Ketika cinta menyapamu
Dengan parasnya lembut
Masihkah engkau diam terpana tanpa menyambutnya,
Dan hanya bertanya: mengapa?
Dari tempat asalnya berkelana ia
Sekian lama, mencarimu, yang telah dikenalnya
Sejak masa azali. Sungguh terlalu kini
Jika engkau terus mengusut: untuk apa?
Sang suryapun menjadi sejuk di tengah hari
Sedangkan purnama menghangatkan malam sepi
Barangsiapa telah terpilih kekasih
Mustahil baginya bermuslihat lari dan sembunyi
Meski engkau terpuruk jorok di parit kota
Mabuk muntah oleh arak murah warung bongkaran
Akan diraihnya tanganmu, dipapah tubuhmu penuh haru
Seraya berseru: tuanku, mengapa menyaru begini rupa?
.....yang hadir mengisi di antara dua kesunyian--kelahiran dan kematian..... (An Indonesian poems corner ; the poet : Hendragunawan)
Tuesday, October 26, 2010
Thursday, October 14, 2010
MUNAJAT PERCOBAAN (Dari Arsip Sajak Lama)
MUNAJAT PERCOBAAN
Amuk raung badai menggetarkan tiang-tiang langit
Mengguncangkan kubah cakrawala
Tiang bahtera patah, layar tercabik
Dan lambungpun sobek sudah
Akankah karam, terapung
Atau terdampar ke daratan akhirnya
Adakah bedanya bila hatiku
Bersimpuh merengkuh pinggangmu
NYANYIAN AKHIR TAHUN
Mendung memang menggantung bagai helai-helai tirai tua
yang mengandung rahasia kemurungan di setiap lipatannya.
Tetapi geriap cahaya tak terbendung
meskipun cakrawala lindap bagai pelupuk perempuan,
mengembung oleh sisa kantuk persetubuhan malam.
Rebahkanlah kepalamu yang lelah pada dingin bantal.
Kelam ini sebentar dan tak mungkin kekal;
tak lama lagi badai selesai dan akan kau jumpai
pelangi yang kau kenal beserta seri bunga-bunga
yang basah gemerlap oleh basuhan hujan.
Lihatlah mereka pun telah bersiap
untuk sebuah pesta.
Tentu, segalanya akan kembali:
yang pahit dan yang manis,
pastilah berlalu.
Selalu begitu.
SEBUAH KUATRIN UNTUK SEPUPU YOLA
(ditulis setelah semalam melayat oom oku)
malam dan siang silih berganti
wajah-wajah datang dan pergi tak kembali
pernah tertawa cerah, pernah basah kedua pipi
semuanya dilewati, semuanya berlalu, seperti mimpi
PERCOBAAN
Belati yang diulurkan kekasih
bagaimana bisa dielakkan.
Cawan tuba yang disodorkannya
bagaimana bisa ditolakkan.
Mendung dan badai
akhirnya tergulung dan usai: sekedar bukti
insan lebih tinggi dari gelapnya
lebih besar dari hempasannya.
Dan kini tinggallah ia sendiri berdiri tegak
di bawah surya berpijar. Hanya tubuhnya telanjang
berkilatan, bagai patung tembaga, dengan rambut tergerai
dimainkan angin yang lembut dan ringan,
yang bertambah lemah dan perlahan.
Amuk raung badai menggetarkan tiang-tiang langit
Mengguncangkan kubah cakrawala
Tiang bahtera patah, layar tercabik
Dan lambungpun sobek sudah
Akankah karam, terapung
Atau terdampar ke daratan akhirnya
Adakah bedanya bila hatiku
Bersimpuh merengkuh pinggangmu
NYANYIAN AKHIR TAHUN
Mendung memang menggantung bagai helai-helai tirai tua
yang mengandung rahasia kemurungan di setiap lipatannya.
Tetapi geriap cahaya tak terbendung
meskipun cakrawala lindap bagai pelupuk perempuan,
mengembung oleh sisa kantuk persetubuhan malam.
Rebahkanlah kepalamu yang lelah pada dingin bantal.
Kelam ini sebentar dan tak mungkin kekal;
tak lama lagi badai selesai dan akan kau jumpai
pelangi yang kau kenal beserta seri bunga-bunga
yang basah gemerlap oleh basuhan hujan.
Lihatlah mereka pun telah bersiap
untuk sebuah pesta.
Tentu, segalanya akan kembali:
yang pahit dan yang manis,
pastilah berlalu.
Selalu begitu.
SEBUAH KUATRIN UNTUK SEPUPU YOLA
(ditulis setelah semalam melayat oom oku)
malam dan siang silih berganti
wajah-wajah datang dan pergi tak kembali
pernah tertawa cerah, pernah basah kedua pipi
semuanya dilewati, semuanya berlalu, seperti mimpi
PERCOBAAN
Belati yang diulurkan kekasih
bagaimana bisa dielakkan.
Cawan tuba yang disodorkannya
bagaimana bisa ditolakkan.
Mendung dan badai
akhirnya tergulung dan usai: sekedar bukti
insan lebih tinggi dari gelapnya
lebih besar dari hempasannya.
Dan kini tinggallah ia sendiri berdiri tegak
di bawah surya berpijar. Hanya tubuhnya telanjang
berkilatan, bagai patung tembaga, dengan rambut tergerai
dimainkan angin yang lembut dan ringan,
yang bertambah lemah dan perlahan.
Friday, September 24, 2010
TIGA HAIKU: PERCOBAAN DENGAN YANG SEDERHANA
1.
Kini engkau telah bahagia.
Semoga sentosa senantiasa. Sekarang saya
Bersedia menutup mata
2.
Datanglah segera!
Sungguh kebahagiaan ini sengsara
Kureguk sendiri saja
3.
Dua kawan telah mendahului pulang:
Perjalananku kembali,
Alangkah teramat panjang!
Kini engkau telah bahagia.
Semoga sentosa senantiasa. Sekarang saya
Bersedia menutup mata
2.
Datanglah segera!
Sungguh kebahagiaan ini sengsara
Kureguk sendiri saja
3.
Dua kawan telah mendahului pulang:
Perjalananku kembali,
Alangkah teramat panjang!
Thursday, August 19, 2010
DEFINISI-DEFINISI
1. Cinta:
Instabilitas temporal dari mental.
Dimaksudkan untuk menautkan kembali hati
pada pusat hakikat yang satu itu--
berbahaya bila ditujukan ke obyek yang salah.
2. Sukses:
Pencapaian semasa hidup yang mampu membuat seseorang,
ketika akan menutup mata untuk selama-lamanya,
merasa lega dan bahagia.
3. Sakit:
Rasa tidak nyaman bagi diri
yang tumbuh dari bagian-bagian tubuh,
menegaskan kembali batas serta perbedaan antara ruh dan badan
4. Musuh:
orang yang paling kubenci karena paling mirip denganku;
saingan terdekat
dalam kejahatan dan keburukan yang serupa.
Instabilitas temporal dari mental.
Dimaksudkan untuk menautkan kembali hati
pada pusat hakikat yang satu itu--
berbahaya bila ditujukan ke obyek yang salah.
2. Sukses:
Pencapaian semasa hidup yang mampu membuat seseorang,
ketika akan menutup mata untuk selama-lamanya,
merasa lega dan bahagia.
