STOPPING BY WOODS ON A SNOWY EVENING
Whose woods these are I think I know.
His house is in the village though;
He will not see me stopping here
To watch his woods fill up with snow.
My little horse must think it queer
To stop without a farmhouse near
Between the woods and frozen lake
The darkest evening of the year.
He gives his harness bells a shake
To ask if there is some mistake.
The only other sound's the sweep
Of easy wind and downy flake.
The woods are lovely, dark and deep.
But I have promises to keep,
And miles to go before I sleep,
And miles to go before I sleep.
BERHENTI DI TEPI HUTAN KALA SENJA BERSALJU
Siapa pemilik hutan ini sepertinya kutahu.
Ia berumah jauh di desa sebelah sana itu;
Tak akan terlihat olehnya aku singgah sebentar
Memandangi hutannya penuh ditutupi salju.
Kuda kecilku pasti terheran-heran
Mengapa berhenti jauh dari perkampungan
Di antara hutan terpencil dan danau beku
Adalah senja terkelam di sepanjang tahun.
Kudaku kelonengkan bel mungilnya
Mungkin bertanya ia adakah yang tak biasa.
Suara lain terdengar hanyalah sayup sapuan
Dari angin lembut dan guguran salju di udara.
Hutan ini alangkah menawan, dalam, dan gelap.
Sayang aku ada janji yang tak boleh tersilap,
Dan bermil lagi perjalanan sebelum lelap,
Dan bermil lagi perjalanan sebelum lelap.
.....yang hadir mengisi di antara dua kesunyian--kelahiran dan kematian..... (An Indonesian poems corner ; the poet : Hendragunawan)
Monday, January 08, 2007
Tuesday, January 02, 2007
KONTEMPLASI TAHUN BARU
KALENDER BARU DI DINDING LAMA
-anno 2006
Toko-toko besar sedang
Berlomba obral cuci gudang
Paket travel akhir pekan
Kembali meriah ditawarkan
Meriuh karnaval di jalan
Kian macet pula kendaraan
Tetapi tak mampu menipu:
Hanya rutin berikut yang menunggu
Hanya rotasi dan revolusi
Dari bumi dan matahari
Yang telah bersama
Sejak kita belum bernama
Memang, kekalahan yang sama
Mari coba kita sejenak lupa
Harapan yang usang
Digumamkan berulang
Yang berbeda hanya
Kalender di dinding lama
SEORANG TUA DI MALAM TAHUN BARU
-anno 2006
Tubuhku menambun, rambutku beruban
Mataku rabun, geligi belulangku rapuh
Di luar sana, parade tahun baru riuh bersahutan
Tak kuasa lelap, tiada guna pula mengeluh
Anak mantu cucu nanti pulang jelang pagi
Di sebelah, hidangan dan susu tak tersentuh
Berapa puluh purnama berulang lagi
Hidup ini harus kutempuh?
PANTUN TAHUN BARU 2001
Bunga api dan pesta mercon
Jerit trompet dan pekik klakson
Betapa makin dekat saat penghabisan
Sedangkan harapan, kian samar di kejauhan
CATATAN MALAM TAHUN BARU
-jalan braga, bandung, 2000
Di sebuah kota yang asing
Tanpa cinta yang meminta setia
Atau janji menanti dipenuhi
Ia menyusuri seruas jalan tua
Dengan bangunan-bangunan bergaya belanda
Dan lampu-lampu kuning pucat
Menyirami dinding merah batanya
Serta tiga pria tionghoa tua
Tak acuh bermain kartu
Bertaruh dengan waktu
Bertarung dengan sendu
Malam tahun baru,
Dan setahun kembali berlalu
Tetapi sengaja memang
Ia menghindar dari keramaian
Dari riuh pesta di pusat kota
Dan dari pasangan-pasangan muda
Yang melangkah berangkulan mesra
Sembari sesekali saling memagut.
Kegembiraan mereka
Adalah lecut rasa sakit baginya.
