Saturday, June 17, 2006

SAJAK-SAJAK NEWCASTLE


Photo Courtesy of
Joseph Rueben Elsinger, Iowa, USA

1.
Burung robin, wahai burung robin
Adakah engkau juga lapar dan dingin?
Mari ke sini,
berbagi roti ini
bila kau pun ingin.

2.
Selantun lagu
Menyelundupkan sendu-
Bagaimana bisa
Ia begitu berbisa?
Di ruang hening
Begitu bening
Denting dawai
Dan lengking piawai
Tak terbendung
Dan ku tak terlindung
Jadi ngiang
Di liang kenangan
Mengembun berlinang
Di pelupuk tergenang
Tapi dengan tawa ku berdusta
Pasti kerna debu hanya!

3.
Seperti tujuh puluh ekor kucing
Yang menangis ke bulan pucat
Badai Utara bersiut melengking
Dan udara tersayat-sayat

4.
Alangkah sedihnya
Terasing jauh dari yang dicinta
Demi memberi mereka
Sekedar bahagia

5.
Dasar hidup di negara kaya
Tak ada toko kelontong dan penjaja
Harus ke mall bila berbelanja
Bermobil pula mesti berkendara

6.
Begitu banyak kebaikanmu
Tersembunyi dari mataku
Sebanyak keburukanku
Tertutupi dari tatapanmu

7.
Sedihnya, untuk meyakinkan kebenaranku
Aku mesti membuktikan kesesatanmu
Pedihnya, untuk menunjukkan kemuliaanku
Aku harus mengumumkan kehinaanmu

8.
Di timur kutemui si timur
Yang lebih barat dari si barat
Di barat kujumpai si barat
Yang lebih timur dari si timur

9.
Di sepanjang jalur jalan setapak, harum merebak
Dari gerumbul pinus dan ekaliptus yang berdiri tegak
Ini senja ketiga di akhir musim panas
Memeluk dan menciumnya, masihkah pantas?

10
Hujan musim panas jatuh
Bertebaran tanpa suara
Tak kutahu senja pun luruh
Hanyut kemana hari kan bermuara

Hujan musim panas jatuh
Bertebaran tanpa suara
Seperti sunyi air mata luluh
Sedan hanya berdebaran dalam dada

11
Setelah teduh gaduh berpuluh burung
Tinggallah rentang kabel terbengkalai murung
Jalan panjang berkelok sepi
Diam menghitam dan bermimpi

12
Hidup hanya sesaat lewat memang
Sesingkat jingga senja yang singgah
Bersijingkat di jendela menanti remang
Hingga malam menghapusnya musnah

13
Kutahu musim akan berlalu
Dan aku akan kehilangan kamu
Meskipun aku tak akan pernah mengaku
Kenangan badanmu menggenang di tanganku

14.
Dadanya tengadah ramah menadah jamah
Pinggulnya meliuk memanggil peluk
Tetapi jangan mendekat biar selangkah
Desisnya berbisa, tegak siaga mematuk

15.
Kita berdua sama asing
Dan di sini kitapun hanya singgah
Proton elektron masih akan terus bergetar berpusing
Tetapi sebentar: aku enyah, engkau entah

16.
Bunga rumput kuning di halaman depan
Suka mengucap selamat pagi
Bunga semak ungu di jembatan putaran
Gemar menyapa senang berjumpa lagi
Tetapi bunga melati di tepian jalan
Genit menggoda: putih menyalak, menyala wangi

17.
Engkau pergi 59
Sekarang aku 32
Jika harus menanti
27 tahun lagi
Untuk pergi,
Alangkah lama
Saat menanti
Kembali bersama!

18.
Empat puluh hari
Engkau menempuh upacara
Menyempurnakan kematianmu
Empat puluh hari
Dibasuh nikmat sakitNya
Disepuh ria deritaNya
Empat puluh hari
Diselubungi kecup peluk
Diguyuri yaa-sin dan talkin
Empat puluh hari pula
Lampu kamar berkerjap
Menyaksikanmu terbaring senyap
Dengan lidah yang kelu
Namun tetap jelas lengkap
Mengucap takbir membalas salam
Dan pohon mangga di halaman
Melepaskan bebuah menanggalkan dedaun
Mengerontang dari pangkal ke pucuk
Ingin mengiringi
Selama empat puluh hari
Dan botol parfum jatuh sendiri
Menghamburkan harum
Namun menebarkan nujum
Di hari keempat puluh
Tubuhmu berpeluh
Namun tak terdengar keluh
Telah kering pula
Keringat ringan di kening
Samar sekuntum senyum
Kau sungging
Sebelum perlahan
Mata pejam sempurna
Empat puluh hari
Dari mimpi halaman runtuh
Dan almarhum nenek
Berkabar tentang pohon
Di hari keempat puluh
Dalam musim terik
Air pun berlimpah
Senja berintik
Dan malam padam
Setelah engkau pergi
Tak berjanji kembali
Dan seperti masa kanak lalu
Sehelai bajumu menemaniku
Menunggu waktu
Di jendela hujan termangu
Empat puluh hari
Engkau mengajari
Sabar dari hati
Menyempurnakan
Mati.

19.
Bersajadahkan tanah
Bongkah batu
Sujud tanpa sudah

20.
Kelopak bibir pencinta
Tawarkan anggur
Paling garang

21.
Seperti telaga
Membayangkan bulan
Kenangan akanmu
Pada dasar dadaku
Dalam tersimpan
Di wajahnya terkadang
Riak guncang mengacak
Hingga retak paras perak
Belah dan berserak
Atau akan ada awan
Datang menghadang
Hingga pandang padamu
Padam hilang terhalang
Namun setelah itu
Usai perahu henti melaju
Atau angin lewat berlalu
Air pun akan tenang
Hening syahdu tanpa lagu
Bagai intan ia lihai berkilatan
Purnama pula terbabar terang
Sempurna, indah cemerlang

22.
Seluruh dirimu
Adalah aurat keramat bagiku
Kelemahanku mengharamkanku
Untuk memandang wajah di balik cadar agung
Hijab hidup menggantung
Menutup tatapku yang nanap senyap
Bila tiba saatnya aku terbujur
Di peraduan maut
Jangan biarkan rindu
Tak bersambut

23.
Bertahun-tahun aku mengandung kata
Memperanakkan makna
Tetapi pena yang telah semena mengguratku
Tak pernah kembali membalas rindu

