ke rongga butir terakhir!
Hatiku limbung demi mendengarnya.
Dan aku cemas memikirkan kemungkinan
sepuluh tahun ke depan lagi
luas lepas lanskap ini akan disesaki
kotak-kotak beton pengap panas:
belukar dari kota besar yang menjalar
kian liar tak terkendali.
Tetapi aroma ikan bolu dan kepiting bakar
segera membuatku terjaga.
Segar racikan sambal mangga
mengejutkanku dari lamunan muram masa depan
dan pahit duka sebentaran.
Seraya dengan terampil menyisihkan duri-duri
dari rekahan daging putih manis itu,
aku sekalian membantu tiga ekor bandeng
menuntaskan tugas dan eksistensinya
di alam maya ini. Samar kudengar,
engkau bercerita: sekarang panen
setahun sekali hanya, dulu empat
dengan besar dua kali lipat.
Kini aku mengerti, mengapa
gadis-gadis manis kampungmu
melepas sarung dan menukarnya
dengan rok-rok mini sempit seragam pramuniaga
di mal-mal Kota Makassar.
Mengapa para pemuda perkasa
meninggalkan cangkul serta serok berjala
mengejar kesempatan jadi pekerja pabrik di Korea.
Sukur, saudara saudarimu sudah lepas sekolah
dan ayahmu telah ke tanah suci.
Sedangkan engkau sendiri, sobatku, sekarang
makin sibuk mengajarkan ilmu bisnis dan tata buku.
Angin dari arah pantai
membuat pohon-pohon pisang melambai
menepiskan terik tropika dari mentari tengah hari
yang menjangkau mencengkeram tengkuk-tengkuk kita.
Daun-daun pohonan bakau
yang berakar kokoh menjejak lumpur,
dengan sabar menapis gempuran garam
yang disemburkan laut ke daratan.
Tetapi aku hanya jatuh hati kepada bunga-bunga tahi ayam
yang terangguk-angguk mengantarku pergi
menyeret langkah kantuk sebab lambung yang sibuk,
menenteng dua kantung buah tangan
penuh berisi beras panen dan ikan-ikan
ANTARA
TETIRAI
Telah
tercerabut engkau
Dari
kelam humus
Yang
meringkus
Dan
menumbuhkan sengitmu
Ungu
yang menyemburat
Di
setiap helai lapis gaun
Tentulah
tidak terbit
Dari
sungkan malu
Betapa
mata hamba
Membuta
setiap lengkap
Menanggalkan
cemerlang
Yang
membungkus tubuh
Dan
bila tersibak tirai
Air
mata dari pelupuk
Sejenak
sahaya kenali kilau
Jejak
lampau terang surya
Yang
pernah engkau dekap
Sesiang
nan purbawi
Hingga
semakin ke dalam
Mengelupas
sedap rahasia
Hanya
rupa hampa
Menyapa
pelukan hamba
Di
jantung sepi
Sesiung
bawang
(2012)
DI
DEPAN JENDELA
Jendela
kamarku
bingkainya
rengkah
tirainya
pun kusam lusuh
Namun
di balik kaca memburam
Tiga
pohon ekor bajing
Merimbun
tumbuh
Dan
sering melambai kepadaku
Bagai
tiga kemoceng hijau yang riang
Saban
angin lalu membelai
Membuatku
abai akan
Bingkai,
tirai dan kaca
Jendela
kamarku
(2012)
No comments:
Post a Comment