Ia menyenangi suasana itu :
Jalan tua yang lengang,
Cuaca yang tenang,
Arsitektur lama
Yang remang
(yang ketika larut malam tiba
hanya dihuni bayang hantu-hantu masa silam
yang teramat sayang kepada kenangan),
dan sinar kuning pucat dari lampu-lampu hias
yang berpendaran membias gemetar di trotoar
dalam udara malam yang dingin,
seperti lingkaran kuning cahaya
di sekeliling kepala para santa
yang dalam selubung jubah ungu
berdiri khusuk dan murung
mematung dalam kontemplasi :
renungan tentang yang fana
dan yang abadi.
Lelah berjalan, ia pun dahaga.
Setelah menghitung uang sisa di kantung celana
Dan sejenak tertegun,
Ia menyeberang perlahan
Dengan kedua tangan dalam saku
Masuk ke satu warung kedai
Yang tanpa pengunjung dan terabaikan
Memesan segelas kopi hitam kental
Lalu duduk menikmatinya
Dengan gerak lamban dan senyap
Dengan hirupan yang dalam
Sebagaimana ia juga menikmati
Menyiksa diri dengan sepi
Kawan-kaman lama
Telah memilih menyerahkan diri
Dan kini ditawan dalam rumah-rumah mungil
Dengan pelat nama tembaga
Berkilat di atas ambang pintunya
Ia lantas menyadari
Ia telah bertambah tua
Dan sendiri.
Dua tiga helai uban
Membubuhkan warna kelabu perak
Pada rambut ubun-ubun kepala
Dan garis-garis kerut
yang diguratkan oleh tahun-tahun lampau
kian dalam terukir
pada raut wajahnya yang letih.
Ya, masa lalu selalu membelenggu
Dan harapan kerap menipu,
Tak terasa,
Tuntas sudah diminumnya gelas kopi kedua
Dan dua milenium tanpa terasa
pun berlalu dalam lamunan.
MALAM TAHUN BARU
-1996
Malam ini malam tahun baru
seisi kota merayakannya penuh haru.
Dalam kamar aku mlungker di ranjangku
tidak tidur, hanya tak mau tahu.
Bukankah setiap hari adalah tahun baru
jika dihitung mulai dari setahun yang lalu.
Atau setiap hari bukanlah tahun baru
kecuali genap setahun dari saat lahirmu.
NAFAS WAKTU
-anno 2006
Nafas waktu menyentuh besi
Dan terali pagar itu berkarat
Nafas waktu menyentuh batu
Dan dinding bata itu lumutan
Nafas waktu menyentuh kayu
Dan kursi ayun itu melapuk
Nafas waktu menyentuh bunga
Dan melati di meja itu layu
Nafas waktu menyentuh insan
Dan aku terpaku di depan cermin
PERLAHAN, PERLAHAN
-anno 2006
Perlahan
Perlahan
Kami datang
Turun menghambur
Ke pengkuanmu
Yang terhampar terbuka
Dan gembur
Oleh cinta nan purba
Bumi yang lembut
Gelap dan basah
Ke pangkuanmulah
Resah kami menuju
Di musim ketiga
Ketika kita sepakat
Bertemu
Bercumbu
Menyatu
Keluh kecil terlontar
Dari mulut-mulut mungil kami
Sebelum kelu
Dibungkam kelam
Pelukan lenganmu
Tak pernah kami sangka
Akan begini
Nyatanya
Perlahan
Perlahan
Daun-daun
Tahun
Berjatuhan
Tak tertahan
RUANG WAKTU AKU
I.
Di manakah bertepi kegelapan ini
(ia membayangkan tujuh anak tangga
sampai mencapai singgasana dan di anak tangga pertama
bertebaran berlaksa-laksa piringan galaksi)
Tetapi setiap benda berada dalam ruang
yang mesti berbatas tepi dan setiap ruang materi
pasti dibaliknya terdapat ruang yang lebih besar lagi.
Berlapis-lapis ruang hingga tak terhingga, ‘kan begitu?
Kecuali jika memang benar semua itu
hanya ada di dalam dada-
nya sendiri. Begitu
bukan?
II.
Ia menyilang penanggalan,
menunggu minggu berlalu, membilang bulan,
dan menanti tahun berganti dengan setia, sampai mati.
Tetapi yang ada hanya matahari itu,
siklus dalam ruang yang kembali tanpa putus
bagai gelang api dalam gelanggang sirkus abadi.
Dan ia hanya keledai tolol--bukan singa--
yang harus bolak-balik menerobosnya sia-sia.