24
Hangat hawa menggeliat di bawah dada
Saat kuhirup nafasmu yang harum
Bulir embun berkilauan di pelupuk rambutmu
Gugur berhamburan ketika kusibakkan

25.
Jarak hari kian singkat
Telapak tangan kaki makin mendingin
Tak akan mungkin lagi kutulis surat
Pedihku kutitipkan di rintih angin

26.
Bila musim semi tiba nanti
Kepada bunga-bunga mekar berseri
Akan kukatakan:
Kenapa pula mau kembali kalian?

27.
Dari ngarai kecil menghampar di bawah sana
Suara hewan malam terdengar semarak membahana
Dengan takzim kumenabik: saya hendragunawan
Tak berniat jahat, hanya lewat jalan

28.
Anak siapa yang tertawa menggoda
: Gagak ngakak ternyata
Di dahan pokok kemboja

29.
Musim gugur telah tiba
Sampai jumpa
Bunga-bunga

26.
Semalaman pasti ia telah lama menunggu
Kulihat jejak nafasnya di kaca jendela
Bergegas ke depan kubuka pintu
Jalan masih lengang, namun kabut tiada

30.
Kami berdua bermain di halaman sore hari
Rambutnya panjang sebahu disisir berponi
Dari rumah panggung mengalun dendang lagu india
Aroma kue dipanggang ibunya mengharumi udara

31.
Kabut dingin telah pergi
Meluncur lalui jalan sepi
Siapa gerangan semalam tadi
Turut dibawanya pulang kembali?

32.
Kekasihku yang baik hati
Jika boleh memilih siapa mesti mati
Aku mau kau yang lebih dulu pergi
Tapi tolong jangan salah dimengerti
Bukan berarti aku hanya mementingkan diri
Atau bahkan tak mencinta lagi
Justru karena aku tahu pasti
Rasa sakit karena ditinggal sendiri
Lebih perih dari derita meninggalkan dunia ini
Dan karena kasihku padamu sejati
Tak akan kurelakan kau disiksa sepi
Jadi biarlah engkau dahulu yang kembali
Nanti aku menyusul ke hadirat ilahi
(Meskipun memang ku tak berjanji
tiada akan kawin lagi)
Demi cintaku yang tulus murni

33.
Tak ada polisi mengintai di tiap perempatan
Burung-burung bebas hinggap di bahu jalan
Bahkan tilpun umum pun ngasih kembalian teliti
Padahal dahulu kala ini tempat bagi napi

34.
Seharian dibakar surya
Langit biru memerah bara
Lalu leleh ke arah cakrawala

35.
Bila kau diberi kebaikan
Balaslah dengan layak sepadan
Bila kau balas dengan kelebihan
Itu tanda keutamaan

Bila kau diberi keburukan
Balaslah dengan harus sepadan
Bila kau beri pemaafan
Itu tanda kemuliaan

36
Bukit-bukit lalu membujur tidur
Berangkat kabur dalam alun beribu biru
Angin musim gugur pun datang meluncur
Pada jejaknya dedaun melayang, laun dan bisu

37
Matahari telah pergi
Bintang-bintang belum kembali
Di antara bebatang pohon yang samar sunyi
Cahaya runduk, menyamar sembunyi

38
(Nyomnyom & Jimpe)

Dua puluh tahun lebih telah berlatih
Menata kata tiada kunjung fasih
Hampir seribu sajak telah saya tulis
Tetap saja ada yang tak tuntas habis
Dan membaca sajak-sajak terbaik kalian
Malu dan cemburu membaur perasaan
Ah, ini dia yang senantiasa kurasa
Beginilah caraku mengatakan semestinya;
(Haruskah mengulang kembali ke dasar
Dari alifbata lagi mulai belajar?)
Andaikan saja saya yang lebih dahulu
Merebut raut mereka dengan ujung penaku!

39
Bermilyar tahun
Bumi dipersiapkan
Agar pantas dihuni insan
Dan dalam hitungan hari saja, kita
Mampu menyusun rencana yang sempurna
Untuk tuntas menghancurkannya

40
Dari kilau ke kilau
Kau halau Ibrahim
Ke makrifah
Dari galau ke galau
Kau halau aku
Ke magfirah

41
Bergantungan awan
Mengantungi hujan
Bergulung ombak
Mengandung badai
Tapi kasihku menjauh
Tak kunjung berkabar

42
Daun-daun tahun gemetar
Dijamah jemari angin waktu
Dan dari celah-celah teduh
Cahaya keabadian memancar jatuh
Berkilau sinarnya, menyilaukan mata
Kala kurebahkan kepalaku
Di pangkuanmu

43
Martabak yang kubeli di Pasar Daya
Tersaji di meja untuk berbuka puasa
Melihatnya, Ibu tertegun sendu lalu tersedu
“Ini pembuka kegemaran Bapakmu…”
“Ma, jangan menangis, kan masih ada saya!”
Kataku berpura-pura tabah dan ceria
Tetapi hatiku telah melesak naik ke tenggorokan
Dan mata yang membasah sengaja kukedipkedipkan

44
(Aan)

Sekepal jantungnya ungu menggantung murung
Di ringkih rongga dada berulang meliang luka
Ia telah dengar kepak malam yang kian hingar
Keluhnya hanya: baru kutuntaskan halaman pembuka!

45.
Aku tak takut
Aku tak takut akan kiamat
Karena di penampungan pengungsi
Masih ada seorang Ibu
Nampak panik tertatih setengah berlari
Mencari-cari bayinya untuk disusui
Dan di hutan, hewan pun melangkah
Perlahan dan hati-hati
Demi tak menginjak mati
Anaknya sendiri
Karenanya aku tak takut
Aku tak takut akan kiamat

46
Rumah-rumah temaram meringkuk tentram
Tinggal tiga lampu jalan masih tegak terjaga
Lidah hawa dingin lekat menjilati punggungku
Namun kenangan tawamu menghangatkanku juga