3. Sakit:
Rasa tidak nyaman bagi diri
yang tumbuh dari bagian-bagian tubuh,
menegaskan kembali batas serta perbedaan antara ruh dan badan
4. Musuh:
orang yang paling kubenci karena paling mirip denganku;
saingan terdekat
dalam kejahatan dan keburukan yang serupa.
SAJAK-SAJAK PUASA (Dari Kumpulan Sajak Lama)
HAIKU SUBUH PERTAMA BULAN PUASA
Beberapa anak asyik bercerita
tentang hidangan buka puasa
dan baju serta sepatu baru.
SAJAK-SAJAK NEWCASTLE (43)
Martabak yang kubeli di Pasar Daya
Tersaji di meja untuk berbuka puasa
Melihatnya, Ibu tertegun sendu lalu tersedu
“Ini pembuka kegemaran Bapakmu…”
“Ma, jangan menangis, kan masih ada saya!”
Kataku berpura-pura tabah dan ceria
Tetapi hatiku telah melesak naik ke tenggorokan
Dan mata yang membasah sengaja kukedipkedipkan
DOA LEBARAN
Sebagaimana telah Engkau izinkan hamba bergembira
di kala berbuka puasa dan berhari raya
perkenankanlah pula hamba bisa berbahagia
ketika maut menjemput dan hari bangkit tiba.
INTROSPEKSI
Ada hewan dalam diriku
mestinya kujinakkan jadi tunggangan.
Namun kadangkala justru ia menunggangiku;
seringkali kusangka ia itulah aku, bahkan.
Beberapa anak asyik bercerita
tentang hidangan buka puasa
dan baju serta sepatu baru.
SAJAK-SAJAK NEWCASTLE (43)
Martabak yang kubeli di Pasar Daya
Tersaji di meja untuk berbuka puasa
Melihatnya, Ibu tertegun sendu lalu tersedu
“Ini pembuka kegemaran Bapakmu…”
“Ma, jangan menangis, kan masih ada saya!”
Kataku berpura-pura tabah dan ceria
Tetapi hatiku telah melesak naik ke tenggorokan
Dan mata yang membasah sengaja kukedipkedipkan
DOA LEBARAN
Sebagaimana telah Engkau izinkan hamba bergembira
di kala berbuka puasa dan berhari raya
perkenankanlah pula hamba bisa berbahagia
ketika maut menjemput dan hari bangkit tiba.
INTROSPEKSI
Ada hewan dalam diriku
mestinya kujinakkan jadi tunggangan.
Namun kadangkala justru ia menunggangiku;
seringkali kusangka ia itulah aku, bahkan.
Wednesday, July 07, 2010
CATATAN PERJALANAN
(Untaian dari sejumlah sajak lama yang setema)
1.
Seperti engkau kukenal melambai dan memanggil
Menghampir sesampai tapal penanggalan, antara april
Dan mei, dengan sengal dingin menggigit gigil
Hingga hijau warna hutan kecil bersalin suasana
Kuning jingga juga merah suasa, dan suara burung terdengar lain
Hingar melengking ke arah cuaca, namun lebih murung, mungkin
Meratap oleh ulah musim yang dikirim menggenapi
Upacara purba ini. Tetapi senyap sepimu menyekap surup hari;
Malam tumbuh kian larat lagi sedangkan redup pagi
Bertambah lambat, dari tiga kerat
Bulan yang sembab seolah selimut bulu, memberat
Disebabkan basah lembab dan gelap kelabu. Namun lihat,
Seperti ikal dedaun digelung surya
Tak mengeluh, bagai kelopak kemboja
Mengilaukan igal kilat terakhirnya
Saat tanggal berluruhan lalu terserak di tepian jalan
Aku pun akan tinggal tegak diam, membiarkan
Jemarimu kelak menelanjangi kelamku, kekal, perlahan.
2.
Pohonan berbisik di sepanjang lengang jalan ini
oleh rintik sesekali yang menorehkan melankoli
seakan sore bakal jadi sekekal rasa sesal
: jangan menoleh, atau engkau takkan sampai ke asal!
Tetapi kenapa sesal tiada kenal usai, kenapa sedih
bisa jadi lebih abadi dari harapan yang letih.
Dan memang, di penghujung jalan pun burung-burung
menghambur ke dalam jubah senja, sosok berselubung
yang turun berdiri menghadang dengan angkuh
merentangkan lengan-lengannya begitu kukuh
sehingga tiang-tiang lampu juga tak mampu menahan
jingga itu susut ke arah barat, perlahan.
Dan senja juga akan selesai sebelum ia tiba di sana,
akhirnya; membuat pohonan menggumamkan nubuat purba
yang telah lama terlupakan itu. Tirai-tirai gerimis lalu diturunkan
bersusun, menyihir jalan jadi lengang, kenangan sesepi impian
tuhan, tuanku, jangan aku kau tinggalkan...
3.
Sebelum silam
Pukul lima
Sebelum hilang
Hari dalam kelam
Bilah gerimis meruntuh
Dalam riuh hujan
Berjatuhan
Seakan langit
Tandaskan gemas
Bagi tandus liang bumi
Lewat sengit pagutan
Dan dengus nafas
Yang menderu
Burung-burung senyap
Terbang melenyap
Ke rimbun akasia
Sesusun rahasia
Yang hijau dan gelap
Mendekap sisa
Terang cahaya
Dari siang tadi
Pohon cemara jarum
Keramas di tepi jalan
Kelok yang menurun
Namun temaram
Teramatlah sepi
Di mana gerangan
Alamat rumahmu,
Kemanakah arah
Menujumu?
Arah menujumu
Lewati sebatang titian kayu
Berbalut lumut
Dibelit paku-paku
Licin oleh baluran hujan
Apakah aku
Akan selamat melalu
Adakah engkau
Kelak menyambut syahdu
Ah, harapan yang terlalu
Meski kerap menipu
Membuat malu tersipu
Tetap kuusap kusapu
Oleh janjimu
Sesudah kutanggalkan
Bayang yang mengaku-
Aku,
Setelah kutinggalkan
Hantu di tujuh anggauta
Dan perempuan tua
Berpupur tebal bermaskara
Dengan gincu merah nyala
Juga anjing kecil
Yang terus menjulur lidah
Dan mengucur liur itu
Serta segerombol orang
Yang memanggil melamabai
Kini nafasku terengah
Lutut gemetar goyah dan
Tatapan nanar oleh gamang
Namun tetapku meniti
Lalui ambang kabut
Sebatang jalan yang menelan
Dan menenggelamkan ini
Sepasti kau masih menanti
Selamatkanlah hatiku
Yang letih terpaku
Oleh kasihmu
Padamu
4.
Aku masih setia di jalan
Bertahan menyusur pelan
Malam yang renta
Meski bising angin
Meratap sedih
Dan tajam dinginnya
Menyayat perih
Baju yang kuyup
Erat mendekap punggung
Air di dalam sepatu
Berkecipak di setiap jejak
Dan batu-batu kerikil
Terguncang bergelindingan
Di dalam perut
Aku akan terus jalan
Menembus gelap dan kesunyian
Sampai kutemu
Rumah dengan jendela
Yang benderang oleh lampu
Serta pintu yang menunggu
Di baliknya:
Seseorang yang setengah termangu
5.