III.
Kalau begitu, siapa sih sampean di situ,
sampai berani-beraninya menanyakan ini dan menyangka itu.
Kok bisa-bisanya, meragukan segala sesuatu
dan bahkan meragukan keraguan itu sendiri;
memandang segalanya dan bahkan memandang
pandangan itu sendiri.
Hanya senoktah jasad renik pada satu sel semesta raya
ataukah memang pangeran mahkota dari sang maharaja?
USAHA MEMBEKUKAN WAKTU
Kita semua menyangka
Telah berhasil memerangkap waktu
Menyekapnya di kalender, memberikannya nama
Dan menghitung-hitung usianya
Tetapi, seperti arloji dalam lukisan Salvador Dali,
Waktu selalu lolos dari lubang kunci
Dan bagaikan tali-tali yang lentur terentang
Ia memanjang memendek bagi masing-masing orang.
Dan tiap-tiap kita, sendiri meniti di atasnya
Dari satu lubang gelap ke lubang gelap yang lain lagi
Melintasi jurang dalam kelam
Yang menganga seram dan hampa.
KENANGAN KANAK-KANAK
Telah kutelusuri kembali jalur hidupmu,
mundur ke tujuh puluh dua tahun lalu
yang seperti lembar halaman buku cerita
penuh gambar-gambar beraneka warna.
Di situ kutemukan kisah putri salju, telaga yang menggenang
dari sebatang lidi, malingkundang si pendurhaka, dan oedipus
yang berkelana serta ramayana dan mahabharata.
Juga cita-cita jadi presiden, mimpi tentang seorang nabi
yang dahaga dan terluka, angan superman,
dan pilot pesawat tempur yang perkasa,
hingga rasa kangen yang mendesak aneh untuk pertama kali
yang telah memaksamu menguntitnya setiap pulang sekolah
seperti kucing yang setia.
Dan juga,
basah pada celana
yang membuatmu resah malu ketika bangun pagi.
Sekarang engkau di sini : cemas menyilangi penanggalan
di dinding kamar yang dingin memar oleh lembab hujan,
dan gemar mendengar lagu-lagu lama serta membaca kisah
dengan tema-tema sederhana : semua yang sekedar gema,
bukan gempar gempa. Juga suka duduk termangu di ambang pintu,
tetapi bukan untuk menunggu seorang tamu
yang lama diimpikan bertemu,
karena telah lelah dan tahu : harapan hanya menipu
dan semuanya cuma semu.
Tetapi tak usah bersedih hati : tak ada mimpi
yang mati, tak ada angan yang tumbang
karena di sejumlah dunia yang lain sama sekali, saat ini,
engkau adalah semua yang pernah kau inginkan.
Sesuatu yang kini dikenangkan, dahulu telah menjadi riwayat
yang memilih berpisah dari kenyataan sehari-hari
kemudian berjalan merentangkan sejarahnya sendiri.
Sekarang, di sana, engkau adalah seorang presiden yang
telah dikalahkan, superman yang memilih kerja wartawan lalu menikah
dengan Lana, serta seorang pengiring nabi yang sejuk di tengah api.
Juga ada satu pesawat tempur jatuh kena gempur lalu terkubur
di tengah samudera yang mengabur dalam kabut.
Jadi, tak usah takut dan berduka. Mengapa tertunduk kuyu dan
menghela lesu. Berbaringlah setelah menutup pintu, menurunkan tirai,
dan memadamkan lampu. Tenanglah, tak akan lama perihnya.
Hanya sebentar saja. Telah kubaca semuanya.
Betapa nafasmu yang terengah kian perlahan tertahan-tahan
bersama tubuhmu yang terbujur lemas di pembaringan kayu
semakin melecut gemasku untuk melucuti hidupmu.
Kita akan pergi ke tengah samudera jauh,
menengok pilot pesawat tempur yang terjatuh itu ;
Kasihan, ia kesepian di sana,
hanya berteman ikan-ikan yang suka tak acuh
Ayo,
Nii-na bobo…
ooo nii-na bobo…
NYANYIAN AKHIR TAHUN
Mendung memang menggantung bagai helai-helai tirai tua
yang mengandung rahasia kemurungan di setiap lipatannya.