47
Tak henti-henti gelisah muara
Ingin mengisahkan rahasia
Bening matair mengalir hening

48.
Sebusur pelangi meluncur
Menyusuri lengkung punggung langit
Dua cerobong pabrik baja, menegang di bawahnya

49
Setangan kelam, lembab dan basah
Diulurkan malam, perlahan menyeka
Sembab merah pelupuk senja

50
Sulur-sulur air dijulurkan laut
Pada tiap pagutannya, pantai
Yang tadi, menghilang pergi

51.
Dua jam lamanya berjalan
Menyusur jalan raya
Menempuh hutan kota
Membelah lembah
Dan mendaki bukit
Dengan telapak tersayat
Dan otot terbetot
Hanya untuk mendengar
Hingar laut jauh berlabuh
Lalu berkabar lewat debur
Di bawah sana

52.
Cita-citaku tak tinggi
Tak melampaui rumput teki
Tak lebihi seayun langkah kaki
Yakni melihat buku kumpulan puisi
Terbit meskipun satu edisi
Dan itu bertahun lalu telah terpenuhi
Bahkan dengan bonus beberapa antologi
Mau apa lagi?
Sebagai lelaki yang sukses (hihihi)
Urusan dengan dunia telah beres kini
Barangkali sudah saatnya berbenah diri
Bersiap-siap berangkat mati

53.
Di suatu tempat teramat rahasia
Dua pria bertemu untuk bercumbu mesra
Yang satu klimis dan bertampang agak tolol
Yang lain brewokan sangar dengan dahi menonjol
Detil pertemuan tak usahlah dicerita
Demikian tak wajarnya cinta sesama pria
Tetapi ini pertemuan terakhir kali
Meskipun mereka berikrar sehidup semati
Setelah bermesraan mereka harus terbang
Kembali ke ibukota yang sedang tegang
Masing-masing mereka besok pagi
Harus mengumumkan PD III di televisi
Karena yang satu presiden negara adikuasa
Yang lain pemimpin negara paling durhaka

54
Allahku yang baik
Tolong jaga papa
Sekarang malam hujan
Beri ia naungan teduh
Yang kering, hangat, dan terang
Juga bidadari serupa mama
Karena papa sayaaang banget sama mama
Sedangkan mama belum bisa menemani
Kan, mama masih mau menanak nasi,
masak dan nyuci, juga bersih-bersih rumah
Yang sekarang sepi dan jarang didatangi tamu
Padahal mama sering kedapatan menangis
Sembunyi-sembunyi
Kasihan mama, loh, Allah
Saya juga sayaaang banget sama mama
Oh ya, Allahku yang baik
Kembali ke soal papa tadi
Mohon sampaikan salam kangen
Dan kecup peluk untuknya
Trus bilangin, kalau datang malam-malam
Jangan hanya saat saya tidur
Dan cuma sebentar
Soalnya beberapa malam lalu
Ia datang dan duduk diam
Membelai-belai kepala saya
Saya setengah mengigau
Hanya sempat bilang
Saya sayang papa
Tapi pas buka mata
Dia pergi
Tanpa berjanji
Kapan akan kembali lagi
Terima kasih
Ya, Allahku

55.
Seekor kecoak yang malang
Kutemukan di lantai terlentang
Bermaksud untuk berbuat baik
Kembali tubuhnya kubalik

Eh, bukannya nampak berterima kasih
Ia malah bersungut-sungut menyisih
Menepi ke tempat yang lebih sepi
Lalu rebah terlentang lagi

Kedua sungutnya bergetar sebentar
Kaki-kakinya menekuk pelan dan sabar
Semut-semut yang semula malu-malu
Menyerbu maju semua rubungi tubuh kaku

Ah, bahkan kecoak coklat kemerahan ini
Mempersiapkan diri untuk menikmati mati
Mengkhidmati saat-saat terakhir kalinya
Rasa sakit memetakan tepi-tepi tubuhnya

56.
Mereka yang di tepi jejari
Jauh berjarak, saling mencaci
Mereka yang menuju sumbu
Dekat menyatu, sama mencumbu

57.
Bintang-bintang pun akan pupus
Kota akhirnya bisa lena sebentar
Bahkan para insomnia
Akan undur pada sejenak tidur
Namun lelampu kota di bawah sana
Masih nyalang menyala sepanjang kelam
Memastikan matahari
Sudi kembali lagi
Hari ini

58.
Kami menimbun sumur-sumur sendiri
Memilih minum dari kemasan plastik
Air yang disedot dari sumber
Yang tak kami kenal

Kami menerabas kebun dan lembah
Lalu memamah sayur buah
Mengunyah daging, datang
Dari padang-padang entah

Alangkah sepinya meja makan
Lebih sunyi dari lautan
Sebelum dilayari bahtera rempah
Dan madu dari 3000 tahun lalu

Kekasihku, kalaupun aku asing
Bahkan dari diri dan tubuh sendiri
Setidaknya berjanjilah tak akan berpaling
Hingga usai piring kita jelajahi

59.
Ada koran minggu pagi edisi puisi?
Tanyaku pada penjaga kios itu
Di sore hari rabu

60.
Seorang wanita
Dengan mata bercahaya berkata
Selamat malam dan sampai jumpa
Sentosa sampai tiba
Di tempat tidur

Bagaimana ia
Bisa begitu pasti
Bila tidak ikut
Bersama?

61.
Aku cuma pejalan lalu
Lagi keluyuran di jalur-jalur tubuhmu
Berbekal sobekan peta kota
Dari buku telepon dan secarik karcis
Hampir daluarsa. Kembara bakal kekal
Dalam sendiri. Asing namun seolah
Kau kenal. Alamatku hanya
Hotel singgahan berikut.

62.
Tina, mari kita bercinta
Telah tujuh saluran kutelusur
Untuk temukan kamu
Ya, aku memburu kamu
Aku mau kamu malam ini,
Betinaku.
Kita hanya butuh gelaran
Untuk berkenalan, bukan.
Lalu umur, kelamin, dan lokasi
Untuk mulai beraksi
Baku cumbu. Tanpa
Mau tahu masa lalu. Tanpa
Berharap pada masa depan. Tanpa
Malu dan segan. Hanya
Seleret noktah piksel
Yang selalu bergeser pecah. Hanya
Sederet bit elektronik tercacah
Cahaya pada cakram magnetik.
Akan terburai usai
Dengan sekali klik
Sebentar lagi
Selebihnya tak ada
Tiada beda
Tayangan insan
Pada pandangan Tuhan

63.
Datanglah ke rumahku, sayang
Di halaman belakang, ada toilet lama
Terbengkalai hingga hampir membangkai
Namun di ambangnya yang tinggal rangka
Ada dua, ya, memang hanya dua
Bunga semak berwarna jambon
Sedang mekar dengan indahnya
Bagai kita berdua
Di tengah dunia
yang tua

64.
Sahaya hanya asimtot
Terus menelusuri sepanjang sumbumu
Mendekat menghampir begitu ngotot
Namun ditakdirkan tak menyatu

65.
Hawa dingin menggerus ruas jemariku
Hanya dengan hembusan uap dari mulutku
Mesti kutuliskan geletar puisi di jendela kaca
Meski kutahu persis, sebentar hapus juga

66
Dengan suara membelai
Bernyanyi elvis presley:
“Orang bijak berkata
Hanya si pandir yang tergesa”
Benar; 14 tahun tak terasa sudah
Si pandai ini menimbun gundah!