Lembut sayap-sayap kelam telah
Menyelubungi lengkung punggung bumi
Teduh rimbun malam pun luruh
Menudungi ubun hari yang lelah
Deras daras doa dalam darah
Mendebarkan kembali damba lama
Dengung lebah belantara kristal cahaya
Disebarkan angin semilir dingin membasah
Lalu kualirkan seribu daun perahu
Dari hulu hati ke arah hulu
Menuju pelukan cintaku yang dahulu
Kularung mereka dengan kemurungan
Yang sempurna, seakan bakal kekal
Bertarung mengarung arus digariskan
Sakal angin dan delapan cagak karang
Tegak menghadang garang dalam kegelapan
Selamatkanlah dedaun yang gerimis
Dari dadaku itu, masih kusebut namamu
Kekasih, meski sahutmu sungguh lembut
Mendesir lebih sembunyi dari sir rahasiaku
Selamatkanlah pula kenangan yang kian
Berkeping di tepi ingatan ini, sebelum
Menghambur debu, tinggal gaung hampa
Berulang meraung samar di relung lupa
Sayang, sekarang geletar pijar fajar mewarna
Di ufuk, bintang memudar sinarnya menyisih
Ke lubuk galaksi jauh, namun di tangkai tanganku
Tengah bermekaran: mawarmu
6.
Mataku yang murung dan sepi
Letih menggapai jejakmu
Hingga ke ujung tepi mimpi
Barangkali saja akan sempat
Kusapa parasmu lewat celah
Sempit yang terbayang di langit
Angan. Raung badai di utara
Tak setara dengan keluh kesahku
Di pantai ini. Arus, arus, arus
Haruskah terus menggeruskan alur rindu.
Angin, angin, angin, mestikah senantiasa
Menggiring pergi iringan awan kenangan
Beratus tahun berlalu lalu lampus
Di gerbang fajar namun tak mampu
Memupuskan geletar pijar damba. Bahkan
Tujuh lautan tiada sanggup lagi menghapus
Hausku akan untaian bulir air mengalir
Bening menderas dari antara jemarimu.
Cintaku yang memiliki telaga nikmat
Seluas lapisan langit dan bumi,
Adakah jerit sakitku ini
Sampai juga dan hikmat menciumi
Telapak kakimu?
7.
Merenungi relung matamu
Merenangi biru yang menggenang
Begitu tenang di tengah lengang alam
Juga mengenangkanku kepada langit
Yang diterangi mentari sepanjang hari
Namun tetap memandang selanskap padang
Dengan tatap yang betapa senyapnya
Terentang setia ia walaupun sakit
Dan senantiasa terluka
Oleh bilah pedang khianatku
Ya, merenungi relung matamu
Menelusuri lorong panjang
Berkelok berliku
Menurun mendaki
Murung dalam hujan senja hari
Menuju ujung nan nun
Namun bermula dari resah
Jantungku
8.
Apakah yang membawaku ke tempat ini:
Kerinduan yang menuntut bertemu,
Sepasang kaki yang menuntun tubuhku,
Ataukah senyum yang selalu membayang lembut
Di ujung garis bibirmu dan ramah
Yang mencerahi kelopak dan pelupuk matamu?
Aku tak tahu.Tetapi, kini, pohon-pohon begitu teduh
Dan burung-burung riuh mengiringi langkah
Dalam perjalanan. Putri malu pun melulu tersipu
Sementara kilat kelebat seekor kadal
Alangkah kontras dengan geliat malas cacing
Yang melata di sela bebatu. Bahkan
Bulir-bulir kerikil itu juga terguncang riang
Di sepanjang setapak yang kulalui
Siapakah yang menambatkanku di sini?
Entahlahlah. Masa depan
Menentukan apa yang terjadi
Di hari ini. Tujuan-tujuan
Mewujudkan sendiri jalan mereka.
Karena dalam pengetahuan Sang Maha Tahu
Segalanya telah selesai sebelum dimulai
Dan pejalan sudah sampai sejak saat
Sebelum lambaian pergi
(2005-2009)
1.
Seperti engkau kukenal melambai dan memanggil
Menghampir sesampai tapal penanggalan, antara april
Dan mei, dengan sengal dingin menggigit gigil
Hingga hijau warna hutan kecil bersalin suasana
Kuning jingga juga merah suasa, dan suara burung terdengar lain
Hingar melengking ke arah cuaca, namun lebih murung, mungkin
Meratap oleh ulah musim yang dikirim menggenapi
Upacara purba ini. Tetapi senyap sepimu menyekap surup hari;
Malam tumbuh kian larat lagi sedangkan redup pagi
Bertambah lambat, dari tiga kerat
Bulan yang sembab seolah selimut bulu, memberat
Disebabkan basah lembab dan gelap kelabu. Namun lihat,
Seperti ikal dedaun digelung surya
Tak mengeluh, bagai kelopak kemboja
Mengilaukan igal kilat terakhirnya
Saat tanggal berluruhan lalu terserak di tepian jalan
Aku pun akan tinggal tegak diam, membiarkan
Jemarimu kelak menelanjangi kelamku, kekal, perlahan.
2.
Pohonan berbisik di sepanjang lengang jalan ini
oleh rintik sesekali yang menorehkan melankoli
seakan sore bakal jadi sekekal rasa sesal
: jangan menoleh, atau engkau takkan sampai ke asal!
Tetapi kenapa sesal tiada kenal usai, kenapa sedih
bisa jadi lebih abadi dari harapan yang letih.
Dan memang, di penghujung jalan pun burung-burung
menghambur ke dalam jubah senja, sosok berselubung
yang turun berdiri menghadang dengan angkuh
merentangkan lengan-lengannya begitu kukuh
sehingga tiang-tiang lampu juga tak mampu menahan
jingga itu susut ke arah barat, perlahan.
Dan senja juga akan selesai sebelum ia tiba di sana,
akhirnya; membuat pohonan menggumamkan nubuat purba
yang telah lama terlupakan itu. Tirai-tirai gerimis lalu diturunkan
bersusun, menyihir jalan jadi lengang, kenangan sesepi impian
tuhan, tuanku, jangan aku kau tinggalkan...
3.
Sebelum silam
Pukul lima
Sebelum hilang
Hari dalam kelam
Bilah gerimis meruntuh
Dalam riuh hujan
Berjatuhan
Seakan langit
Tandaskan gemas
Bagi tandus liang bumi
Lewat sengit pagutan
Dan dengus nafas
Yang menderu
Burung-burung senyap
Terbang melenyap
Ke rimbun akasia
Sesusun rahasia
Yang hijau dan gelap
Mendekap sisa
Terang cahaya
Dari siang tadi
Pohon cemara jarum
Keramas di tepi jalan
Kelok yang menurun
Namun temaram
Teramatlah sepi
Di mana gerangan
Alamat rumahmu,
Kemanakah arah
Menujumu?