Tetapi geriap cahaya tak terbendung
meskipun cakrawala lindap bagai pelupuk perempuan,
mengembung oleh sisa kantuk persetubuhan malam.
Rebahkanlah kepalamu yang lelah pada dingin bantal.
Kelam ini sebentar dan tak mungkin kekal;
tak lama lagi badai selesai dan akan kau jumpai
pelangi yang kau kenal beserta seri bunga-bunga
yang basah gemerlap oleh basuhan hujan.
Lihatlah mereka pun telah bersiap
untuk sebuah pesta.
Tentu, segalanya akan kembali:
yang pahit dan yang manis,
pastilah berlalu.
Selalu begitu.
-anno 2006
Toko-toko besar sedang
Berlomba obral cuci gudang
Paket travel akhir pekan
Kembali meriah ditawarkan
Meriuh karnaval di jalan
Kian macet pula kendaraan
Tetapi tak mampu menipu:
Hanya rutin berikut yang menunggu
Hanya rotasi dan revolusi
Dari bumi dan matahari
Yang telah bersama
Sejak kita belum bernama
Memang, kekalahan yang sama
Mari coba kita sejenak lupa
Harapan yang usang
Digumamkan berulang
Yang berbeda hanya
Kalender di dinding lama
SEORANG TUA DI MALAM TAHUN BARU
-anno 2006
Tubuhku menambun, rambutku beruban
Mataku rabun, geligi belulangku rapuh
Di luar sana, parade tahun baru riuh bersahutan
Tak kuasa lelap, tiada guna pula mengeluh
Anak mantu cucu nanti pulang jelang pagi
Di sebelah, hidangan dan susu tak tersentuh
Berapa puluh purnama berulang lagi
Hidup ini harus kutempuh?
PANTUN TAHUN BARU 2001
Bunga api dan pesta mercon
Jerit trompet dan pekik klakson
Betapa makin dekat saat penghabisan
Sedangkan harapan, kian samar di kejauhan
CATATAN MALAM TAHUN BARU
-jalan braga, bandung, 2000
Di sebuah kota yang asing
Tanpa cinta yang meminta setia
Atau janji menanti dipenuhi
Ia menyusuri seruas jalan tua
Dengan bangunan-bangunan bergaya belanda
Dan lampu-lampu kuning pucat
Menyirami dinding merah batanya
Serta tiga pria tionghoa tua
Tak acuh bermain kartu
Bertaruh dengan waktu
Bertarung dengan sendu
Malam tahun baru,
Dan setahun kembali berlalu
Tetapi sengaja memang
Ia menghindar dari keramaian
Dari riuh pesta di pusat kota
Dan dari pasangan-pasangan muda
Yang melangkah berangkulan mesra
Sembari sesekali saling memagut.
Kegembiraan mereka
Adalah lecut rasa sakit baginya.
Ia menyenangi suasana itu :
Jalan tua yang lengang,
Cuaca yang tenang,
Arsitektur lama
Yang remang
(yang ketika larut malam tiba
hanya dihuni bayang hantu-hantu masa silam
yang teramat sayang kepada kenangan),
dan sinar kuning pucat dari lampu-lampu hias
yang berpendaran membias gemetar di trotoar
dalam udara malam yang dingin,
seperti lingkaran kuning cahaya
di sekeliling kepala para santa
yang dalam selubung jubah ungu
berdiri khusuk dan murung
mematung dalam kontemplasi :
renungan tentang yang fana
dan yang abadi.
Lelah berjalan, ia pun dahaga.
Setelah menghitung uang sisa di kantung celana
Dan sejenak tertegun,
Ia menyeberang perlahan
Dengan kedua tangan dalam saku
Masuk ke satu warung kedai
Yang tanpa pengunjung dan terabaikan
Memesan segelas kopi hitam kental
Lalu duduk menikmatinya
Dengan gerak lamban dan senyap
Dengan hirupan yang dalam
Sebagaimana ia juga menikmati
Menyiksa diri dengan sepi
Kawan-kaman lama
Telah memilih menyerahkan diri
Dan kini ditawan dalam rumah-rumah mungil
Dengan pelat nama tembaga
Berkilat di atas ambang pintunya
Ia lantas menyadari
Ia telah bertambah tua
Dan sendiri.