67.
Setelah menampar putranya
Ibu itu duduk
Membelai lembut putrinya

68.
Dingin ubin menombak ubun
Basah menggenang di ranjang
Tinggal tungku yang masih setia

69
Di halaman belakang
Yang telah lama terbengkalai
Bunga-bunga kuning
Makin menguning kuningnya
Ketika kukunjungi
Pertama kali

70.
Jenjang dalam beragama
Ada lima ragamnya
Jadi muslim yang pertama
Jadi mukmin kedua

Ketiga, muhsin yang disaksikan
Keempat, muhsin yang menyaksikan
Hingga datang keyakinan
Buah dari penghambaan

Penyembahan bukan jual beli
Semata selamat dari jurang api
Karena perjamuan hanya tersaji
Merayakan pertemuan yang dinanti

71.
Di kafe yang hampir tutup
Kita singgah melengkapkan kenangan
Yang penghabisan memanggil
Meski nyaris kuyup dan gigil
Oleh hujan penghujung tahun
Yang meraung di paruh malam
Sejak menjejak senja
Cangkir kopi erat mendekap hangat
Cengkraman jemari hitam kita
Sloki teh keemasan boleh cemas menanti
Menawarkan tajam pahitnya
Tetapi pramusaji yang manis itu
Masih tak kunjung letih
Tersenyum ramah seolah menyajikan janji
Namun kafe memang lebih lengang waktu itu
Dengan cahaya yang telah memberat
Dari lampu yang setengah melamun
Mungkin juga merabun buta oleh kantuknya
Namun kuta yang kelam dan tua
Masih senantiasa bertahan dalam setia
Berbisik dari balik gerimis yang tempiasnya
Memburamkan kaca jendela
Membiaskan pendar warna
Seakan ingin membersihkan cerita
Dari dusta di brosur wisata
Ah, sengkarut dunia yang renta
Jerit tengkar derita insan yang fana
Diselingi teriakan para maniak
yang gemar merakit bencana,
Dan percaya punya hak
rencanakan kiamat lebih mula
Sedangkan kita kerap hanya terpana tanpa daya
Seperti sartre yang sibuk hilir mudik
Di dalam tempurung kepala
Antara ada dan tiada
Juga beatles yang kali ini entah mengapa
Agak memelas sayu bernyanyi
Dan sajak-sajakku yang murung sunyi
Dua lelaki di sudut ruang temaram itu
Sejak tadi bertukar kisah dengan suara rendah mesra
Adakah mereka sepasang kekasih yang sedang kasmaran
Dan tengah menyusun janji-janji
Tetapi kuta masih berbisik juga
Pun ketika seorang pria
Bergegas pergi menunggangi vespa butut
Setelah menyerahkan heroin
Di sela lipatan majalah
Berapa sumbu nikotin sudah disulut
Membatin di pembuluh darah dada
Ini malam terakhir sebelum penerbangan kedua
Mari kita cari ari di selarut ini
Hujan telah berhenti sedari tadi
Maka bertiga di tepian kolam yang masih baru birunya
Kita pun telentang haru menyaksikan
Konstelasi bintang dan samar kabut galaksi
Di hujung jauh rentang bimasakti
Menelanjangi nanar masa lalu, ranting silsilah,
Membiarkan mimpi-mimpi terhuyung kesepian
Lalu termangu lesu di bibir tidur memutih letih
Dari fajar dini hari tinggal sebentar lagi
Ari, rudi, biar sepanjang bentangan 1000 tahun
Ini kali yang pertama sekaligus terakhir
Kita bisa bersama
Begini

72.
Gadis terlalu remaja, begitu manis manja
Gemar mengunci diri ia dalam lembar diari
Betah menyepi sehari di sudut kamar puisi
Mari tamasya sama saya, berdua saja

73.
(sebuah kuliah dalam hal nasionalisme)

Tak pernah akan cinta berdiam betah
Di tanah dimana percaya beserta setia
Telah jadi entah

74.
Bulan laut mati
Surut aku
Kembali padam-
Mu

75.
Para pembunuh telah kembali pulang
Tubuh-tubuh kukuh bersimbah darah
Mari kita rayakan dengan pesta panjang
Tahun depan anggarannya harus ditambah

76.
Lengkung punggungmu begitu murung
Menggugahku untuk mencurahinya
Dengan anugerah ciuman yang dalam
Tak kunjung berujung
Rebah dan rekahkan dadamu, dinda
Taruhkan jantung-hatimu
Pada genggaman kedua telapak tanganku

77.
Kata-kata ini hanya anak haram
Lahir dari persetubuhan kelam dengan malam
Karena musim telah mengusir dari beranda
Dan angin beku memaku tanda di jendela

78
Jalan bergegas melintasi taman—
Kopi dalam gelas kertas di tangan
Telah keburu dingin

79
Tinggal sendiri
Ia nyalakan lampu
Mengusir dingin

80
Yang tak terperi
Coba kukata
Moga kau baca
Yang tak tertera

Membayang gemetar
Dari marjin ke marjin
Ingin yang ngembara
Demi sebuah amin

Ia diburu berlari
Sepanjang jejalur larik
Antara bebukit bait
Oleh malam dibidik

Jika suatu waktu tiba
Ia mengetuk pintu
Akankah kau bukakan
Untuknya hatimu

81
Tak ada yang luput
Dari liputan laut

Hingga ke jantung kota
Ia datang menggelombang juga

Awan-awan yang melintas berarak
Anak-anak arusnya perlahan berombak

Mendung yang menggantung bagai gunung
Gelombangnya bergulung tiba mengurung

Bongkah kelabu pecah, hujan jatuh tercurah
Mengaliri peparit kulit, alangkah asin kecap lidah!