Arah menujumu
Lewati sebatang titian kayu
Berbalut lumut
Dibelit paku-paku
Licin oleh baluran hujan
Apakah aku
Akan selamat melalu
Adakah engkau
Kelak menyambut syahdu
Ah, harapan yang terlalu
Meski kerap menipu
Membuat malu tersipu
Tetap kuusap kusapu
Oleh janjimu
Sesudah kutanggalkan
Bayang yang mengaku-
Aku,
Setelah kutinggalkan
Hantu di tujuh anggauta
Dan perempuan tua
Berpupur tebal bermaskara
Dengan gincu merah nyala
Juga anjing kecil
Yang terus menjulur lidah
Dan mengucur liur itu
Serta segerombol orang
Yang memanggil melamabai
Kini nafasku terengah
Lutut gemetar goyah dan
Tatapan nanar oleh gamang
Namun tetapku meniti
Lalui ambang kabut
Sebatang jalan yang menelan
Dan menenggelamkan ini
Sepasti kau masih menanti
Selamatkanlah hatiku
Yang letih terpaku
Oleh kasihmu
Padamu
4.
Aku masih setia di jalan
Bertahan menyusur pelan
Malam yang renta
Meski bising angin
Meratap sedih
Dan tajam dinginnya
Menyayat perih
Baju yang kuyup
Erat mendekap punggung
Air di dalam sepatu
Berkecipak di setiap jejak
Dan batu-batu kerikil
Terguncang bergelindingan
Di dalam perut
Aku akan terus jalan
Menembus gelap dan kesunyian
Sampai kutemu
Rumah dengan jendela
Yang benderang oleh lampu
Serta pintu yang menunggu
Di baliknya:
Seseorang yang setengah termangu
5.
Lembut sayap-sayap kelam telah
Menyelubungi lengkung punggung bumi
Teduh rimbun malam pun luruh
Menudungi ubun hari yang lelah
Deras daras doa dalam darah
Mendebarkan kembali damba lama
Dengung lebah belantara kristal cahaya
Disebarkan angin semilir dingin membasah
Lalu kualirkan seribu daun perahu
Dari hulu hati ke arah hulu
Menuju pelukan cintaku yang dahulu
Kularung mereka dengan kemurungan
Yang sempurna, seakan bakal kekal
Bertarung mengarung arus digariskan
Sakal angin dan delapan cagak karang
Tegak menghadang garang dalam kegelapan
Selamatkanlah dedaun yang gerimis
Dari dadaku itu, masih kusebut namamu
Kekasih, meski sahutmu sungguh lembut
Mendesir lebih sembunyi dari sir rahasiaku
Selamatkanlah pula kenangan yang kian
Berkeping di tepi ingatan ini, sebelum
Menghambur debu, tinggal gaung hampa
Berulang meraung samar di relung lupa
Sayang, sekarang geletar pijar fajar mewarna
Di ufuk, bintang memudar sinarnya menyisih
Ke lubuk galaksi jauh, namun di tangkai tanganku
Tengah bermekaran: mawarmu
6.
Mataku yang murung dan sepi
Letih menggapai jejakmu
Hingga ke ujung tepi mimpi
Barangkali saja akan sempat
Kusapa parasmu lewat celah
Sempit yang terbayang di langit
Angan. Raung badai di utara
Tak setara dengan keluh kesahku
Di pantai ini. Arus, arus, arus
Haruskah terus menggeruskan alur rindu.
Angin, angin, angin, mestikah senantiasa
Menggiring pergi iringan awan kenangan
Beratus tahun berlalu lalu lampus
Di gerbang fajar namun tak mampu
Memupuskan geletar pijar damba. Bahkan
Tujuh lautan tiada sanggup lagi menghapus
Hausku akan untaian bulir air mengalir
Bening menderas dari antara jemarimu.
Cintaku yang memiliki telaga nikmat
Seluas lapisan langit dan bumi,
Adakah jerit sakitku ini
Sampai juga dan hikmat menciumi
Telapak kakimu?
7.
Merenungi relung matamu
Merenangi biru yang menggenang
Begitu tenang di tengah lengang alam
Juga mengenangkanku kepada langit
Yang diterangi mentari sepanjang hari
Namun tetap memandang selanskap padang
Dengan tatap yang betapa senyapnya
Terentang setia ia walaupun sakit
Dan senantiasa terluka
Oleh bilah pedang khianatku
Ya, merenungi relung matamu
Menelusuri lorong panjang
Berkelok berliku
Menurun mendaki
Murung dalam hujan senja hari
Menuju ujung nan nun
Namun bermula dari resah
Jantungku
8.
Apakah yang membawaku ke tempat ini:
Kerinduan yang menuntut bertemu,
Sepasang kaki yang menuntun tubuhku,
Ataukah senyum yang selalu membayang lembut
Di ujung garis bibirmu dan ramah
Yang mencerahi kelopak dan pelupuk matamu?
Aku tak tahu.Tetapi, kini, pohon-pohon begitu teduh
Dan burung-burung riuh mengiringi langkah
Dalam perjalanan. Putri malu pun melulu tersipu
Sementara kilat kelebat seekor kadal
Alangkah kontras dengan geliat malas cacing
Yang melata di sela bebatu. Bahkan
Bulir-bulir kerikil itu juga terguncang riang
Di sepanjang setapak yang kulalui
Siapakah yang menambatkanku di sini?
Entahlahlah. Masa depan
Menentukan apa yang terjadi
Di hari ini. Tujuan-tujuan
Mewujudkan sendiri jalan mereka.
Karena dalam pengetahuan Sang Maha Tahu
Segalanya telah selesai sebelum dimulai
Dan pejalan sudah sampai sejak saat
Sebelum lambaian pergi
(2005-2009)
SAJAK-SAJAK ANAK KOS (DARI ARSIP SAJAK LAMA)
(Dua sajak pertama, kenang-kenangan nge-kos di Bumi Parahyangan, Bandung, antara 1999-2002. Khusus sajak pertama, telah dilebay-lebaykan sedikit. Sajak terakhir, memori nge-kos di Bumi Kanguru, Australia antara 2005-2007 dan tanpa pe-lebay-an)
BALADA JENAKA MAHASISWA PERANTAUAN
Alkisah adalah seorang mahasiswa
Datang bertandang ke rumah sang guru besarnya
Sengaja mencoba mengulur-ulur topik perbincangan
Menunggu ajakan malam malam bersama ditawarkan
Hingga kehabisan bahan, akhirnya cuma bisa terdiam
– eh, ternyata sudah lewat jam sembilan malam –
raut muka tuan rumahpun mengisyaratkan kekesalan
namun tawaran yang diharap tetap tak dilontarkan.
Mulut meringis kecut perut menangis keroncongan pamit pulang
Hanya mampu berjalan kaki sembari iseng berdendang sumbang
Lewati deretan panjang warung padang, sate madura, kantin fast-food
Langkahnya perlahan agak terseret menahan air selera hampir semaput
Sampai di kamar sewaan, sekujur tubuh basah keringatan
Sukur masih tersisa air + sebiji pisang biarpun agak lunak kecoklatan
Senyum-senyum sendiri gelar kasur lalu langsung tidur bermimpi
Esoknya bangun kesiangan, tapak tangan kaki terasa dingin sekali
Lalu muncullah pak pos mengetuk-ngetuk pintu
Isi surat : kiriman untuk bulan ini jangan terlalu ditunggu
Menyusul ibu kos nongol sambil ngamuk nagih sewa
Ultimatumnya : kalau masih nunggak lagi, good bye saja !