Dua tiga helai uban
Membubuhkan warna kelabu perak
Pada rambut ubun-ubun kepala
Dan garis-garis kerut
yang diguratkan oleh tahun-tahun lampau
kian dalam terukir
pada raut wajahnya yang letih.
Ya, masa lalu selalu membelenggu
Dan harapan kerap menipu,
Tak terasa,
Tuntas sudah diminumnya gelas kopi kedua
Dan dua milenium tanpa terasa
pun berlalu dalam lamunan.
MALAM TAHUN BARU
-1996
Malam ini malam tahun baru
seisi kota merayakannya penuh haru.
Dalam kamar aku mlungker di ranjangku
tidak tidur, hanya tak mau tahu.
Bukankah setiap hari adalah tahun baru
jika dihitung mulai dari setahun yang lalu.
Atau setiap hari bukanlah tahun baru
kecuali genap setahun dari saat lahirmu.
NAFAS WAKTU
-anno 2006
Nafas waktu menyentuh besi
Dan terali pagar itu berkarat
Nafas waktu menyentuh batu
Dan dinding bata itu lumutan
Nafas waktu menyentuh kayu
Dan kursi ayun itu melapuk
Nafas waktu menyentuh bunga
Dan melati di meja itu layu
Nafas waktu menyentuh insan
Dan aku terpaku di depan cermin
PERLAHAN, PERLAHAN
-anno 2006
Perlahan
Perlahan
Kami datang
Turun menghambur
Ke pengkuanmu
Yang terhampar terbuka
Dan gembur
Oleh cinta nan purba
Bumi yang lembut
Gelap dan basah
Ke pangkuanmulah
Resah kami menuju
Di musim ketiga
Ketika kita sepakat
Bertemu
Bercumbu
Menyatu
Keluh kecil terlontar
Dari mulut-mulut mungil kami
Sebelum kelu
Dibungkam kelam
Pelukan lenganmu
Tak pernah kami sangka
Akan begini
Nyatanya
Perlahan
Perlahan
Daun-daun
Tahun
Berjatuhan
Tak tertahan
RUANG WAKTU AKU
I.
Di manakah bertepi kegelapan ini
(ia membayangkan tujuh anak tangga
sampai mencapai singgasana dan di anak tangga pertama
bertebaran berlaksa-laksa piringan galaksi)
Tetapi setiap benda berada dalam ruang
yang mesti berbatas tepi dan setiap ruang materi
pasti dibaliknya terdapat ruang yang lebih besar lagi.
Berlapis-lapis ruang hingga tak terhingga, ‘kan begitu?
Kecuali jika memang benar semua itu
hanya ada di dalam dada-
nya sendiri. Begitu
bukan?
II.
Ia menyilang penanggalan,
menunggu minggu berlalu, membilang bulan,
dan menanti tahun berganti dengan setia, sampai mati.
Tetapi yang ada hanya matahari itu,
siklus dalam ruang yang kembali tanpa putus
bagai gelang api dalam gelanggang sirkus abadi.
Dan ia hanya keledai tolol--bukan singa--
yang harus bolak-balik menerobosnya sia-sia.
III.
Kalau begitu, siapa sih sampean di situ,
sampai berani-beraninya menanyakan ini dan menyangka itu.
Kok bisa-bisanya, meragukan segala sesuatu
dan bahkan meragukan keraguan itu sendiri;
memandang segalanya dan bahkan memandang
pandangan itu sendiri.
Hanya senoktah jasad renik pada satu sel semesta raya
ataukah memang pangeran mahkota dari sang maharaja?
USAHA MEMBEKUKAN WAKTU
Kita semua menyangka
Telah berhasil memerangkap waktu
Menyekapnya di kalender, memberikannya nama
Dan menghitung-hitung usianya
Tetapi, seperti arloji dalam lukisan Salvador Dali,
Waktu selalu lolos dari lubang kunci
Dan bagaikan tali-tali yang lentur terentang
Ia memanjang memendek bagi masing-masing orang.
Dan tiap-tiap kita, sendiri meniti di atasnya
Dari satu lubang gelap ke lubang gelap yang lain lagi
Melintasi jurang dalam kelam
Yang menganga seram dan hampa.