(Gumpal tanah juga akan membekap asin
Menyumpal mulut mayat membiru dingin)

Bagai cengkram maut
Tak ada yang selamat dari terkam laut

82.
Terulur menirai helai-helai cahaya
Jatuh menggantung pada cuaca
Bagai rentangan abadi
Kemah-kemah sunyi
Hamparan gemunung menjulang
Pucuk-pucuk puncak menghilang
Menyatu putih salju
Dengan langit musim beku
Jika kutiba di sana
Akankah pula lebur bersama?

83
Yang Hakiki
Jejakkan kaki
Pada sebutir debu
Dan berlaksa galaksi

Yang Hidup
Tiupkan nafas
Pada bulat putih telur
Dan tangis pertama bayi

Yang Indah
Sekilas bercermin
Pada sebaris puisi
Pada seuntai nyanyi

Maka bak pemusik
Bersyair tanpa kata
Sayapun berlagu
Tanpa nada

84.
Waktu tidur semalam aku sadar
Engkau tengah menimang jiwaku
Menimbang-nimbang, masih pantaskah
sehelai ruh itu ditautkan dengan seutas nafas
pada badan yang tengah larut mendengkur pulas?

Meskipun pagi ini terbangun dingin dan bersin-bersin
Masih ingin juga kau kasihkan sehari lain
Lagi baginya untuk bersukur
Sembari terus mengukur
jarak tapak umur ke lapak kubur

Namun muhun maafkan
Jika kami masih juga
Sering lengah berkaca pada cerminmu
Serta salah membaca tandamu
pada telapak tanganku

84
Apa yang akan terjadi
Jika suatu ketika, lenin
Tiba-tiba bangun berlari
Keluar dari masoleum
Sembari meraung-raung
Pengawal merah, mengapa
Hanya tegak melongo kalian
Dengan pandangan kosong
Sedangkan aku setengah hidup
Melolong-lolong
Meminta tolong?

Apa yang akan terjadi
Bila suatu waktu, Tuhan
Menampakkan diri
Di tengah keramaian jalan
Seraya bersabda: cukuplah
Sudah segala aksi spekulasi
Kalian
Sungguh menyedihkan
Sekaligus membuatku jatuh kasihan

Apakah yang akan terjadi
Apa yang bakal kau lakukan,
Kawan?

85.
Tuhan menciptakan gus mahbub
Yang keluyuran ke mana-mana
Ngomong ngawur
Seolah ingin membubarkan
Agama

Tuhan juga menciptakan gus habib
Yang kemana-mana menghardik
Hampir ngamuk
Seakan yakin jadi satpam
Penjaga gerbang surga

Supaya gus mahbub tahu diri
Agar gus habib rendah hati

Kelak gus mahbub meninggal
Dipenggal kepalanya oleh gus habib
Dengan demikian telah lahirlah
Satu pahlawan dan
Seorang martir

Dan di yaumul kiam nanti
Dihadapan tahta Tuhan
Keduanya akan bersalaman
Lalu saling merangkul
Diiringi lagu kasidahan:
Perdamaian, perdamaian…

86.
Bulan secuil
Kait kail
Menggantung
Di kolam kelam
Kali ini
Giliran siapa
Dipanggil pergi
Dipancing
Mati
Malam gigil
Oleh tenung
Senandung
Burung hantu
Sukma simak
Dirasuk suka
Bagai gila
Geliat liar ia
Menyambar
Umpamakan ikan
Lupa sadar
Dimakan
Umpan
Bulan

87.
Pohon-pohon semakin kelam
Dalam lebat hijau yang tumbuh
Kian tebal pula kabut hutan
Bertambah kelabu putih

Tanah basah hanya mengigau
Saat siut udara dari utara
Menyentakkan dedaunan
Dari lamunan

88.
Mereka sama mau. Meski
Agak ragu. Dan juga masih malu
Mungkin pula takut. Tapi bagai mana lagi
Kembali, ular mendesiskan lupa dari kiri bahu

Raba merambat sengal tersendat. Telusur jemari
Halus menjalari jalur sekujur lembah, celah sela
Arus hawa hangat terasa. Sengatnya selubungi
Seluruh punggung. Di bawah pusat: memusar darah

89
Seperti engkau kukenal melambai dan memanggil
Menghampir sesampai tapal penanggalan, antara april
Dan mei, dengan sengal dingin menggigit gigil

Hingga hijau warna hutan kecil jadi bersalin
Kuning jingga ungu juga merah suasa, dan burung terdengar lain
Hingar melengking ke arah cuaca, namun lebih murung, mungkin

Meratap oleh ulah musim yang dikirim genapi
Upacara purba ini. Tetapi senyap sepimu menyekap surup hari;
Malam tumbuh kian larat lagi sedangkan redup pagi

Bertambah lambat, dari tiga kerat
Bulan yang sembab seolah selimut bulu, memberat
Disebabkan basah lembab dan gelap kelabu. Namun lihat,

Seperti ikal dedaun digelung surya
Tak mengeluh, bagai kelopak kemboja
Mengilaukan igal kilat terakhirnya

Saat tanggal berluruhan lalu terserak di tepian jalan
Aku pun akan tinggal tegak diam, membiarkan
Jemarimu kelak menelanjangi kelamku, kekal, perlahan.