Tidak sempat mandi tetapi langsung nimbrung ikut perkuliahan
Hadirnya paling belakangan tapi pulangnya ngacir paling duluan
Sudah itu seharian nongkrong di perpustakaan sampai waktu habis
Baca-baca koran minggu, majalah, dan surfing internet, serba gratis
Duh aduh aduh, alangkah enaknya hidup mahasiswa bujangan
Susah senang sendirian, tidak usah pusing mikirin tanggungan
Terbiasa nglakoni hidup prihatin begini mungkin juga nanti berguna
Selain dapat gelar sarjana, sekalian jadi orang sakti mandraguna.
LELAKI YANG LAPAR
Langit malam berdandan anggun bagai perawan
Gaunnya indah bermanik bintang berenda awan
Tetapi mengapa lelaki muda mengumpat pahit
Di dadanya anak burung gempar menjerit
Di lambungnya bersarang seekor ular hitam
Dengan mata membara lidah menjulur tajam
Ular hitam yang garang meliar menggeliat
Mendesis panjang dan menyemburkan bisa laknat
Dengan perut berkeriuk kosong dan kedinginan
Lelaki muda terus berjalan tersuruk sempoyongan ;
Langit malam menatapnya cemas berdebaran duka –
Janganlah ular hitam menerkam anak burung dalam dada !
SELAMAT JALAN MUSIM DINGIN
Segera pergi dan sekalian selamat jalan, musim dingin
Semoga tak perlu bertemu pula di tahun depan
Kawan pemurung yang baik sebenarnya,
Sayang ia tamu yang datang berkunjung terlalu lama
Berminggu-minggu memunggungi matahari
Semoga silam malam-malam melamun di bawah 5 derajat
Dalam kamar lembab berdinding kayu tanpa penghangat
Berteman selimut dilipat dua yang lembut namun melulu
Serba salah: mencari panjang, kurang lebar ia
Mencari lebar, kurang panjangnya
Semoga berlalu pula hari-hari kelabu dan sendu
Dengan angin yang meratap dan menyayat selalu
Hampir seminggu sudah termangu tanpa sekeping dolar
Pun sekedar untuk interlokal:
“Halo, apa kabar. Beta baik-baik saja di sini”
Segera pergi dan selamat jalan, kawan
Adios, Compadre. Adieu. Goodbye, my friend.
Biarlah tinggal berkarat sebagai kenangan
Cerek perengek yang pekikannya memekakkan telinga
Dan panci dadar yang telah sudi jadi pemanas portebelku
(2007)
BALADA JENAKA MAHASISWA PERANTAUAN
Alkisah adalah seorang mahasiswa
Datang bertandang ke rumah sang guru besarnya
Sengaja mencoba mengulur-ulur topik perbincangan
Menunggu ajakan malam malam bersama ditawarkan
Hingga kehabisan bahan, akhirnya cuma bisa terdiam
– eh, ternyata sudah lewat jam sembilan malam –
raut muka tuan rumahpun mengisyaratkan kekesalan
namun tawaran yang diharap tetap tak dilontarkan.
Mulut meringis kecut perut menangis keroncongan pamit pulang
Hanya mampu berjalan kaki sembari iseng berdendang sumbang
Lewati deretan panjang warung padang, sate madura, kantin fast-food
Langkahnya perlahan agak terseret menahan air selera hampir semaput
Sampai di kamar sewaan, sekujur tubuh basah keringatan
Sukur masih tersisa air + sebiji pisang biarpun agak lunak kecoklatan
Senyum-senyum sendiri gelar kasur lalu langsung tidur bermimpi
Esoknya bangun kesiangan, tapak tangan kaki terasa dingin sekali
Lalu muncullah pak pos mengetuk-ngetuk pintu
Isi surat : kiriman untuk bulan ini jangan terlalu ditunggu
Menyusul ibu kos nongol sambil ngamuk nagih sewa
Ultimatumnya : kalau masih nunggak lagi, good bye saja !
Tidak sempat mandi tetapi langsung nimbrung ikut perkuliahan
Hadirnya paling belakangan tapi pulangnya ngacir paling duluan
Sudah itu seharian nongkrong di perpustakaan sampai waktu habis
Baca-baca koran minggu, majalah, dan surfing internet, serba gratis
Duh aduh aduh, alangkah enaknya hidup mahasiswa bujangan
Susah senang sendirian, tidak usah pusing mikirin tanggungan
Terbiasa nglakoni hidup prihatin begini mungkin juga nanti berguna
Selain dapat gelar sarjana, sekalian jadi orang sakti mandraguna.
LELAKI YANG LAPAR
Langit malam berdandan anggun bagai perawan
Gaunnya indah bermanik bintang berenda awan
Tetapi mengapa lelaki muda mengumpat pahit
Di dadanya anak burung gempar menjerit
Di lambungnya bersarang seekor ular hitam
Dengan mata membara lidah menjulur tajam
Ular hitam yang garang meliar menggeliat
Mendesis panjang dan menyemburkan bisa laknat
Dengan perut berkeriuk kosong dan kedinginan
Lelaki muda terus berjalan tersuruk sempoyongan ;
Langit malam menatapnya cemas berdebaran duka –
Janganlah ular hitam menerkam anak burung dalam dada !
SELAMAT JALAN MUSIM DINGIN
Segera pergi dan sekalian selamat jalan, musim dingin
Semoga tak perlu bertemu pula di tahun depan
Kawan pemurung yang baik sebenarnya,
Sayang ia tamu yang datang berkunjung terlalu lama
Berminggu-minggu memunggungi matahari
Semoga silam malam-malam melamun di bawah 5 derajat
Dalam kamar lembab berdinding kayu tanpa penghangat
Berteman selimut dilipat dua yang lembut namun melulu
Serba salah: mencari panjang, kurang lebar ia
Mencari lebar, kurang panjangnya
Semoga berlalu pula hari-hari kelabu dan sendu
Dengan angin yang meratap dan menyayat selalu
Hampir seminggu sudah termangu tanpa sekeping dolar
Pun sekedar untuk interlokal:
“Halo, apa kabar. Beta baik-baik saja di sini”
Segera pergi dan selamat jalan, kawan
Adios, Compadre. Adieu. Goodbye, my friend.