KENANGAN KANAK-KANAK
Telah kutelusuri kembali jalur hidupmu,
mundur ke tujuh puluh dua tahun lalu
yang seperti lembar halaman buku cerita
penuh gambar-gambar beraneka warna.
Di situ kutemukan kisah putri salju, telaga yang menggenang
dari sebatang lidi, malingkundang si pendurhaka, dan oedipus
yang berkelana serta ramayana dan mahabharata.
Juga cita-cita jadi presiden, mimpi tentang seorang nabi
yang dahaga dan terluka, angan superman,
dan pilot pesawat tempur yang perkasa,
hingga rasa kangen yang mendesak aneh untuk pertama kali
yang telah memaksamu menguntitnya setiap pulang sekolah
seperti kucing yang setia.
Dan juga,
basah pada celana
yang membuatmu resah malu ketika bangun pagi.
Sekarang engkau di sini : cemas menyilangi penanggalan
di dinding kamar yang dingin memar oleh lembab hujan,
dan gemar mendengar lagu-lagu lama serta membaca kisah
dengan tema-tema sederhana : semua yang sekedar gema,
bukan gempar gempa. Juga suka duduk termangu di ambang pintu,
tetapi bukan untuk menunggu seorang tamu
yang lama diimpikan bertemu,
karena telah lelah dan tahu : harapan hanya menipu
dan semuanya cuma semu.
Tetapi tak usah bersedih hati : tak ada mimpi
yang mati, tak ada angan yang tumbang
karena di sejumlah dunia yang lain sama sekali, saat ini,
engkau adalah semua yang pernah kau inginkan.
Sesuatu yang kini dikenangkan, dahulu telah menjadi riwayat
yang memilih berpisah dari kenyataan sehari-hari
kemudian berjalan merentangkan sejarahnya sendiri.
Sekarang, di sana, engkau adalah seorang presiden yang
telah dikalahkan, superman yang memilih kerja wartawan lalu menikah
dengan Lana, serta seorang pengiring nabi yang sejuk di tengah api.
Juga ada satu pesawat tempur jatuh kena gempur lalu terkubur
di tengah samudera yang mengabur dalam kabut.
Jadi, tak usah takut dan berduka. Mengapa tertunduk kuyu dan
menghela lesu. Berbaringlah setelah menutup pintu, menurunkan tirai,
dan memadamkan lampu. Tenanglah, tak akan lama perihnya.
Hanya sebentar saja. Telah kubaca semuanya.
Betapa nafasmu yang terengah kian perlahan tertahan-tahan
bersama tubuhmu yang terbujur lemas di pembaringan kayu
semakin melecut gemasku untuk melucuti hidupmu.
Kita akan pergi ke tengah samudera jauh,
menengok pilot pesawat tempur yang terjatuh itu ;
Kasihan, ia kesepian di sana,
hanya berteman ikan-ikan yang suka tak acuh
Ayo,
Nii-na bobo…
ooo nii-na bobo…
NYANYIAN AKHIR TAHUN
Mendung memang menggantung bagai helai-helai tirai tua
yang mengandung rahasia kemurungan di setiap lipatannya.
Tetapi geriap cahaya tak terbendung
meskipun cakrawala lindap bagai pelupuk perempuan,
mengembung oleh sisa kantuk persetubuhan malam.
Rebahkanlah kepalamu yang lelah pada dingin bantal.
Kelam ini sebentar dan tak mungkin kekal;
tak lama lagi badai selesai dan akan kau jumpai
pelangi yang kau kenal beserta seri bunga-bunga
yang basah gemerlap oleh basuhan hujan.
Lihatlah mereka pun telah bersiap
untuk sebuah pesta.
Tentu, segalanya akan kembali:
yang pahit dan yang manis,
pastilah berlalu.
Selalu begitu.