90
Runcing lembing dingin
Melubanglubangi langit
Meliang bintang-bintang

91
Satu letusan senapang pecah membahana
Kerumunan burungpun bubar
Hingar beterbangan

Aku bergidik, bukan ngeri tapi

Betapa menjijikkan dan tak pantas
Suara itu terdengar di sini
Di tengah anggun agungnya alam ini

92
Telah datang berganti seribu lelaki
Bergilir menapak mendaki lalu pergi
Sisa setitik air mata bergulir jatu
Pelan berkilau di hitam hati batu

93
Berbuat baiklah
Sebab Tuhan telah berbuat baik
Atas dirimu
Dan sebagaimana Ia
Berbuat baik terhadapmu

Hindari kerusakan
Karena itu sungguh dibenci
Hindari kezaliman
Karena itu diharamkan
Bahkan oleh Tuhan
Atas dirinya sendiri

Dan tegakkan keadilan
Meski dalam kemarahan
Sesungguhnya penegak keadilan
Sekafilah dengan para nabi

Karena kasih sayang tuhan
Lebih mengatasi murkanya
Ampunan tanpa batas
Luas surganya pun
liputi langit bumi
Hingga hampir tak tersisa lagi
Tempat bagi jurang neraka

94
Telah diwasiatkan sang nabi
Sejak awal mula sekali
Tak ada yang abadi
Kekal dalam sakral
Biarpun agama

Islam akan kembali
Jadi asing dan aneh
Di mata manusia
Sehingga bagi pemegangnya
Ia ibarat bara merah
Dalam genggaman tangan
Iman akan meluncur
Dari kerongkongan
Keluar lepas bagai anak panah
Lesat beterbangan

Bahkan mushaf akan hapus
Dan kakbah akan rubuh
Dengan demikian
Hanya tersisa wajah Tuhan
Pemilik segala
Keagungan kemuliaan

Para penyembah agama
Para pemuja mushaf dan kakbah
Akan kecele
Saat semuanya habis binasa
Tetapi Allah yang mahamenghidupkan
Dan maha mematikan
Akan tetap tegak sendiri
Ia maha hidup
Tak akan pernah mati

95
Pernah jibril meratap
Sembari menggantung di tirai kakbah
Memohon memelas
Kiranya Tuhan tak mencabut
Segala nikmat yang telah ia berikan
Nikmat manis lezatnya iman
Nikmat asyik karibnya kedekatan

Bila malaikat yang tak bernafsu
Dan senantiasa dalam laku ibadah
Meratap begitu rupa
Mesti bagaimakah lagi kita
Insan yang selalu lupa
Namun angkuh berbangga
Dan melulu menghambakan diri
Kepada hawa nafsu

96
Akan tiba saatnya dajjal
Dengan tanda teramat dikenal

Ialah cobaan terberat
Bagi segenap umat

Diberi kemampuan buat keajaiban
Hingga oleh si bodoh disangka tuhan

Surga ia perlihatkan neraka
Neraka ditunjukkan sebagai surga

Ia mampu membuat mati yang hidup
Menghidupkan yang mati pun sanggup

Jarak antara timur dan barat
Hanya ditempuhnya dalam sekelebat

Gunung ia ubah jadi jurang
Danau ia sedot tinggal lubang

Emas dan perak berjatuhan
Seperti deras hujan berguguran

Namun yang telah tahu licik si mata satu
Oleh silih sihir tak akan tersalah tertipu

97
Menderu gugur daun
Lebih sedih dari hari yang lalu
-Kemana lantun burung kemarin itu?

98
Pohon, tunggu, jangan keburu gugur dulu
Tolong beri satu hari lagi
Bagi sepasang burung itu
Mencari dahan baru pengganti

99
Seorang atheis murni
Bertemu seorang agamis sejati
Dalam konferensi dunia

Dalam hati si atheis berkata
Ini dia manusia kerdil
Yang tak mau beranjak dewasa
Ke level perkembangan mental
Yang lebih tinggi, betah berkubang
Dalam mitos dan ilusi tinggal

Si agamis membatin
Kasihan manusia yang lebih rendah
Dari derajat hewan, tumbuhan,
dan bahkan batu
Si buta (apalagi yang mencungkil matanya sendiri)
Terang tak akan kuasa menatap sinar surya

Deklarasi macam apakah
Yang akan lahir
Dari seorang imbesil
Dan seorang jahil?

100
Aku sengaja melangkah perlahan
Kala berjalan melewati taman

Terawat sungguh oleh empunya
Teramat indah dipandang mata

Singgah sesaat saja terasa lezat
Menebus penat pejalan yang lewat

Bunga beraneka rapi ditata serasi
Rupa warna wangi berharmoni

Ditingkahi kicau unggas merdu
Diterangi lembut bias lelampu

Jangankan taman begitu indah
Tiada kupunya satu petak tanah

Namun bila melintaspun telah mencukupi
Mengapa mesti berpayah upaya memiliki?

101
Asar telah bubar, hampir buka sudah
Udara senja penuh harum aroma juadah
Suara tua bergetar mengalunkan doa
Para bocah tak sabar menantinya

102
Dalam kitab ujar anjur ajaran
Ada pesan nabi firman tuhan
Meski mungkin kan kau tinggalkan
Dengan alasan telah ketinggalan

Sebelum telanjur diangkat
Segera rebutlah manfaat
Atau mereka akan menggugat
Di depan mahkamah kiamat

Bila tak kau percaya tuhan
Terlebih lagi yang hanya utusan
Silakan, bagiku bukan lagi urusan
Kau angkat nafsu akal sesembahan

103
Ketika aku menderita
Kau dimana, coba
Maka aku menolakmu
Sebagaimana kau menolakku

Tak akan sudi aku
Tunduk sujud lagi padamu
Nalarku telah belajar
Saatnya kita sejajar

Begitu dalam hati ku berujar
Setelah sial beruntun menghajar
Padahal tak ku berbuat cela
Ibadahku rutin tiada bersela

Hingga terdengar suara
Bergema dari relung jiwa
Siapa bicara ku tak yakin
Terbit dari kedalaman batin

Dari tuhan, tentu tak mungkin
Bukankah ia konsep yang dibikin
(Demikian ingin kupercaya
Betul begitu adanya)

Adakah engkau menolaknya
Karena diberi galau derita
Sementara lezat nikmat
Tiada satu lekat teringat

Kepada kesenangan kau berhasrat
Kepada penderitaan tak berminat
Padahal laknat dan restu
Dalam keduanya dapat kau temu

Para nabi terkasih dulu
Disalib serta dipermalu
Hingga derajat mereka terangkat
Dan buat umat jadi hikmat

Para sahabat muhammad
Pernah terdesak sangat
Hingga juga terlontar keluh
Pertolongan Tuhan adakah jauh?