Biarlah tinggal berkarat sebagai kenangan
Cerek perengek yang pekikannya memekakkan telinga
Dan panci dadar yang telah sudi jadi pemanas portebelku
(2007)
Wednesday, June 30, 2010
SAJAK-SAJAK TERBARU
SAJAK CEMBURU
Hatiku yang sepi
Merapat ke tepian cintamu
Hanya denganmu
Ia ingin bermanja
Maka irinya pada diri
Yang hadir menabiri
Andaikan saja: dapat
Menatapmu tanpa penglihatan,
Menyimakmu tanpa pendengaran
Dan mengenangmu tanpa pemikiran
Yang ada mengantarai
Hampir hati padamu
Ia tak ingin pergi
Tak ingin lagi ia sendiri
Berjanjilah: Dik, kau ‘kan kupetik
Di hari baik, dari bulan baik
Pada cintamu, ia meminta
Tempat terindah untuk mati
KUATRIN KELUHAN CINTA
Lelah aku diagungkan begitu terlalu
Di dalam roman, film ataupun lagu
Ibarat hikmah ‘jari yang menunjuk bulan’
Asyik berbual di jalan, mereka lupakan tujuan
MADAH MALAM KENCANA
Bila malam lembut menyentuhkan
Helai-helai kelam rambutnya yang terjuntai
Ke lapang dada persada yang lena,
Berderit lemahlah daun jendela tua
Mengatup dari sunyi sendu pekarangan
Sayup pula terdengar
Kelepak sayap-sayap impian
Menghampiri kepala-kepala insan
Yang terkulai letih, mengurapi mereka
Dengan wangi harapan yang purba
Namun jernih cahaya, seperti halnya daya hidup
Masih juga bersikeras menyelundupkan
Terangnya, lewat setiap celah dan rekah
Halus pada dinding kayu ataupun batu
Meski hanya tipis dan sayu
Sedangkan rembulan yang telah di puncak mekar
Pun membiarkan kelopak-kelopaknya
Berluruhan, tanpa keluhan, berserpihan
Melayang-layang sepi, lalu jatuh perlahan
Sebagai kepingan embun pagi
PAHLAWAN
Ia tak menangis untuk luka-lukanya
Meski malam menikam-nikam dada
Kesedihannya menitis di tetesan air mata
Untuk derita mereka yang dicinta
Hatiku yang sepi
Merapat ke tepian cintamu
Hanya denganmu
Ia ingin bermanja
Maka irinya pada diri
Yang hadir menabiri
Andaikan saja: dapat
Menatapmu tanpa penglihatan,
Menyimakmu tanpa pendengaran
Dan mengenangmu tanpa pemikiran
Yang ada mengantarai
Hampir hati padamu
Ia tak ingin pergi
Tak ingin lagi ia sendiri
Berjanjilah: Dik, kau ‘kan kupetik
Di hari baik, dari bulan baik
Pada cintamu, ia meminta
Tempat terindah untuk mati
KUATRIN KELUHAN CINTA
Lelah aku diagungkan begitu terlalu
Di dalam roman, film ataupun lagu
Ibarat hikmah ‘jari yang menunjuk bulan’
Asyik berbual di jalan, mereka lupakan tujuan
MADAH MALAM KENCANA
Bila malam lembut menyentuhkan
Helai-helai kelam rambutnya yang terjuntai
Ke lapang dada persada yang lena,
Berderit lemahlah daun jendela tua
Mengatup dari sunyi sendu pekarangan
Sayup pula terdengar
Kelepak sayap-sayap impian
Menghampiri kepala-kepala insan
Yang terkulai letih, mengurapi mereka
Dengan wangi harapan yang purba
Namun jernih cahaya, seperti halnya daya hidup
Masih juga bersikeras menyelundupkan
Terangnya, lewat setiap celah dan rekah
Halus pada dinding kayu ataupun batu
Meski hanya tipis dan sayu
Sedangkan rembulan yang telah di puncak mekar
Pun membiarkan kelopak-kelopaknya
Berluruhan, tanpa keluhan, berserpihan
Melayang-layang sepi, lalu jatuh perlahan
Sebagai kepingan embun pagi
PAHLAWAN
Ia tak menangis untuk luka-lukanya
Meski malam menikam-nikam dada
Kesedihannya menitis di tetesan air mata
Untuk derita mereka yang dicinta
Friday, April 02, 2010
TIGA SAJAK
DALAM PERJALANAN MAKASSAR-BARRU
Kami menyusuri patahan-patahan jalan
Yang terserak bertahun, seolah replika kumpulan pulau
Dari republik yang hampir retak
Bagai tak menjanji sampai. Tetapi tertatih kita menanti
Bertahan meski diletihkan harapan, berulang terguncang
Antara gelombang batuan yang merontokkan belulang
Dan keriangan yang membubungkan sukma
Hingga kita putuskan sejenak
Menepi ke sisi sepi
Engkau mencari petani meniti pematang,
Memanggul pacul atau memikul bakul
Aku prihatinkan jalan-jalan baru
Yang perlahan melebar
Merebut pekarangan rumah rakyat
Atas nama pembangunan
Demi kepentingan bersama
Walau cuma desing debu memenuhi ruang tamu
Mereka, mengendap ketika truk-truk dan bus-bus
Menderu laju ke lain kota yang dituju. Tapi
Cukuplah kepedihan di pagi hari ini, Muhary
Harus terus jalan, karena janji tersisa
Hanya sejam lagi,
Syam menanti kita
Membincangkan puisi
SYAIR MEDITASI ATAS TUBUH
Batapa indah dan sempurna
Tubuh dan wajah ini dicipta!
Bila di hadapan cermin kuberdiri
Tak henti kubangga mengagumi
Tetapi, bagaimanakah jika kukupas
Selubung kulit ini yang menutup tipis
Bagaimanakah jika lapis kedua
Yang membungkus daging juga kubuka
Bagaimanakah jika tumpukan otot saya
Dilepaskan dari belulang penyangganya
Bagaimanakah jika sisa rangka
Dipecahkan hingga ternganga rongga
Masihkan indah dan sempurna
tubuh dan wajah ini dipandang mata?
Bila tak kubuang-bersihkan setiap hari
Di dalam, di tiap liang dan ujung, mengendap tahi
Bila umurku bergeser bertambah
Tentu tubuh ini mengendur melemah
Dan ketika ruh tak lagi terkait jasad
Dalam hitungan menit, menguar busuk mayat
Dan bila telah dikubur bertimbun tanah
Tak ‘kan lama sisa raga pun terurai musnah
Masihkah indah dan sempurna
Tubuh dan wajah ini kupuja!
SYAIR MEDITASI NAMA AL-HAQ
Hakikat kebenaran, Sejati kenyataan:
Tuhan. Yang keberadaannya
Tak tertolak oleh pengingkaran
Yang kemuliaannya
Tak terpengaruh oleh penyifatan.
Kami menyusuri patahan-patahan jalan
Yang terserak bertahun, seolah replika kumpulan pulau
Dari republik yang hampir retak
Bagai tak menjanji sampai. Tetapi tertatih kita menanti
Bertahan meski diletihkan harapan, berulang terguncang
Antara gelombang batuan yang merontokkan belulang
Dan keriangan yang membubungkan sukma
Hingga kita putuskan sejenak
Menepi ke sisi sepi
Engkau mencari petani meniti pematang,
Memanggul pacul atau memikul bakul
Aku prihatinkan jalan-jalan baru
Yang perlahan melebar
Merebut pekarangan rumah rakyat
Atas nama pembangunan
Demi kepentingan bersama
Walau cuma desing debu memenuhi ruang tamu
Mereka, mengendap ketika truk-truk dan bus-bus
Menderu laju ke lain kota yang dituju. Tapi
Cukuplah kepedihan di pagi hari ini, Muhary
Harus terus jalan, karena janji tersisa
Hanya sejam lagi,
Syam menanti kita
Membincangkan puisi
SYAIR MEDITASI ATAS TUBUH
Batapa indah dan sempurna
Tubuh dan wajah ini dicipta!
Bila di hadapan cermin kuberdiri
Tak henti kubangga mengagumi
Tetapi, bagaimanakah jika kukupas
Selubung kulit ini yang menutup tipis
Bagaimanakah jika lapis kedua
Yang membungkus daging juga kubuka
Bagaimanakah jika tumpukan otot saya
Dilepaskan dari belulang penyangganya
Bagaimanakah jika sisa rangka
Dipecahkan hingga ternganga rongga
Masihkan indah dan sempurna
tubuh dan wajah ini dipandang mata?