PENYERAHAN
Engkau indah
Bagaikan keindahanmu
Yang begitu indah
Telapakku gemetar
Memahat hasrat
Pada pelosok sosokmu
Yang bercahaya
Engkau indah
Bahkan lebih indah
Dari keindahanmu
Pesonamu menyulutku
Mulutku megap
Menyalalah doa
Paling rahasia
Engkau indah
Kepunglah aku
Dengan pelukanmu
Kotaku telah takluk
Jatuh dengan suka cita
Sebelum engkau
Mengetuk gerbang
Bagaikan keindahanmu
Yang begitu indah
Telapakku gemetar
Memahat hasrat
Pada pelosok sosokmu
Yang bercahaya
Engkau indah
Bahkan lebih indah
Dari keindahanmu
Pesonamu menyulutku
Mulutku megap
Menyalalah doa
Paling rahasia
Engkau indah
Kepunglah aku
Dengan pelukanmu
Kotaku telah takluk
Jatuh dengan suka cita
Sebelum engkau
Mengetuk gerbang
AKU DAN LABA-LABA
Laba-laba membangun sarangnya
Di jalur yang jarang kulalui
Itu artinya
Laba-laba cukup tahu diri
Untuk tidak membangun sarang
Di jalur yang sering kulalui
Dan bahwa aku harus melewati
Jalur yang memang sering kulalui
Atau kembali menggunakan
Jalur yang jarang kulalui itu
Bila tak ingin ia
Merajut jaringnya
Di situ
Aku rasa
Aku dan laba-laba
Kini lebih bisa
Saling memahami
Di jalur yang jarang kulalui
Itu artinya
Laba-laba cukup tahu diri
Untuk tidak membangun sarang
Di jalur yang sering kulalui
Dan bahwa aku harus melewati
Jalur yang memang sering kulalui
Atau kembali menggunakan
Jalur yang jarang kulalui itu
Bila tak ingin ia
Merajut jaringnya
Di situ
Aku rasa
Aku dan laba-laba
Kini lebih bisa
Saling memahami
DARI TIGA (JUDUL) LAGU KLASIK
1. Balada Si Malang Adelina
Senja begitu pelan
Dan di lorong lama
Ada Adelina berjalan
Dan dengan tangannya
Menyisir dinding lumutan
Ingin ia rasakan kembali
Dingin waktu menghijau beku
Senja begitu pelan
Dan di lorong lama
Ada Adelina berjalan
Menyusur kenangan
Yang terjulur panjang
Dan lembut basah
Bagai lidah impian
Senja begitu pelan
Dan di lorong lama
Ada Adelina berjalan
Dengan senandung rendah
Sebelum tertegun bisu
Di kelok turunan itu
Di depan rumah yang dulu
Senja begitu pelan
Dan di lorong lama
Adelina akan terus jalan
Meski bocah di jendela
Hanya berseru-seru
Ibu, Ibu, itu ada hantu
Berhenti di depan pintu
2. Romansa Asmara
Ia telah disembelih
Oleh kelembutan
Jemari cinta
Terbujur putih
Seperti redup pesona
Pagi yang perawan
Di kantungnya mimpi
Yang dititipkan
Sisa rembulan
Perjaka telah pergi
Dengan kereta ke utara
Ya, ke utara
Tanpa pernah tahu
Tak perlu lagi
Kembali
3. Untuk Elisa
Usiamu masih belasan, Elisa
Tetapi cumbumu
Sungguh tak berbelas kasih
Jantungku yang malas
Tercerabut, kau renggut
Tanpa ampun
Amboi, gairah dara
Penuh bara
Tanpa pura-pura
Usiamu belasan Elisa
Dan esok lusa
Mungkin namaku terlupa
Belia kisahmu penuh gelisah
Belum tuntas kucatat
Hingga kita terpisah
Tak apa
Aku tak meminta
Dan kau pun tak mencinta
Hanya kecuplah sekali lagi
Bibirku yang kering
Dan memutih ini
Senja begitu pelan
Dan di lorong lama
Ada Adelina berjalan
Dan dengan tangannya
Menyisir dinding lumutan
Ingin ia rasakan kembali
Dingin waktu menghijau beku
Senja begitu pelan
Dan di lorong lama
Ada Adelina berjalan
Menyusur kenangan
Yang terjulur panjang
Dan lembut basah
Bagai lidah impian
Senja begitu pelan
Dan di lorong lama
Ada Adelina berjalan
Dengan senandung rendah
Sebelum tertegun bisu
Di kelok turunan itu
Di depan rumah yang dulu
Senja begitu pelan