Namun percaya tak guyah
Sembah taat tiada berubah
Hingga kesabaran dan kekuatan
Atas mereka ditambahkan

Maha kaya Tuhan
Dari membutuhkan
Satu yang mutlak Ia
Ada yang hak adanya

Penolakan tak cederai kuasanya
Sesengit apapun ingkar hamba
Akhirnya akan terpaksa berserah
Oleh mati nan pasti tak tertegah

104
Di tiap liukan jemari
Dan kelokan garis
Tak pernah habis
Kemungkinan menari

Tiada yang tahu persis
Sampai di mana nanti
Siapa menyapa menanti
Begitu hidup puisi ditulis

Pejalan hanya menjalani
Berharap berakhir manis
Segala terangkai serasi
Hingga tiba di batas finis

105
[Eksperimen dengan bentuk renku: Renku atau renga adalah salah satu bentuk puisi berantai dalam Sastra Jepang yang mencapai puncak pencapaiannnya pada abad 13. Ia ditulis oleh sekelompok penyair yang silih berganti menyumbangkan triplet dan kuplet mereka. Jumlah suku kata triplet adalah 5-7-5 dan kuplet 7-7. Harus diawali dengan triplet dan diakhiri dengan kuplet, jumlah stanza biasanya mencapai 36, 50, atau 100 buah. Struktur teknisnya menghendaki pembagian babak dan penggunaan simbol tertentu di peralihan babak. (Lebih jauh dapat dibaca di a.l: Makoto Ueda (1970), “Matsuo Basho”, New York: Twayne Publishing dan Alex Preminger et al. (1993), “The New Princeton Encyclopaedia of Poetry and Poetic”, Princeton: Princeton University Press. Dengan sejumlah pertimbangan dan juga mengingat bahasa indonesia tidak mono-silabis, bentuk ini diadopsi dengan beberapa penyesuaian: Ÿ Ditulis oleh penyair tunggal,Ÿ Terdiri dari lima belas larik dengan pola rima /a/b/a//c/c//c/a/c//b/b//b/c/b//aa/// (“/” awal akhir baris, “//” akhir bait, “///” akhir sajak), Ÿ Disusun sedemikian rupa hingga dapat dibaca sebagai lima stanza terpisah: 1) /a/b/a//c/c///, 2) /c/c//c/a/c///, 3) /c/a/c//b/b///, 4) /b/b//b/c/b//, dan 5) /b/c/b//a/a///,Ÿ Jumlah kata larik triplet adalah 5-7-5 sedangkan kuplet 7-7 (kata ganti tunjuk dan milik meski ditulis berangkai dihitung kata terpisah Ÿ Walau terdiri dari lima stanza, secara keseluruhan sebaiknya ia harus tetap memiliki koherensi pesan/suasana, Ÿ Asosiasi tematik dari stanza pertama hingga kelima secara berurut adalah alam, cinta, kehidupan/kemanusiaan, kematian, dan ketuhanan. Berikut ini percobaan dengan bentuk renku]


Di kota itu waktu mengristal
Seakan tiada layu, tak akan kenal lalu
Putih menumpuk hingga ufuk tapal

Di antara hamparan tundra dengan semi tertunda
Ada anak dara bersemburat merah pipinya

Ia kendi dengan anggur remaja
Senyumnya rasuki benak, racun tanpa tangkal
Sanggup kembali gelegakkan darah tua

Ketika ia berdiri meminta di ambang pintu
Tanpa tunggu kuanggukkan kepala tanda setuju

Kuberikan luruhan seluruh hati
Karena sungguh hanya itu yang masih tersisa
Di musim tanpa cuka roti

Yang kekal, adakah di tempatmu tinggal
Hangat nyala perapian dan sup lezat kental?

106
Tuhan, beri hamba
Iman sederhana
Perempuan tua

Rindu yang selalu nyala
Membawa kembali
Padamu

Dan mata
Yang tak akan tersilap
Mengenalimu

107
Ini puisi keseribu·
Yang kutuliskan

999 puisi terdahulu
Mungkin belum cukup pantas
Disebut puisi

Setelah ini mungkin
Tak akan pernah mampu
Menulis puisi lagi

Bahkan barangkali
Harus pergi
Mati

Tetapi inilah puisi keseribu
Yang telah kutuliskan

108
Sore hari di tepi Losari
Engkau mendukungku atas punggungmu
Hingga dapat kulihat jauh batas rentang cakrawala
Sementara lembut hangat matahari
Membasuh tengkuk dan harum angin laut
Mempermainkan rambutku

Saat bintang telah berdatangan
Dan bulan baru menyembul di antara dahan waru
Aku duduk di pangkuanmu, menyandar pada dadamu
Menghirup ruap melati dan sedap malam
Bertanya akan mereka: dari mana lahir, ke mana nanti pergi

Kelak, saat terbaring rebah di sampingmu
Akan kubisikkan kisah perjalananku
Menempuh cakrawala
dan bintang-bintang

109.
Pejalan, wahai pejalan, adakah kau kesepian?

Pejalan mungkin sendiri tetapi tak akan pernah sepi
Disaksikannya beribu bilyun debu, berlaksa galaksi,
Juga tengah berduyun-duyun menyusuri
Jalan yang sama, berpusar pada spiral kristal
Menuju pusat semesta di puncak kekal
Dari mana mula segala berasal

Pejalan, wahai pejalan, marilah singgah!

Tetapi alangkah jauh arah masih harus ditempuh
Nafas hilang terengah dan nafsu berulang patah
Namun mesti terus kaki melangkah
Lalui berapa lapis tapal lagi; Rumah? Teduh dahan
Telahlah memadai sebagai kemah bagi gelisah insan
Berdiam dalam dirinyapun ia tak lagi bisa kerasan

Salam sejahtera, pejalan; ajaklah kami serta!

110
Antara hendranya
Dan hendraku
Ada terbentang
Tujuh samudera

Antara hendraku
Dan Akuku
Ada terentang
Tujuh cakrawala

Lebih jauh lagi

Ke AkuMu

Ada EngkauMu
Ada IaMu
Ada TuhanMu
Ada Tuhanku
Ada sabda ajarMu
Ada takrif tafsirku
Ada amal lakuku

Dari akuku

Begitu jauh
Kau lepaskan kami silap sangka salah melangkah
Kau relakan kami dicoba dalam percaya, digoda tipudaya
Betapa jauh
Hingga seseorang meledakkan kepala yang lain
Seraya memekikkan namaMu
Seseorang bahkan dengan perih
Pergi mengasingkan diri ke gunung tinggi
Berjuang membunuhmu
Lirih ia merintih
Sembari mengulang rapalan purba
“Telah tiada ia, tiada ia, tiada;
Dengan belaka akal murni
Dan bekal kalbu nurani
Atau nafsu sendiri
Kini kalian manusia
Mungkin akan bisa bahagia…”