Bila tak kubuang-bersihkan setiap hari
Di dalam, di tiap liang dan ujung, mengendap tahi
Bila umurku bergeser bertambah
Tentu tubuh ini mengendur melemah
Dan ketika ruh tak lagi terkait jasad
Dalam hitungan menit, menguar busuk mayat
Dan bila telah dikubur bertimbun tanah
Tak ‘kan lama sisa raga pun terurai musnah
Masihkah indah dan sempurna
Tubuh dan wajah ini kupuja!
SYAIR MEDITASI NAMA AL-HAQ
Hakikat kebenaran, Sejati kenyataan:
Tuhan. Yang keberadaannya
Tak tertolak oleh pengingkaran
Yang kemuliaannya
Tak terpengaruh oleh penyifatan.
Saturday, March 20, 2010
PANTUN-PANTUN EDAN
jangan diusut benang yang kusut
pun batang bengkok jangan diserut
penuntut tertuntut sama-sama kentut
sedang di jalan, berkejaran para badut
jika hendak adik bikin layangan
jangan inginkan gapai kahyangan
berjuta anak gagap hadapi masa depan
bertrilyun anggaran lenyap oleh sulapan
kemarin bajingan kini pahlawan
sekarang pahlawan besok bajingan
di negeri mimpi jangan berani berangan
ngeri sepinya tak akan tertahan
setelah saling gesek antar badan
gantian saling gasak antar pimpinan sebadan
bagi penataan hukum 4 jempol kami angkatkan
sekalian beri jempol dari kaki kiri-kanan
demikian pantun edan kami sampaikan
meski jauh dari santun, tak pula elegan
bila benci jangan sampai pesan ditahan
jika terkesan: boleh tepuk tangan!
pun batang bengkok jangan diserut
penuntut tertuntut sama-sama kentut
sedang di jalan, berkejaran para badut
jika hendak adik bikin layangan
jangan inginkan gapai kahyangan
berjuta anak gagap hadapi masa depan
bertrilyun anggaran lenyap oleh sulapan
kemarin bajingan kini pahlawan
sekarang pahlawan besok bajingan
di negeri mimpi jangan berani berangan
ngeri sepinya tak akan tertahan
setelah saling gesek antar badan
gantian saling gasak antar pimpinan sebadan
bagi penataan hukum 4 jempol kami angkatkan
sekalian beri jempol dari kaki kiri-kanan
demikian pantun edan kami sampaikan
meski jauh dari santun, tak pula elegan
bila benci jangan sampai pesan ditahan
jika terkesan: boleh tepuk tangan!
Thursday, March 18, 2010
DUA HAIKU
(Terpantik oleh haiku-haiku Wahyu W. Basjir)
1.
Ayunan karatan di halaman
terus bergerit terayun sendiri
pada malam selarut-dingin begini!
2.
Untuk guguran bunga-bunga
berkucuran hujan
dari pelupuk matalangit
Maret, 2010
1.
Ayunan karatan di halaman
terus bergerit terayun sendiri
pada malam selarut-dingin begini!
2.
Untuk guguran bunga-bunga
berkucuran hujan
dari pelupuk matalangit
Maret, 2010
Wednesday, March 03, 2010
HAIKU MALAM SETELAH SIDANG UNJUK RASA
Hujanpun turun membasuh keruh rusuh udara
yang dari sesiang tadi penuh dicemari
dusta basi dan caci maki
yang dari sesiang tadi penuh dicemari
dusta basi dan caci maki
Sunday, January 31, 2010
SAJAK-SAJAK AWAL 2010
KUATRIN TAHUN BARU 2010
Jangan sedih, biarpun semesta
Semakin renta dan usia kita
Kian menua, setidaknya bisa mengaku
Masih punya harapan-harapan baru
MUNAJAT PERCOBAAN
Amuk raung badai menggetarkan tiang-tiang langit
Mengguncangkan kubah cakrawala
Tiang bahtera patah, layar tercabik
Dan lambungpun sobek sudah
Akankah karam, terapung
Atau terdampar ke daratan akhirnya
Adakah bedanya bila hatiku
Bersimpuh merengkuh pinggangmu
HAIKU PENGAKUAN CINTA
Telah cukup mabukkah engkau
Untuk mengaku
Aku cinta kepadamu?
DOA DALAM PENERBANGAN
Terbang, terbang
Kami mengawang
Tuhan, tangkap kami
Sejenak lagi
Kami akan mendarat
Pada lapang telapakmu
CERITA PEJALAN
Ketika ia kembali sendirian
Dari kembara lama sekali
Orang-orang berdatangan
Mengerubung mengelilingi
Kakak, betapakah besar hebat
Bandar-bandar dunia?
Anak, betapa cepat
Perjalanan membuat renta!
Ia hanya menggaris senyum
Lalu hanyut bercerita
Ia cuma menatap mahfum
Bila diseling sela dan tanya
Gambar kota dan wajah kenangan
Tak bisa diperlihatkannya tapi
Selembarpun tak disimpan
Biar bertumpuk di lubuk hati
SETETES HUJAN
Setetes hujan
Jatuh menitik dari lubang
Di langit-langit kamar
Jatuh menitik
Ditampung loyang kelabu
Beribu-ribu tetes hujan
Luruh menderu-deru
Bagai serdadu penyerbu
Mendarat di luar sana
Bernyanyi mars
Berderap memburu
Beribu-ribu menderu mereka
Memenuhi jalan, atap dan selokan
Tetapi setetes hujan yang ini
Dengan iramanya sendiri
Seperti pelarian perang
Yang hanya menaati titah hati
Menitik jatuh penuh percaya diri
Ke loyang plastik abu-abu
Di lantai kamarku
Jangan sedih, biarpun semesta
Semakin renta dan usia kita
Kian menua, setidaknya bisa mengaku
Masih punya harapan-harapan baru
MUNAJAT PERCOBAAN
Amuk raung badai menggetarkan tiang-tiang langit
Mengguncangkan kubah cakrawala
Tiang bahtera patah, layar tercabik
Dan lambungpun sobek sudah
Akankah karam, terapung
Atau terdampar ke daratan akhirnya
Adakah bedanya bila hatiku
Bersimpuh merengkuh pinggangmu
HAIKU PENGAKUAN CINTA
Telah cukup mabukkah engkau
Untuk mengaku
Aku cinta kepadamu?
DOA DALAM PENERBANGAN
Terbang, terbang
Kami mengawang
Tuhan, tangkap kami
Sejenak lagi
Kami akan mendarat
Pada lapang telapakmu
CERITA PEJALAN
Ketika ia kembali sendirian
Dari kembara lama sekali
Orang-orang berdatangan
Mengerubung mengelilingi
Kakak, betapakah besar hebat
Bandar-bandar dunia?
Anak, betapa cepat
Perjalanan membuat renta!