Dan di lorong lama
Adelina akan terus jalan
Meski bocah di jendela
Hanya berseru-seru
Ibu, Ibu, itu ada hantu
Berhenti di depan pintu
2. Romansa Asmara
Ia telah disembelih
Oleh kelembutan
Jemari cinta
Terbujur putih
Seperti redup pesona
Pagi yang perawan
Di kantungnya mimpi
Yang dititipkan
Sisa rembulan
Perjaka telah pergi
Dengan kereta ke utara
Ya, ke utara
Tanpa pernah tahu
Tak perlu lagi
Kembali
3. Untuk Elisa
Usiamu masih belasan, Elisa
Tetapi cumbumu
Sungguh tak berbelas kasih
Jantungku yang malas
Tercerabut, kau renggut
Tanpa ampun
Amboi, gairah dara
Penuh bara
Tanpa pura-pura
Usiamu belasan Elisa
Dan esok lusa
Mungkin namaku terlupa
Belia kisahmu penuh gelisah
Belum tuntas kucatat
Hingga kita terpisah
Tak apa
Aku tak meminta
Dan kau pun tak mencinta
Hanya kecuplah sekali lagi
Bibirku yang kering
Dan memutih ini
KETULUSAN IBU
Suamiku,
Mungkin kau akan merebut anak ini
Lalu menyebutnya dengan namamu
Barangkali pula kalian akan sempurna
Melupakanku
Aku lepaskan dengan ikhlas, meski jelas
Sepasang kelopak air mata akan mengembang
Di remang pelupukku
Berbelaslah, aku akan berpura-pura
Tak pernah ada
Setelah peluk terakhir ini
Telah kumiliki apa yang tak akan pernah dapat
Kubagi dengan kalian:
Perih nikmat ketika keindahan datang menikam
Menghunjam berulang
Jerih payah berbulan menjadi inang bagi pesona
Yang mendekam di liang rahim ini
Jerit pedih tertahan antara hidup mati
Ketika ia menyeruak lengkingkan tangis pertama
Dan redup kantuk turun selubungi tubuh sesudahnya
Yang membawaku lelap pulas dalam puas senyuman
Itulah semua kelezatan yang melekat
Bertahan pada sepanjang badan
Terkenang selalu oleh jemari tanganku
Bahkan teringat oleh keringat
Dan nafas hayatku
Ah, andaikan mungkin berbagi
Ingin kuberikan pula apa yang muskil
Kau miliki ini
Biar seutuhnya bisa penuh bahagiamu,
Pembacaku
Mungkin kau akan merebut anak ini
Lalu menyebutnya dengan namamu
Barangkali pula kalian akan sempurna
Melupakanku
Aku lepaskan dengan ikhlas, meski jelas
Sepasang kelopak air mata akan mengembang
Di remang pelupukku
Berbelaslah, aku akan berpura-pura
Tak pernah ada
Setelah peluk terakhir ini
Telah kumiliki apa yang tak akan pernah dapat
Kubagi dengan kalian:
Perih nikmat ketika keindahan datang menikam
Menghunjam berulang
Jerih payah berbulan menjadi inang bagi pesona
Yang mendekam di liang rahim ini
Jerit pedih tertahan antara hidup mati
Ketika ia menyeruak lengkingkan tangis pertama
Dan redup kantuk turun selubungi tubuh sesudahnya
Yang membawaku lelap pulas dalam puas senyuman
Itulah semua kelezatan yang melekat
Bertahan pada sepanjang badan
Terkenang selalu oleh jemari tanganku
Bahkan teringat oleh keringat
Dan nafas hayatku
Ah, andaikan mungkin berbagi
Ingin kuberikan pula apa yang muskil
Kau miliki ini
Biar seutuhnya bisa penuh bahagiamu,
Pembacaku
Subscribe to:
Posts (Atom)
SAJAK JALAN PAGI BERSAMA
Pagi seputih seragam baru dan sesegar rambut basah para bocah ketika kita berjalan menyusur tembok yang mengendapkan waktu di perkampu...
-
STOPPING BY WOODS ON A SNOWY EVENING Whose woods these are I think I know. His house is in the village though; He will not see me stopping h...
-
PEREMPUAN 1. Beri aku cermin kaca yang rata tak retak atau telaga bening yang tenang airnya atau genangan embun di telapak tangan bunga...