Alangkah pelik jerat lihaiMu

Tak Kau perlihatkan terang wajahMu
Memaksa kami campakkan topeng
Menampakkan coreng bopeng wajah kami sendiri-
Sendiri, menari riang bagai tikus-tikus
Gembira ria bila kucing pergi
Libur tamasya

Masih hiburmu
“karib Aku padamu
Lebih dekat
Dari engkau kepada nadimu
Meski gaib
Tertatih jatuh kau menujuKu
Berlari Aku menyongsongmu”

Duh gusti…

111.
Sembari menunggu piala dunia
Dua tahun lagi
Mari kita nikmati saja sajian selingan
Perang dunia ini

Bandingkan kekuatan senjata dan balatentara
Dari kedua belah pihak
Seperti menandingkan gelar posisi
Kesebelasan masing negara

Hitung jumlah nyawa jatuh
Seperti mereken reka
Berapa gol bisa bersarang
Di gawang lawan

Hula olala gola!!!
Para gila bola serempak bersorak
Parah globa bulat
Menggasing pusing

Setiap lahir satu pahlawan bangsa
Tercipta satu bangsat pula
Tetapi bagaimanapun juga
Tayangan ini lumayanlah

Sampai jumpa
4 tahun kemudian

112.
Arus rima gelombang irama
Bergulung datang menyeret

Dari yang karib ke yang gaib
Dari yang main-main
Ke yang bukan main

Arus rima gelombang irama
Membawa menghempas

Lintasi batas setia
Pada pengalaman dan pemahaman
Juga tata bahasa

Ini hanyut
Hingga
Berlanjut?

113.
Lembar kertas
Terbuka lebar
Tipografi terhampar
Geografi makna

Lalu rima irama
Terdengar
Pada gendang telinga
Dan di balik dinding dada

Tergambar pula
Imaji
Pada mata
Dan benak kepala

Samudera
Tanda
Betapa lebat
Menggoda

Lereng gunung curam
Dengan hantu tebing
Gurun sahara
Dengan pasir hisap

Menghimbau:
Baring di tepi
Atau berenang ke mari
Bahkan tenggelam sekali!

114.
Seorang penyair masa kini
Menulis dalam sajaknya, begini:
“kau telusuri batang kodratku yang
panjang, dan aku masuki lorong
takdirmu yang dalam” ·

Kegemparanpun timbul
Khususnya di kalangan
Majelis Luhur Pertimbangan Penentu Pengawas Pengendali dan Pengoreksi Moral Etika Umat Indonesia (untuk mudahnya disingkat MLP5MEUI,
(Karena ternyata masih sangat sulit diingat, sering
Diakronimkan jadi Melempem, euy)).
Setelah berembuk, mereka akur
Sajak itu memang benar
Menggambarkan adegan tak patut
Sebagaimana yang biasa dilihat
Dalam film hard-core
Mereka sepakat
Dengan jerat UU teranyar
Menyeret penyairnya
ke Mahkamah Agung Berwibawa.

Tentu saja timbul reaksi membela
Dari aliansi Masyarakat Hamba Pemuja Buta Estetika dan Keindahan
(MHPBEK, akronimnya Mbeek)
Menurut mereka
Masyarakat dan negara justru harus berterima kasih
Karena sajak ini dapat menarik minat
Khususnya kalangan generasi muda
Untuk mempelajari dan menggali kembali makna
Dari kodrat dan takdir itu sendiri
Serta mengaplikasikannya
Dalam realitas sosial
Yang pluralitas
(begitu kata juru bicaranya).

Hari itu pengadilan penuh sesak
Hingga palu patah diganti berkali
Hanya karena Hakim Agung Ketua
Harus mengingatkan massa berulang-ulang
Sang Hakim bersabda:”Tuntutan telah jelas,
Kesalahan sudah terang;
Apakah ada sepatah kata
Dari terdakwa?
Silakan, tak perlu malu-malu gitu”
(Meraih air mineral kemasan,
Menyedot isinya,
Menyantap lemper dan bolu
Lalu bersendawa dan bersandar lega
Di bantalan kursi empuk
Tak lupa berdehem tiga kali
Untuk menekankan efek dramatis
Dalam suasana persidangan)

Hanya sepi yang terdengar menggema
Suara kentut seorang pelajar putri
Menggaung di langit-langit gedung
Hadirin menahan nafas
Beberapa lama
Menunggu

Setelah tersenyum tersipu
Dengan kemaluan yang kian besar
Akhirnya terdakwa bersuara juga
“Saya, mah, setuju saja dengan keputusan mahkamah
Setiap kata memang mesti diusut
Manfaat mudaratnya.
Karenanya saya usulkan
Para ahli stilistika dan statistika
Mengkaji kata-kata yang ada
Dalam kumpulan saya.
Kata yang berbahaya
Kata yang netral saja
Dan kata yang berbudaya.
Silakan bandingkan;
Kata berbahaya
Dengan kata netral saja
Jika impas jumlahnya
Terhapuslah masa hukuman saya
Adapun untuk setiap patah kata berbudaya
Saya harap pemerintah bersedia
Menghargainya dengan apa, kek
Piala, medali, lencana, atau sertifikat
Atau cek sajalah
Supaya enak dibawanya”

Memahami komplikasi dan implikasi hukum
Yang pelik dari masalah ini
Dan mengingat tiket liburan akhir pekan
Sudah ada di tangan
Hakim agung ketua
Memutuskan sidang dilanjutkan
Minggu depan saja.
Lagi pula beberapa stasiun televisi
Memang telah meminta agar sidang ini
Dibagi dalam beberapa sekuel
Mengingat sinetron yang monoton
Sudah tidak melejit lagi ratingnya
Sehingga harus dicari
Alternatif hiburan
Yang tetap informatif dan edukatif
Bagi pemirsa.

Demikian laporan pandangan mata
Dari reporter anda
Di lapangan.

· setelah dihitung, tepatnya ia yang ke-1002
· dipinjam dengan semena dari sajak Aslan Abidin, “Malam Pengantin”

No comments:

SAJAK JALAN PAGI BERSAMA

  Pagi seputih seragam baru dan sesegar rambut basah para bocah ketika kita berjalan menyusur tembok yang mengendapkan waktu di perkampu...