Ia hanya menggaris senyum
Lalu hanyut bercerita
Ia cuma menatap mahfum
Bila diseling sela dan tanya
Gambar kota dan wajah kenangan
Tak bisa diperlihatkannya tapi
Selembarpun tak disimpan
Biar bertumpuk di lubuk hati
SETETES HUJAN
Setetes hujan
Jatuh menitik dari lubang
Di langit-langit kamar
Jatuh menitik
Ditampung loyang kelabu
Beribu-ribu tetes hujan
Luruh menderu-deru
Bagai serdadu penyerbu
Mendarat di luar sana
Bernyanyi mars
Berderap memburu
Beribu-ribu menderu mereka
Memenuhi jalan, atap dan selokan
Tetapi setetes hujan yang ini
Dengan iramanya sendiri
Seperti pelarian perang
Yang hanya menaati titah hati
Menitik jatuh penuh percaya diri
Ke loyang plastik abu-abu
Di lantai kamarku
SAJAK-SAJAK AKHIR 2009
KUATRIN CINTA REMAJA, 2
Setengah bulan menjenguk dari bingkai jendela
Namun cahayanyapun telah cukup menerangi
Sudah berbulan, surat balasanmu tak kunjung tiba
Biarkanlah, agar harapanku beralasan untuk menanti
HAIKU TERBANGUN TIDUR
Terjaga segera dari tidur:
Belum bekerja cukup keras,
Ku tak berhak atas lelap
(2009)
TAMU HUJAN
Bu, ibu, ada hujan
Turun bertamu
Lihat, ibu
Di teras mereka jatuh, memanggiliku
Terpantul dan jumpalitan
Menggigil ingin mencapai ambang
Dan menginjakkan kaki-kaki mungil
Di keset kita yang baru
Ibu, biarkan ibu
Jangan ditutupkan pintu
Mau mengeringkan mungkin
Tapak mereka yang basah dingin
Kasihan, ibu, sudah jatuh ke mari
Datangnya dari jauh tinggi
Biar kutemani, ibu
Bermain seharian
(2009)
SYAIR MUSIM KAWIN
Semasih masa beralih musim
Marilah kekasih, segera raih mesra
Hati yang lelah telah inginkan mukim
Semoga engkau seperti ‘ku sama merasa
Telah teraba rabu oleh dingin dari selatan
Telah terebah daun dari rantingnya kemboja
Bersegera mereguk segar anggur perhelatan
Sebelum mulut kelu mengulum getir tembaga
(2009)
PEPUJIAN
1.
Engkaulah dermaga tempatku bertolak
Dan juga labuhan tujuanku
Engkaulah landasan bagi keyakinanku
Dan juga alasan untuk keraguanku
Engkaulah musim panas
Yang semarak menghiasiku
Dengan busana aneka warna
Dan musim semi yang akan
Menelanjangi rantingku
Hingga tinggal rangka
2.
Adakah itu cinta
yang terlalu meminta
Ataukah maut
yang begitu menuntut
Tetapi bila hanya
dengan melalui gerbang maut
Dapat kutuntaskan
dendam damba bagi cintaku
Maka lunas setaralah pula
segala sakit perihnya
3.
Pada akhirnya
Harta paling berharga
Hanya namamu
Bertahta di hati
(2009)
MEDITASI HARI RAYA KURBAN
Kurban telah rebah dan disempurnakan
Semoga telah kusembelih pula
Ikatan tali kepemilikan yang membelit hati
Semoga telah kuputuskan pula
Pikatan hasrat yang membelukari jiwa
Semoga telah kusembahkan pula
Ilusi keakuan yang menabiri ruh
Semoga tiba di haribaan-Mu
Amin
(2009)
MEDITASI SEMBAHYANG
Bila meski hanya senoktah iman
Akan menyelamatkan insan dari siksa abadi,
Setitik keangkuhan akan menjauhkan
Seorang hamba dari gerbang surga
(Apatah lagi untuk berjumpa
Dengan yang empunya!)
Maka lindungi hamba
Di dalam sembah ini
Dari takjub dan ujub
Akan diri sendiri
(Menatap ataupun ditatap,
Sudah sepatutnya aku lenyap!)
(2009)
Setengah bulan menjenguk dari bingkai jendela
Namun cahayanyapun telah cukup menerangi
Sudah berbulan, surat balasanmu tak kunjung tiba
Biarkanlah, agar harapanku beralasan untuk menanti
HAIKU TERBANGUN TIDUR
Terjaga segera dari tidur:
Belum bekerja cukup keras,
Ku tak berhak atas lelap
(2009)
TAMU HUJAN
Bu, ibu, ada hujan
Turun bertamu
Lihat, ibu
Di teras mereka jatuh, memanggiliku
Terpantul dan jumpalitan
Menggigil ingin mencapai ambang
Dan menginjakkan kaki-kaki mungil
Di keset kita yang baru
Ibu, biarkan ibu
Jangan ditutupkan pintu
Mau mengeringkan mungkin
Tapak mereka yang basah dingin
Kasihan, ibu, sudah jatuh ke mari
Datangnya dari jauh tinggi
Biar kutemani, ibu
Bermain seharian
(2009)
SYAIR MUSIM KAWIN
Semasih masa beralih musim
Marilah kekasih, segera raih mesra
Hati yang lelah telah inginkan mukim
Semoga engkau seperti ‘ku sama merasa
Telah teraba rabu oleh dingin dari selatan
Telah terebah daun dari rantingnya kemboja
Bersegera mereguk segar anggur perhelatan
Sebelum mulut kelu mengulum getir tembaga
(2009)
PEPUJIAN
1.
Engkaulah dermaga tempatku bertolak
Dan juga labuhan tujuanku
Engkaulah landasan bagi keyakinanku
Dan juga alasan untuk keraguanku
Engkaulah musim panas
Yang semarak menghiasiku
Dengan busana aneka warna
Dan musim semi yang akan
Menelanjangi rantingku
Hingga tinggal rangka
2.
Adakah itu cinta
yang terlalu meminta
Ataukah maut
yang begitu menuntut
Tetapi bila hanya
dengan melalui gerbang maut
Dapat kutuntaskan
dendam damba bagi cintaku
Maka lunas setaralah pula
segala sakit perihnya
3.
Pada akhirnya
Harta paling berharga
Hanya namamu
Bertahta di hati
(2009)
MEDITASI HARI RAYA KURBAN
Kurban telah rebah dan disempurnakan
Semoga telah kusembelih pula
Ikatan tali kepemilikan yang membelit hati
Semoga telah kuputuskan pula
Pikatan hasrat yang membelukari jiwa
Semoga telah kusembahkan pula
Ilusi keakuan yang menabiri ruh
Semoga tiba di haribaan-Mu
Amin
(2009)
MEDITASI SEMBAHYANG
Bila meski hanya senoktah iman
Akan menyelamatkan insan dari siksa abadi,
Setitik keangkuhan akan menjauhkan
Seorang hamba dari gerbang surga
(Apatah lagi untuk berjumpa
Dengan yang empunya!)
Maka lindungi hamba
Di dalam sembah ini
Dari takjub dan ujub
Akan diri sendiri
(Menatap ataupun ditatap,
Sudah sepatutnya aku lenyap!)
(2009)
Subscribe to:
Posts (Atom)
SAJAK JALAN PAGI BERSAMA
Pagi seputih seragam baru dan sesegar rambut basah para bocah ketika kita berjalan menyusur tembok yang mengendapkan waktu di perkampu...
-
STOPPING BY WOODS ON A SNOWY EVENING Whose woods these are I think I know. His house is in the village though; He will not see me stopping h...
-
PEREMPUAN 1. Beri aku cermin kaca yang rata tak retak atau telaga bening yang tenang airnya atau genangan embun di telapak tangan bunga...